Post on 31-Jan-2021
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Sapi Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Belanda yaitu dari Provinsi North
Holand dan West Friesland. Keunggulan sapi FH yaitu jinak, mudah menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan meskipun tidak tahan panas. Menurut Blakely dan
Bade (1998), ciri-ciri sapi FH antara lain; warna bulu hitam dengan bercak-bercak
putih, bulu ujung ekor berwarna putih, tanduknya pendek dan menjurus ke depan,
ambing besar, kepala panjang sempit, sifat sapi betina cenderung lebih tenang dan
jinak dibanding jantan, tidak tahan panas tetapi mudah beradaptasi dengan keadaan
lingkungan. Sapi FH merupakan sapi perah terbesar di dunia dengan bobot standar
betina 625-650 kg, dan jantan 900-1.000 kg.
Sapi FH yang dikembangkan di Indonesia dapat memproduksi susu 20
liter/hari, tetapi rata-rata produksinya hanya 10 liter/hari atau 3.050 kg susu untuk
satu kali masa laktasi. Kadar lemak susu sapi FH berkisar antara 2,5-4,3%. Sapi
jantan FH bisa mencapai bobot tubuh 1.000 kg, sedangkan bobot ideal sapi FH betina
adalah 635 kg. Produksi susu sapi FH di Amerika lebih tinggi yakni mencapai lebih
dari 7.000 kg dalam satu kali masa laktasi (Sudono et al., 2003).
Toelihere (1993) menyebutkan bahwa nilai S/C yang normal pada sapi
berkisar antara 1,6-2,0. Sementara itu, Bath et al. (1978) menyebutkan angka yang
lebih rendah yakni 1,3, tetapi bila disertai pertimbangan kematian fetus maka dapat
mencapai 1,6. Masa kosong (days open) yang ideal bagi sapi perah adalah antara 90-
5
105 hari dengan rata-rata 100 hari (Warwick dan Legates, 1979). Jarak beranak
(calving interval) yang ideal pada sapi perah menurut Bath et al. (1978) adalah 12-13
bulan (12 bulan±15 hari). Dengan demikian sapi perah sebaiknya dikawinkan saat 60-
90 hari setelah partus. Sapi FH memiliki sifat masak lambat (late maturity) yang
mana sapi betina baru bisa dikawinkan pada umur antara 18-21 bulan.
Fisiologi Semen Sapi
Menurut Ismaya (2014), sperma (semen) terdiri dari sel sperma (spermatozoa)
dan plasma sperma (seminal plasma). Sel sperma dihasilkan oleh tubulus seminiferus
di testes sedangkan plasma sperma dihasilkan oleh kelenjar tambahan (accessory
glands). Kelenjar tambahan terdiri dari kelenjar bulbourethralis, prostata dan
vesikularis.
Toelihere (1979) menyebutkan bahwa komposisi plasma sperma pada semen
sapi mencapai 90%, sedangkan bagian sel sperma hanya sekitar 10%. Komponen
semen berdasarkan sumbernya yaitu 5% dari epididimis dan vas deferens, 60% dari
kelenjar vesikularis, 20% dari kelenjar prostat dan 5% dari kelenjar bulbourethralis
(Hawker, 1984).
Fungsi plasma sperma yaitu sebagai penyanggah (buffer) dan sumber
makanan sel sperma. Tekanan osmotik pada plasma sperma setara dengan 0,9%
NaCl. Bahan sumber energi yang terdapat dalam plasma sperma yaitu fruktosa,
sorbitol dan Glycerine phosphoril choline (GPC). Selain itu, terdapat juga ion
6
inorganik penting seperti sodium, chlorine, sedikit kalsium (Ca) dan magnesium
(Mg) (Ismaya, 2014).
Menurut Toelihere (1979), produksi sperma dan plasma semen oleh kelenjar-
kelenjar kelamin dikontrol sepenuhnya oleh hormon. Pertumbuhan dan
perkembangan testes dipengaruhi oleh Folicel Stimulating Hormone (FSH) dan
Luteinizing Hormone (LH) yang dikendalikan dari hypofisa anterior. Testes
memproduksi hormon testosteron yang kemudian mengontrol perkembangan dan
sekresi kelenjar pelengkap.
