Post on 01-Jun-2020
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
2
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Penanggung Jawab: Haris Syahbuddin Redaksi Teknis: Haryono, Yeli Sarvina, Adang
Hamdani, Woro Estiningtyas, Istiqlal Amien, Hendri Sosiawan, dan Fadhlullah Ramadhani
Redaksi Pelaksana: Eko Prasetyo dan Tuti Muliani Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,
Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia
Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909
PRAKATA
Buletin ini memuat makalah hasil penelitian primer ataupun review yang berkaitan dengan sumberdaya iklim dan air. Makalah yang disajikan sudah melalui tahap seleksi dan telah dikoreksi Tim Redaksi, baik dari segi isi, bahasa, maupun penyajiannya. Pada edisi ini terdapat empat makalah, yang disajikan dalam bahasa Indonesia.
Untuk memperlancar penerbitan tahun-tahun berikutnya, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.
Redaksi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.
Redaksi
CARA MERUJUK YANG BENAR
Nani Heryani dan Kharmila Sari Hariyanti. 2016. Pemetaan Potensi Masa Tanam Di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok., hal 3-11. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Vol. 13. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.
Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sumber-daya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.
Pemetaan Potensi Masa Tanam Di
Kecamatan Lembah Gumanti, Kabu-
paten Solok, Sumatera Barat. NANI
HERYANI dan KHARMILA SARI HARI-
YANTI ……………………………………..
Identifikasi Kondisi Iklim Sentra Pro-
duksi Durian Dan Rambutan. YELI
SARVINA dan KHARMILA SARI HARI-
YANTI …………………………....………..
Bias Correction Of Modelled Precipita-
tion. YELI SARVINA ……………………..
Penelitian Neraca Air Tanaman Untuk Pengembangan Sistem Irigasi Tanaman Kakao Dalam Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim. YAYAN APRIYANA…. Penelitian Neraca Air Tanaman Untuk Pengembangan Sistem Irigasi Tanaman Kakao Dalam Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim. WORO ES-TININGTYAS …………….………………. Diseminasi Kalender Tanam. HAR-YONO dan FADHLULLAH RAMADHANI
3
12
25
32
53
73
@ 2016, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 13, 2016
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
3
PEMETAAN POTENSI MASA TANAM DI KECAMATAN LEMBAH
GUMANTI, KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT
Nani Heryani dan Kharmila Sari Hariyanti
PENDAHULUAN
Program Rintisan dan Akselerasi pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Primatani),
yaitu suatu model atau konsep diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat
penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian. Program ini diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung
antara Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian
(delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) dan pengguna inovasi
(BadanLitbangPertanian, 2004). Selain sebagai wahana diseminasi, Primatani juga akan
digunakan sebagai wahana pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi
dari paradigma baru Badan Litbang Pertanian, yaitu Penelitian untuk Pembangunan
(Research for Development) menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan
(Research and Development).
Sebagai wahana diseminasi dan pengkajian partisipatif, penelitian tentang
penentuan potensi masa tanam sangat penting karena informasi yang diperoleh dapat
dipergunakan sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan terutama di bidang pertanian
dalam menentukan pola tanam dan tanggal tanam. Pengaturan masa tanam yang
tepat,selain agar pada fase kritisnya tanaman tidak kekurangan air, juga dapat menekan
risiko kehilangan hasil, sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan atau bahkan
dapat ditingkatkan.
Penelitian tentang penentuan periode defisit air berdasarkan neraca air tanaman
telah dikembangkan oleh FAO sejak tahun 1973 dengan menghitung kebutuhan air
tanaman dalam kaitannya dengan produksi (Allen et al., 1998). Selanjutnya CIRAD (1995)
mengembangkan suatu indicator defisit air pada tanaman dengan menghitung nisbah
evapotranspirasi aktual/evapotranspirasi tanaman (ETR/ETM). Evapotranspirasi tanaman
merupakan proses kehilangan air tanaman baik melalui tanaman itu sendiri (transpirasi)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
4
maupun dari permukaan tanah
(evaporasi). Nisbah ETR/ETM yang dise-
but dengan indek kecukupan air (water
sartisfaction index/Is) dapat digunakan
sebagai evaluasi apakah sistem pertana-
man sudah efisien dalam memanfaatkan
air. Sistem pertanaman dikatakan efisien
apabila nilai Is mendekati satu artinya
semua air yang hilang digunakan untuk-
transpirasi tanaman. Apabila nilai Is
kurang dari 0,65 maka hanya sebagian
kecil saja air yang digunakan untuk tran-
spirasi, sebagian besar hilang sebagai
evaporasi berarti tanaman mengalami
kekurangan air atau stress air dan akan
berakibat terhadap rendahnya produksi
(CIRAD dalam Irianto, 2000).
Untuk efisiensi penggunaan air,
maka cara, saat, dan jumlah air yang
ditambahkan sebagai irigasi suplementer
perlu memperhitungkan kebutuhan air
tanaman dan kemampuan tanah
memegang air. Penelitian ini antara lain
bertujuan untuk menyusun peta potensi
masa tanam untuk tanaman semusim
skala 1:50.000 dan scenario irigasi suple-
men untuk tanaman semusim.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dalam rangka kegiatan
Primatani dilaksanakan mulai Januari
2005 sampai dengan Desember 2005, di
kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten
Solok, provinsi Sumatera Barat. Lokasi ini
mewakili agroekosistem lahan kering
dataran tinggi iklim basah, dengan desa
laboratorium agribisnis di Nagari Air
Dingin.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan yaitu: 1)
data iklim harian (curah hujan, suhu udara
maksimum, suhu udara minimum,
kelembaban udara, radiasi matahari, dan
kecepatan angin) 5 tahun terakhir, 2) peta
satuan lahan, peta geologi, dan peta
hidrogeologi, 3) data tanah: sifat fisik (pF
2,54; pF 4,2) dan kedalaman/solum tanah,
4) data tanaman: umur tanaman, umur
tanaman pada setiap fase
pertumbuhannya, koefisien tanaman (kc)
dan koefisien stress (ky) pada setiap fase
pertumbuhan tanaman, tinggi maksimum
tanaman, kedalaman dan umur perakaran
maksimum, dan produksi tanaman, 5)
GPS (Global Positioning System),
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
5
6) seperangkat komputer dan software CWB_Eto (Crop Water Balance, Balitklmat, 2002).
Metodologi
Karakterisasi biofisik wilayah
Kegiatan penelitian diawali dengan survey
wilayah untuk mengetahui kondisi biofisik
wilayah. Data pendukung untuk
menunjang pelaksanan penelitian yaitu
informasi pola dan masa tanam,
produktivitas tanaman, dan data iklim
dikumpulkan dari beberapa instansi terkait
seperti BPTP, Pemerintah Daerah
Propinsi/Kabupaten, BMKG,Dinas
Pertanian Propinsi/Kabupaten, Dinas
Pengairan, dll. Pengamatan profil tanah
dilakukan untuk menyusun peta
kesesuaian komoditas tanaman pangan
sebagai dasar untuk pemetaan potensi
masa tanam dilaksanakan oleh Balai
Besar Litbang Sumber Daya Lahan
Pertanian.
Pemetaan Potensi Masa Tanam
Potensi masa tanam ditetapkan
berdasarkan indeks kecukupan air
tanaman (nisbah ETR/ETM) dan potensi
kehilangan hasil relatif tanaman,
menggunakan program CWB-ETo. Apabila
nisbah ETR/ETM lebih besar atau sama
dengan 0,65 dengan kehilangan hasil
relatif kurang dari 20%, maka periode
tersebut ditetapkan sebagai potensi masa
tanam di suatu wilayah. Sedangkan saat
tanam terbaik ditetapkan berdasarkan nilai
indeks kecukupan air mendekati atau
sama dengan satu dengan potensi
kehilangan hasilnya mendekati atau sama
dengan 0. Diagram alir pemetaan potensi
masa tanam dan pemberian irigasi
disajikan pada Gambar 1.
Penentuan Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman dicerminkan
melalui kebutuhan air pada periode
defisitnya yang ditandai dengan nisbah
ETR/ETM < 0,65 (Baron et al., 1995).
Apabila ETR/ETM kurang dari 0,65 berarti
tanaman mengalami kekurangan air atau
stress air dan akan berakibat terhadap
rendahnya produksi (CIRAD dalam Irianto,
2000).