Kapsul Gelatin Lunak
Menurut Ansel (1989), kapsul merupakan suatu bentuk sediaan padat, yang
mana satu jenis bahan obat atau lebih dan atau bahan inert lainnya dikemas ke dalam
cangkang yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai. Kapsul banyak digunakan
sebagai cangkang antibiotik untuk pengobatan manusia dan hewan.
Gelatin merupakan campuran heterogen polipeptida yang diperoleh melalui
hidrolisis parsial kolagen dari jaringan ikat hewan dengan perlakuan asam dan basa
(GMIA, 2012). Gelatin digunakan sebagai istilah umum untuk campuran fraksi
protein murni yang dihasilkan dengan hidrolisis parsial asam (tipe A) dan hidrolisis
parsial basa (tipe B) dari bahan kolagen. Bahan kolagen bisa diperoleh dari tulang
babi, kulit sapi, kulit babi, dan kulit ikan (Rowe et al., 2009).
Gelatin kaya akan kandungan asam amino glisin (Gly), prolin (Pro) dan 4-
hydroksiprolin (4Hyd). Kandungan 4Hyd berpengaruh positif pada kekuatan gelatin.
Demikian juga semakin tinggi kandungan asam amino, kekuatan gelatin semakin
7
baik. Menurut Agoes (2008), gelatin termasuk bahan yang sesuai untuk pembentukan
cangkang kapsul karena edible dan larut, membentuk cangkang yang kuat, lapis tipis
dan berubah dari bentuk larutan menjadi bentuk gel dan sedikit lebih tinggi dari suhu
lingkungan. Gelatin segera larut dalam air pada suhu tubuh, dan tidak larut jika suhu
turun di bawah 30oC.
Kapsul gelatin lunak mempunyai cangkang yang terbuat dari gelatin ditambah
bahan-bahan seperti gliserin atau alkohol polivalen dan sorbitol. Penambahan bahan-
bahan ini bertujuan agar gelatin bersifat elastis seperti plastik. Kapsul gelatin lunak
berbentuk elips dan bola.
Ansel (2005) mengemukakan kekurangan kapsul gelatin lunak yaitu mudah
mengalami penguraian oleh mikroba bila kondisinya lembab atau ketika disimpan
dalam larutan berair. Kode cangkang kapsul yang tersedia dibagi menjadi dua jenis
berdasarkan objek penggunaannya yaitu untuk manusia; 000, 00, 0, 1, 2, 3, 4, 5 dan
untuk hewan; 10, 11, 12 (Ditjen POM, 1995).
Faktor-Faktor Penentu Kualitas Semen
Menurut Ismaya (2014), kualitas sperma pada ternak dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti genetik, umur pejantan, pakan, suhu lingkungan, frekuensi
penampungan, libido, kondisi fisik, pengangkutan, besar skrotum dan kesehatan.
Genetik. Semen ternak sapi yang berbeda antar bangsa disebabkan oleh faktor
genetika atau kebakaan. Karakteristik semen Sapi FH yaitu volume berkisar antara 5-
8 ml, konsentrasi 500-2.000 juta/ml, pH sekitar 6,4-6,8, motilitas 40-47% dengan
8
normalitas 65-95% (Garner dan Hafez, 2008). Tingkat keasaman (pH) semen berkisar
antara 6,2-7,8 (Ismaya, 2014).
Umur Pejantan. Umur pejantan berpengaruh terhadap kualitas semen. Hal ini
karena faktor umur pejantan menentukan perkembangan testes sapi pejantan.
Semakin tinggi umur pejantan, produksi hormon testosteron akan makin meningkat.
Sapi jantan yang digunakan sebagai pejantan sebaiknya berumur 1,5-2,0 tahun
(Ismaya, 2014).
Pakan. Pakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
sapi pejantan. Pertumbuhan dan perkembangan berkorelasi positif terhadap
perkembangan organ reproduksi. Pakan dengan kualitas rendah menyebabkan
pertumbuhan menjadi lambat dan sehingga bisa menyebabkan atropi testes. Atropi
testes bisa menyebabkan penurunan produksi sperma. Pakan berkualitas rendah dapat
juga menurunkan libido akibat produksi hormon testosteron yang rendah.
Suhu Lingkungan. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap reproduksi
pejantan. Suhu lingkungan yang sangat tinggi atau rendah menyebabkan
terganggunya fungsi skrotum sebagai termoregulator. Akibatnya suhu testes menjadi
tidak ideal. Dengan demikian, terjadi gangguan pada proses spermatogenesis
sehingga produksi dan produktivitas sperma menurun. Waktu siang yang panjang
dapat menghambat produksi ICSH (Intertisial Cell Stimulating Hormone) sehingga
menurunkan produksi sperma.
Frekuensi Penampungan. Penampungan semen sapi pejantan harus dibatasi.
Pengaturan frekuensi penampungan dimaksudkan agar pejantan tidak mengalami
kelelahan dan akibat lain seperti penurunan libido, volume sperma, dan konsentrasi
9
sperma. Almquist dan Hale (1956) dalam Ismaya (2014) melaporkan bahwa frekuensi
ejakulasi berturut-turut sebanyak 20 kali dalam waktu 1,5-7,0 jam menurunkan
volume semen dari 4,2 ml-2,1 ml antara ejakulasi pertama dan ejakulasi ke-20.
Terjadi pula penurunan konsentrasi sperma dari 1.350 juta/ml-300 jut/ml. Menurut
Foute (1969) dalam Toelihere (1993), frekuensi ejakulasi dalam seminggu yang tepat
untuk mempertahankan libido dan kualitas semen adalah 4 ejakulasi dengan
konsentrasi 30 milyar sel.
Libido. Libido pejantan dipengaruhi oleh genetik atau kebakaannya. Hal lain
yang turut berpengaruh terhadap libido pejantan antara lain; kesehatan, kondisi
lingkungan saat penampungan dan pergantian kolektor semen. Faktor eksternal yang
turut mempengaruhi tingkat libido yaitu manajemen pemeliharaan pejantan dan
kualitas pakan.
Ukuran Skrotum. Besar dan kecilnya ukuran skrotum berkorelasi positif
terhadap libido dan produksi sperma. Besar skrotum menggambarkan ukuran dan
berat testes. Karena itu, besar skrotum yang tampak dapat pula dijadikan dasar
pendugaan produksi semen. Salah satu indikator dalam memilih sapi jantan yang
akan digunakan sebagai pejantan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan ukuran
dan berat skrotum.
Kesehatan Pejantan. Sapi pejantan harus bebas dari gangguan penyakit baik
itu akibat gangguan mekanis, maupun genetis. Sapi jantan yang menderita kelainan
genetis seperti mengalami cryptorchidysmus (tertinggalnya testes di dalam rongga
perut) dan hernia scrotalis tidak bisa digunakan sebagai pejantan.
10
Evaluasi Semen
1. Pemeriksaan Semen Segar
Pemeriksaan semen dilakukan untuk mengetahui kualitas semen secara
objektif. Hasil pemeriksaan semen dipengaruhi oleh kualitas pejantan, kolektor
semen, dan peralatan yang digunakan dalam penampungan dan pemeriksaan
laboratorium. Parameter pengujian kualitas semen segar meliputi volume semen,
warna, pH, konsistensi, motilitas, gerakan massa, konsentrasi sperma dan
abnormalitas.
Volume Semen
Semen sapi dan domba memiliki volume yang rendah tetapi konsentrasinya
tinggi sehingga tampak berwarna krem. Volume semen per ejakulat tergantung pada
bangsa, umur, ukuran tubuh, pakan, frekuensi penampungan, dan faktor lain. Volume
semen sapi berkisar antara 1,0-15,0 ml (Toelihere, 1993), dan 5,0-8,0 ml (Garner dan
Hafez, 2008).
Ejakulasi yang sering pada pejantan mengakibatkan penurunan volume.
Secara umum, volume semen pada ejakulat kedua lebih rendah bila dilakukan dua
kali penampungan berturut-turut. Rata-rata volume ejakulat akan tinggi bila
dilakukan prestimulasi secara cukup sebelum penampungan.
11
Warna Semen
Warna semen normal pada sapi adalah krem keputih-putihan dan keruh.
Tingkat kekeruhan semen bergantung pada konsentrasi sperma. Sekitar 10% sapi
pejantan menghasilkan semen yang normal berwarna kekuning-kuningan. Warna
kuning disebabkan oleh pigmen riboflavin yang bersumber dari satu gen autosomal
resesif. Warna yang timbul karena pigmen ini tidak memiliki pengaruh terhadap
tingkat fertilitas sperma (Waluyo, 2014).