Kebutuhan air maksimum tanaman (ETM)
dapat dihitung dengan menggunakan data
ETP dan koefisien tanaman. ETP dihitung
menggunakan metode Penman-Monteith:
ETPKcETM
b
axxF expexp)(
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
6
Sedangkan kebutuhan air aktual tanaman (ETR) dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan Eagelman, sebagai berikut:
dengan: A= -0,050 + 0,732/ETP; B = 4,97 – 0,661.ETP; C= -8,57 + 1,56.ETP, D = 4,35 -
0,880.ETP;
HR= kelembaban relatif tanah, dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
dengan HM=kadar lengas tanah hasil pengukuran di lapangan, HCC=lengas tanah pada kapasitas lapang (pF 2,54) dan HPF=kadar lengas tanah pada titik layu permanen (pF 4,2).
HRHRHR DCBAETMETR321
HPFHCCHPFHMHR /
Gambar 1. Diagram alir penentuan potensi masa tanam didukung oleh skenario pemberian
irigasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah
Kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten
Solok, Sumatera Barat merupakan dataran
tinggi mencakup areal seluas 459,72 km2
dengan jumlah penduduk 46.155 orang.
Sebagian besar penduduknya bekerja
pada sector pertanian. Luas sawah di
wilayah ini mencapai 2.048 ha, dan
sisanya seluas 43.924 ha merupakan
lahan non sawah (Kabupaten dalam
angka, 2003). Berdasarkan Agro Ekologi
Zone (AEZ) wilayah ini didominasi oleh
wanatani yang potensial untuk
pengembangan budidaya lorong dengan
komoditi perkebunan, sayuran, ternaksapi,
sawah dataran tinggi, rehabilitasi hutan
dengan komoditi potensial hutan
kemasyarakatan dan hutan lindung
(Khatib, et al., 2004).
Peta satuan
lahan
Peta geologi-
hidrogeologi
Zone
pengamatan
air tanah
Pengukuran
dengan
terameter
Karakteristik
air tanah
Peta potensi air
tanah
Penentuan posisi dan
jumlah
teknologi panen hujan
– aliran permukaan
Analisis Neraca
Air Tanaman
Periode Kritis
Tanaman
Kehilangan
hasil ≤ 20%
ETR/ETM ≥
0,65
Iklim
Harian
Sifat Fisika
Tanah
Karakteristik
tanaman
Karakterisasi
Biofisik DAS
Skenario
pemberian irigasi
suplemen
Peta potensi masa
tanam
Pilot project
dam parit
Peta satuan
lahan
Peta geologi-
hidrogeologi
Zone
pengamatan
air tanah
Pengukuran
dengan
terameter
Karakteristik
air tanah
Peta potensi air
tanah
Penentuan posisi dan
jumlah
teknologi panen hujan
– aliran permukaan
Analisis Neraca
Air Tanaman
Periode Kritis
Tanaman
Kehilangan
hasil ≤ 20%
ETR/ETM ≥
0,65
Iklim
Harian
Sifat Fisika
Tanah
Karakteristik
tanaman
Karakterisasi
Biofisik DAS
Skenario
pemberian irigasi
suplemen
Peta potensi masa
tanam
Pilot project
dam parit
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
7
Komoditi yang diusahakan oleh
petani kecamatan Lembah Gumanti
berdasarkan luas panen yang terbanyak
adalah kubis, diikuti oleh kentang, bawang
merah, padi sawah, cabe, buncis, dan
bawang putih dengan produksi masing-
masing 21.843,56 ton, 9.195,02 ton,
5.299,26 ton, 3711 ton, 596,67 ton, 181,
24 ton, dan 68,61 ton, berada dalam
daerah agropolitan. Luas tanam padi di
kecamatan Lembah Gumanti mencapai
665 ha dengan produksi 3711 ton
(Kabupaten Solok dalam angka, 2003).
Nagari Air Dingin merupakan
lokasi laboratorium agribisnis di
kecamatan Lembah Gumanti dengan luas
wilayah mencakup 126,39 km2 dan
terletak pada ketinggian 1100-1600 mdpl.
Nagari Air Dingin termasuk daerah
pengembangan agropolitan sayuran
dataran tinggi. Kondisi wilayah yang
merupakan pegunungan, berbukit dan
bergelombang yang relative subur, saat ini
sebagian besar telah berubah menjadi
lahan kritis karena peladangan berpindah.
Beberapa permasalahan yang dijumpai
antara lain terbatasnya tenaga kerja dari
segi kualitas dan kuantitas; sarana,
prasarana kurang memadai; kelembagaan
baik kelompok tani maupun finansial tidak
aktif. Untuk dapat mengadopsi teknologi,
petani membutuhkan percontohan
teknologi dilapangan, akses permodalan
mudah, adanya bimbingan inovasi
teknologi dan kelembagaan.
Wilayah Nagari Air Dingin ini
terdiri dari beberapa zonasi komoditas
pertanian, yaitu: 1) 35% merupakan
wilayah hutan lindung Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS), 2) 30%
merupakanrehabilitasikehutanandatarantin
ggi, kayu-kayuan, mahoni, alpokat, kemiri,
enau, perkebunan (cengkeh, kopi arabika,
kayumanis), 3) 10% merupakanwanatani
(jeruk, alpokat, markisa, kentang, kubis,
tomat, wortel, cabe, buncis, sawi), 4) 15%
merupakan rehabilitasi wanatani dataran
tinggi (alpokat, markisa, kentang, sayuran,
sapi/kerbau), dan (5) 10% intensifikasi
lahan basah (padi sawah, kentang, kubis,
cabe, bawang merah, bawang putih,
wortel, buncis, sapi/kerbau).
Pemetaan potensi masa tanam dan
pemberian air irigasi
Menurut klasifikasi Iklim Schmidt
-Fergusson kecamatan Lembah Gumanti
termsuk kedalam tipe iklim B, dan
menurut Oldeman tergolong ke dalam tipe
B2 dengan curah hujan tahunan 1943 m.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
8
Dalam penetapan potensi masa tanam
telah diperhitungkan beberapa unsur yaitu:
unsur iklim, tanah, dan tanaman. Unsur
iklim yang diperhitungkan yaitu curah
hujan dan evapotranspirasi, sedangkan
unsur tanah mencakup jenis tanah serta
kandungan air pada kondisi kapasitas
lapang dan titik layu permanen. Unsur
tanaman yang menjadi penentu dalam
pemetaan potensi saat tanam yaitu: umur
seluruh siklus hidup tanaman, umur
tanaman pada setiap fase
pertumbuhannya, koefisien tanaman (kc)
dan koefiseien stress (ky) pada setiap fase
pertumbuhan tanaman, tinggi maksimum
tanaman, serta kedalaman dan umur
perakaran maksimum.
Pada penelitian ini analisis
potensi masa tanam dilakukan terhadap
data iklim pada tahun normal. Untuk
menentukan/membedakan potensi masa
tanam di setiap desa, kadar air pada
kapasitas lapang dan titik layu permanen
di setiap penggunaan lahan dan jenis
tanah merupakan input data yang
dipergunakan dalam analisis potensi masa
tanam. Pada Gambar 2 disajikan contoh
indeks kecukupan air dan potensi
kehilangan hasil tanaman tomat, bawang,
dan caysin di Nagari Air Dingin di
kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten
Solok, provinsi Sumatera Barat.
Hampir seluruh jenis sayuran yang
dibudidayakan di kecamatan Lembah
Gumanti menunjukkan indeks kecukupan
air (nisbah ETR/ETM) lebih besar dari
65% dan potensi kehilangan hasilnya lebih
kurang dari 20%. Pada Tabel 1
disajikan potensi masa tanam kentang,
tomat, bawang merah dan caysin di 4
nagari di kecamatan Lembah Gumanti.
Potensi masa tanam kentang dan caysin
di Sungai Nanam adalah sepanjang tahun,
tomat pada Desember I – Oktober II,
sedangkan bawang adalah periode Mei II
sampai dengan Oktober II. Di Alahan
Panjang, hampir semua jenis sayuran
seperti kentang, bawang, dan caysin dapat
ditanam sepanjang tahun, sedangkan padi
hanya pada periode Januari I – Oktober III.