Semen yang berwarna hijau kekuning-kuningan saat dibiarkan pada suhu
ruang mengindikasikan adanya infeksi kuman pseudomonas aeruginosa. Kondisi
semen yang berbentuk gumpalan, bekuan dan kepingan, mengindikasikan adanya
nanah pada kelenjar-kelenjar pelengkap. Semen yang berwarna merah gelap hingga
merah terang mengindikasikan adanya darah segar yang berasal dari saluran kelamin
urethra atau penis. Sedangkan semen yang berwarna kecoklatan kemungkinan telah
mengalami dekomposisi atau tercampur dengan feses.
Derajat Keasaman (pH)
Viabilitas sperma sangat dipengaruhi oleh derajat atau tingkat keasaman (pH).
Perubahan pH disebabkan oleh metabolisme sperma dalam kondisi anaerob yang
menghasilkan asam laktat. Semakin tinggi kandungan asam laktat dalam sperma, pH
akan semakin turun.
Kadar pH semen sapi pada kondisi netral berkisar antara 6,0-7,0 (Waluyo,
2014), 6,4-7,8 (Hafez, 1993), 6,8 (Rizal dan Herdis, 2008), 6,2-7,5 (Toelihere, 1993),
6,4-6,8 (Garner dan Hafez, 2008) dan 6,2-7,8 (Ismaya, 2014). Kadar pH sangat
12
mempengaruhi daya hidup sperma. Tingkat pH 7,0 banyak ditemukan pada pejantan
yang terlalu sering ditampung, ejakulasi tidak sempurna, dan kondisi patologik pada
kelenjar-kelenjar pelengkap dan pendarahan.
Konsistensi Semen
Secara umum semen sapi berwarna krem keputih-putihan. Derajat kekeruhan
atau kekentalan tergantung pada tingkat konsentrasi sperma dalam semen.
Konsistensi semen menurut Waluyo (2014) dibagi menjadi tiga yaitu kental, sedang
dan encer. Perkiraan konsentrasi semen pada konsistensi kental; sekitar >1.000
juta/ml, konsistensi sedang; sekitar 600-800 juta/ml dan konsistensi encer; sekitar
200-500 juta/ml.
Motilitas Spermatozoa
Motilitas individu adalah gerakan sel sperma progresif dan aktif maju ke
depan. Motilitas dilihat sebagai ukuran kesanggupan sperma dalam membuahi ovum.
Gerakan sperma yang berputar-putar di tempat mengindikasikan umur semen yang
tua. Sedangkan gerakan melingkar dan maju mundur mengindikasikan sperma
terkena cold shock atau media pengencer yang tidak isotonik.
Menurut Garner dan Hafez (2008), motilitas sperma sapi perah berkisar pada
40-47%, 40-75% (Hafez, 1993), dan 65% (Hafs et al., 1959) dalam Toelihere (1993).
Menurut Toelihere (1993), persentase motilitas sperma
13
dengan persentase motilitas >70% lebih tahan hidup dibandingkan bila
14
Penilaian gerakan massa dapat dilakukan pada pemeriksaan di bawah
mikroskop dengan pembesaran 10 x 10. Menurut Ismaya (2014), penilaian gerakan
massa dibedakan menjadi empat yaitu; sangat baik (+++) ditandai dengan adanya
gelombang besar, banyak, gelap, tebal dan aktif menyerupai awan hitam dan
pergerakannya cepat. Keadaan tersebut diperkirakan mengandung 80-100% sel
sperma motil progresif. Baik (++); tampak seperti gelombang-gelombang kecil, tipis,
jarang, kurang jelas dan pergerakannya lamban. Diperkirakan mengandung 60-79%
sel sperma motil. Cukup (+); tidak tampak gelombang, hanya tampak gerakan
individual yang aktif. Diperkirakan mengandung 30-59% sel sperma motil. Buruk
(0); tidak tampak gelombang. Diperkirakan mengandung
15
paling sering digunakan karena kemudahan dan kepraktisannya adalah metode
penghitungan jarak antar kepala sperma.
Viabilitas Spermatozoa
Menurut Ihsan (2008), viabilitas sperma dipengaruhi oleh keutuhan membran
sperma. Rusaknya membran sperma dapat menyebabkan terganggunya proses
metabolisme intraseluler sehingga sperma melemah dan terjadi kematian. Lopes
(2012) menyebut batas kisaran nilai viabilitas sperma yang masih bisa diproses
berkisar pada 50-69%.