Di Nagari Sungai Nanam, Alahan Panjang,
dan Air Dingin tanaman tomat serempak
ditanam pada Desember I dan berakhir
pada Oktober II, sedangkan di Nagari
Salimpat dapat ditanam sepanjang tahun.
Peta potensi masa tanam di kecamatan
Gumanti disajikan pada Gambar
3.Kebutuhan air irigasi pada tanaman padi
dan palawija antar wilayah bervariasi
tergantung karakteristik tanah, curah hujan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
9
Gambar 2. Indeks kecukupan air dan potensi kehilangan hasil tanaman tomat, bawang, dan caysin, di Nagari Air Dingin, kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten Solok, provinsi Sumatera Barat
hujan dan iklimnya. Kebutuhan irigasi
pada tanaman Di kecamatan Lembah
Gumanti dengan penanaman sepanjang
tahun relatif tidak memerlukan irigasi
suplemen.
Nilai Potensi Kehilangan Hasil dan Indeks Kecukupan Air
Tanaman Tomat di Nagari Air Dingin, Lembah Gumanti, Sumatera Barat
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1-J
an
11-J
an
21-J
an
31-J
an
10-F
eb
20-F
eb
2-M
ar
12-M
ar
22-M
ar
1-A
pr
11-A
pr
21-A
pr
1-M
ay
11-M
ay
21-M
ay
31-M
ay
10-J
un
20-J
un
30-J
un
10-J
ul
20-J
ul
30-J
ul
9-A
ug
19-A
ug
29-A
ug
8-S
ep
18-S
ep
28-S
ep
8-O
ct
18-O
ct
28-O
ct
7-N
ov
17-N
ov
27-N
ov
7-D
ec
17-D
ec
27-D
ec
Tanggal Tanam (dasarian)
Po
ten
si K
eh
ila
ng
an
Ha
sil (
%R
LY
)
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
Ind
eks K
ecu
ku
pa
n A
ir (
ET
R/E
TM
)%RLY ETR/ETM
Nilai Potensi Kehilangan Hasil dan Indeks Kecukupan Air
Tanaman Bawang di Nagari Air Dingin, Lembah Gumanti, Sumatera Barat
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1-J
an
11-J
an
21-J
an
31-J
an
10-F
eb
20-F
eb
2-M
ar
12-M
ar
22-M
ar
1-A
pr
11-A
pr
21-A
pr
1-M
ay
11-M
ay
21-M
ay
31-M
ay
10-J
un
20-J
un
30-J
un
10-J
ul
20-J
ul
30-J
ul
9-A
ug
19-A
ug
29-A
ug
8-S
ep
18-S
ep
28-S
ep
8-O
ct
18-O
ct
28-O
ct
7-N
ov
17-N
ov
27-N
ov
7-D
ec
17-D
ec
27-D
ec
Tanggal Tanam (dasarian)
Po
ten
si K
eh
ila
ng
an
Ha
sil (
%R
LY
)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
Ind
eks K
ecu
ku
pa
n A
ir (
ET
R/E
TM
)
%RLY ETR/ETM
Nilai Potensi Kehilangan Hasil dan Indeks Kecukupan Air
Tanaman Caysin di Nagari Air Dingin, Lembah Gumanti, Sumatera Barat
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1-J
an
11-J
an
21-J
an
31-J
an
10-F
eb
20-F
eb
2-M
ar
12-M
ar
22-M
ar
1-A
pr
11-A
pr
21-A
pr
1-M
ay
11-M
ay
21-M
ay
31-M
ay
10-J
un
20-J
un
30-J
un
10-J
ul
20-J
ul
30-J
ul
9-A
ug
19-A
ug
29-A
ug
8-S
ep
18-S
ep
28-S
ep
8-O
ct
18-O
ct
28-O
ct
7-N
ov
17-N
ov
27-N
ov
7-D
ec
17-D
ec
27-D
ec
Tanggal Tanam (dasarian)
Po
ten
si K
eh
ila
ng
an
Ha
sil (
%R
LY
)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
Ind
eks K
ecu
ku
pa
n A
ir (
ET
R/E
TM
)
%RLY ETR/ETM
Tabel 1. Potensi masa tanam kentang, tomat, bawang merah, caysin, dan padidi kecamatan Lembah Gumanti, kabupaten Solok, provinsi Sumatera Barat
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
10
Gambar 4. Peta potensi masa tanam kentang, tomat, bawang merah, caysin, dan padi di
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
11
KESIMPULAN
Peta potensi masa tanam menyajikan potensi masa tanam dan saat tanam terbaik dari
komoditas tanaman sayuran di kecamatan Gumanti. Informasi yang diperoleh dapat
dipergunakan sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan terutama di bidang pertanian
dalam menentukan pola tanam dan periode tanamnya. Di seluruh nagari di kecamatan
Lembah Gumanti kentang dan caysin dapat ditanam sepanjang tahun. Selain itu tomat di
nagari Salimpat, dan bawang merah di Air Dingin juga dapat ditanam sepanjang tahun.