Pengamatan dan pengujian viabilitas sperma penting dilakukan untuk
mengetahui jumlah sel hidup. Perbedaan afinitas zat warna antara sel-sel sperma yang
mati dan yang hidup digunakan untuk menghitung jumlah sperma yang hidup secara
objektif. Sperma hidup ditandai dengan kepala berwarna putih atau bening sedangkan
sperma mati, kepala berwarna merah karena menyerap zat pewarna.
Abnormalitas Spermatozoa
Abnormalitas sperma merupakan penyimpangan bentuk atau morfologi dari
sperma normal. Persentase abnormalitas sperma sapi yang baik tidak lebih dari 20%.
Abnormalitas sperma dibagi menjadi dua bagian penting yaitu abnormal primer dan
abnormal sekunder. Tingkat abnormalitas sperma sekitar 30-35% mengindikasikan
bahwa sapi pejantan tersebut tidak subur atau infertil (Toelihere, 1993).
Ismaya (2014) menyebutkan bahwa abnormalitas primer merupakan bentuk
tidak normal pada sperma akibat gangguan pada testikuler (tubulus seminiferus).
16
Sedangkan abnormalitas sekunder adalah bentuk tidak normal pada sperma akibat
kurang matangnya sperma di dalam epydidimis. Abnormalitas sekunder dapat juga
disebabkan oleh efek pendinginan dan pemanasan.
Bentuk-bentuk sperma yang termasuk abnormal primer yaitu kepala kecil,
kepala besar, kepala dua, ekor dua, kepala pyriformis, adanya pertautan abaxial, dan
bagian tengah dan ekor sperma dalam posisi melingkar. Bentuk-bentuk sperma yang
mengalami abnormal sekunder yaitu kepala dan ekor terputus, bagian tengah saling
membelit dan immature.
2. Pengenceran Semen
Pengenceran semen dilakukan untuk tujuan preservasi atau pengawetan.
Preservasi yang baik dan tepat bisa memperpanjang umur simpan semen,
mempertahankan kualitas semen dan memudahkan dalam distribusi semen. Untuk
menjamin komponen fisik dan kimia semen, pemilihan dan penggunaan bahan
pengencer perlu dilakukan dengan teliti.
Fungsi dan Syarat Pengencer
Menurut Toelihere (1979), pengencer semen berfungsi menyediakan zat
makanan sebagai sumber energi bagi sperma, melindungi sperma dari cold shock,
menyediakan bahan penyanggah (buffer), mempertahankan tekanan osmotik dan
keseimbangan elektrolit, mencegah pertumbuhan kuman dan memperbanyak volume
semen.
Syarat-syarat pengencer menurut Toelihere (1979) yakni; murah, sederhana
dan praktis dalam pembuatan, mengandung unsur fisik dan kimiawi yang menyerupai
17
semen, tidak bersifat toksik terhadap semen dan organ reproduksi betina, dapat
mempertahankan dan tidak membatasi fertilitas sperma dan memungkinkan penilaian
sperma setelah pengenceran.
Jenis-Jenis Pengencer
Menurut Ismaya (2014), jenis-jenis pengencer yang sering digunakan dalam
pengenceran semen yaitu; sitrat-kuning telur, fosfat-kuning telur, susu skim atau susu
segar, Tris (hydroxymethyl) aminomethane, air kelapa-madu dan NaCl fisiologis.
Bahan pengencer lain yang dilaporkan Toelihere (1993) yaitu Illini Variable
Temperatur (IVT), Cornell University Extender (CUE), air kelapa-kuning telur.
Modifikasi bahan pengencer semen yang dilaporkan antara lain; sitrat-kuning
telur dan sari buah tomat (Rosmaidar et al., 2013), Tris-aminomethane dan β-karoten
(Rizal, 2005), senyawa antioksidan Vitamin C pada semen beku sapi (Beconi et al.,
1993), Vitamin C pada semen beku kelinci (Yousef et al., 2003), Vitamin E dan
Butylated hydroxytoluene (BHT) pada semen beku domba St. Croix (Feradis, 1999).
Kadar Pengenceran
Penentuan kadar pengenceran bertujuan memperbanyak volume semen dan
menjamin tiap volume semen yang akan digunakan dalam inseminasi ternak betina
mengandung cukup sperma. Dengan demikian diharapkan terjadi fertilisasi pada
induk sapi yang diinseminasi. Kadar pengenceran semen tergantung pada volume
ejakulat, konsentrasi sperma, persentase viabilitas dan persentase motil progresif
(Toelihere, 1993).