Bawang merah di Nagari Sungai Nanam dapat ditanam pada Mei II – Oktober III,
sedangkan di Alahan Panjang dan Salimpat pada Mei II – April III. Di Nagari Sungai
Nanam, Alahan Panjang, dan Air Dingin tanaman tomat dapat ditanam pada periode
Desember I sampai Oktober II. Padi dapat ditanam di nagari Alahan Panjang pada
periode Januari I – Oktober III, sedangkan di nagari Salimpat pada periode Mei I –
Oktober III.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G.. L.S. Pereira. D. Raes. and M. Smith. 1998. Crop evapotranspiration. Guide-
lines for computing crop water requirements. FAO Irrigation and drainage
paper.301p.
Badan Litbang Pertanian. 2004. Rancangan Dasar dan Juklak Prima Tani (Program
Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian).
Balitklimat. 2002. Software Crop Water Balance. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Bogor.
Baron, F. P. Perez and Maraux, F. 1995. Module Sarrabil Guide d'Utilization.Unite de
Recherche"Gestion de 1'ea". Montpellier
BPS Kabupaten Solok. 2003. Solok Dalam Angka 2003. Kerjasama Pemerintah Kabupaten
Solok dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Solok.
CIRAD. 1995. La validation du ETR/ETM sur le rendemen du manioc au Cote d‟ivoire.
Bulletin CIRAD no 2. 75p
Irianto, G. 2000. Panen hujan dan aliran permukaan untuk meningkatkan produktivitas
lahan kering DAS Kali Garang. Jurnal Biologi LIPI. Vol. 5, No. 1, April 2000.
p.29-39.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
12
IDENTIFIKASI KONDISI IKLIM SENTRA PRODUKSI DURIAN DAN
RAMBUTAN
Yeli Sarvina dan Kharmila Sari
ABSTRAK
Durian dan rambutan adalah buah tropis yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Buah ini sangat diminati di pasar nasional maupun internasional. Kesesuaian karakteristik iklim daerah-daerah sentra pengembangan buah-buahan dengan kondisi optimum yang dibutuhkan untuk berproduksi maksimal perlu diperhatikan. Kondisi ini mendukung tanaman untuk berproduksi optimal dan mengurangi berbagai kerugian dan kehilangan produksi yang disebabkan oleh faktor iklim. Penelitian ini mengidentifikasi karakteristik iklim sentra-sentra durian dan rambutan di Pulau Sumatera. Metode yang dilakukan adalah survey lapang untuk mengumpulkan informasi dan data iklim dan analisis desktriptif. Hasil penelitian menujukkan bahwa karakteristik iklim (suhu udara dan curah hujan) sentra durian ( Aceh Utara, Solok dan Padang Pariaman) sesuai dengan kondisi optimum yang dibutuhkan untuk berproduksi optimal. Untuk sentra rambutan (Lampung Selatan), suhu udara sudah berada pada kondisi optimum yang dibutuhkan tanaman namun untuk curah hujan berada dibawah curah hujan optimum. Sehingga produksi durian di wilayah ini masih bisa terus ditingkatkan dengan memperhatikan irigasi.