18
Penentuan kadar pengencer dilakukan setelah pemeriksaan semen segar secara
makroskopis dan mikroskopis untuk mengetahui kualitas semen. Rizal dan Herdis
(2008) merekomendasikan rumus yang dapat digunakan untuk menghitung kadar
pengenceran semen yaitu;
JP (ml) = (VS x PSM x KS x VK) - VS
DI
Keterangan
JP : Jumlah Pengencer (ml)
VS : Volume Semen (ml)
PSM : Persentase Sperma Motil (%)
KS : Konsentrasi Sperma (juta/ml)
VK : Volume Kemasan (ml)
DI : Dosis Inseminasi (Jumlah konsentrasi yang diinginkan dalam tiap IB)
Pengemasan Semen
Pengemasan semen ke dalam kapsul dapat dilakukan menggunakan mesin dan
secara manual. Ukuran kapsul untuk manusia dan hewan berbeda-beda. Kode kapsul
yang tersedia dibagi menjadi dua jenis berdasarkan objek penggunaannya yaitu untuk
manusia dengan kode 000, 00, 0, 1, 2, 3, 4, 5 dan untuk hewan 10, 11, 12 (Ditjen
POM, 1995). Kode kapsul dan volume sesuai masing-masing kode dapat dilihat pada
tabel 1.
Penyimpanan kapsul di tempat yang lembab akan menyebabkan kapsul
menjadi lunak dan lengket serta sukar dibuka. Hal ini disebabkan karena kapsul
menyerap air dari udara yang lembab. Sedangkan jika kapsul disimpan pada wadah
yang terlalu kering, maka kapsul akan kehilangan air dan cangkangnya menjadi rapuh
19
dan mudah pecah. Karena itu kapsul disimpan pada ruangan dan wadah yang
kelembabannya sedang, tidak terlalu kering, dan disimpan dalam botol kaca atau
botol plastik yang tertutup rapat dan diberi pengering atau silika (Ditjen POM, 1995).
Tabel 1. Kode dan Volume Kapsul.
Kapsul Untuk Manusia Kapsul Untuk Hewan
Kode Volume (ml) Kode Volume (ml)
000 1,36 10 30
00 0,95 11 15
0 0,67 12 7,5
1 0,50
2 0,37
3 0,30
4 0,21
5 0,12
Sumber: Ansel, 1989 dan Ditjen POM, 1995.
Penyimpanan Semen
Ditjen POM (1995) melaporkan bahwa kandungan air pada cangkang kapsul
gelatin lunak sekitar 10-15% dan 12-16% (Syamsuni, 2006). Jika disimpan di tempat
yang lembab, kapsul akan menjadi lunak dan melengket satu sama lain serta sulit
dibuka sebab kapsul menyerap air dari udara yang lembab. Sebaliknya, jika disimpan
di tempat yang terlalu kering, kapsul akan kehilangan air sehingga menjadi rapuh dan
mudah pecah.
Syamsuni (2006) menyebutkan bahwa penyimpanan kapsul sebaiknya pada
ruang atau wadah yang tidak terlalu lembab atau dingin dan kering, wadah
penyimpanan terbuat dari botol gelas, tertutup rapat, dan diberi bahan pengering
20
(silika gel) atau wadah penyimpanan terbuat dari aluminium-foil dalam blister atau
strip.
Semen cair pada umumnya disimpan dalam lemari es dengan suhu 3-5oC.
Iswari (2002) melaporkan bahwa semen cair domba garut dengan pengencer Tris
yang disimpan pada suhu 22oC hanya bertahan selama 24 jam. Sementara itu,
penyimpanan semen cair domba garut dalam lemari es pada suhu 3-5oC dengan
pengencer Tris dan susu skim (Kusno, 2000; Arisandy, 2003; Sugianto, 2003;
Kristanto, 2004; Ikhsanudin, 2002) dan pengencer Andromed (Rizal dan Herdis,
2008), dapat bertahan selama 3-5 hari dengan persentase motilitas >40%. Affhandy et
al. (2007) melaporkan bahwa semen cair sapi dengan pengencer tris-kuning telur
yang dikemas dalam straw dan disimpan dalam cooler bersuhu 5oC mampu bertahan
selama 7-10 hari dengan tingkat PTM >40%.