Kata Kunci: durian, rambutan, sentra, iklim
ABSTRACT
Durian and rambutaan are tropical fruit with high demand in national and international market. Sumatera island is the central area for production of durian and rambutan. The climate characteristic in central production should be in optimal condition that required by crops in order to diminish the lost due to climate. This study aims to identify climate characteristic in central development area rambutan and durian in Sumatera Island. The study was conducted by survey to collect information and data. The result reveal that the central development area of durian have climate characteristic in optimum condition while for rambutan, the temperature is in optimum condition but the annual rainfall is below the optimal condition. Therefore to obtain maximum production, the irrigation should be considered.
Key word: durian, Rambutaan, central development, climate
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
13
PENDAHULUAN
Pembangunan hortikultura telah
memberikan sumbangan yang berarti bagi
sektor pertanian maupun perekonomian
nasional,yang dapat dilihat dari nilai
produk domestik bruto (PDB), jumlah
rumah tangga yang mengandalkan
sumber pendapatan dari subsektor
hortikultura, penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan pendapatan masyarakat.
Salah satu komoditas hortikultura yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah
buah-buahan yang dapat menjadi sumber
pendapatan bagi masyarakat dan petani
baik berskala kecil, menengah maupun
besar, karena memiliki keunggulan berupa
nilai jual yang tinggi, keragaman jenis,
ketersediaan sumberdaya lahan dan
teknologi, serta potensi serapan pasar di
dalam negeri dan internasional yang terus
meningkat.
Durian dan rambutan adalah
dua komoditas buah-buahan tropis yang
sangat diminati pasar nasional maupun
International. Oleh karenanya berbagai
penelitian tentang tanaman ini baik dari
unsur budidaya, lingkungan, pasca panen
maupun aspek social ekonominya.
Iklim adalah faktor lingkungan
yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Masing-masing
faktor iklim mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan secara berbeda dan
spesifik. Unsur-unsur iklim yang
berperanan penting dalam pertumbuhan,
perkembangan dan pembungaan tanaman
diantaranya adalah curah hujan, cahaya
(intensitas radiasi, lama penyinaran) suhu
udara dan kelembaban udara.
Beberapa data menunjukkan
bahwa faktor iklim juga sangat
berpengaruh terhadap produksi dan
kualitas buah-buahan di Indonesia.
Kejadian iklim ekstrem La Nina tahun
2010, dimana curah hujan terjadi hampir
sepanjang tahun telah menyebabkan
anjloknya produksi berbagai komoditas
hortikultura baik kuantitas maupun
kualitas. Produksi mangga, apel, pisang
dan jeruk turun 20-25%, manggis 15-20%,
beberapa jenis tanaman sayuran 20-25%
dan pada tanaman hias sangat beragam
(Ditlin Horti, 2011).
Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan produksi
tanaman hortikultura adalah melakukan
kegiatan budidaya tanaman di daerah
yang kondisi iklim dan lingkungannya yang
mendekati kondisi optimum yang
diperlukan tanaman. Tulisan ini mencoba
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
14
mengidentifikasi kondisi iklim di sentra-
sentra produksi durian dan rambutan di
Indonesia serta membandingkannya
dengan kondisi optimum yang dibutuhkan
tersebut.
METODOLOGI
Kegiatan Penelitian ini dilaksanakan pada
tahun 2012 di beberapa sentra durian dan
rambutan di Pulau Sumatera. Adapun
tahapan penelitian yang dilakukan adalah:
a) Mengumpulkan informasi sentra
produksi tanaman manggis, durian
dan rambutan dari direktorat
tanaman buah, Ditjen Hortikultura.
b) Dari informasi sentra produksi
tersebut dipilih daerah Sentra yang
informasi iklimnya tersedia dan
lengkap. Dalam hal ini dipilih daerah
dengan data iklim minimal 5 tahun
dan data curah hujan minimal 10
tahun
c) Dari informasi iklim tersebut
diidentifikasi karakteristik iklim
dengan statistik deskriptif seperti
nilai rata-rata dan pola bulanan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi daerah sentra
Daerah sentra durian dan rambutan di
pulau sumatera disajikan pada Tabel 1
dan Tabel 2. Sentra produksi durian
secara umum hampir menyebar di
seluruh Pulau Sumatera mulai dari utara
(Propinsi Aceh) sampai selatan (Propinsi
Lampung). Sedangkan daerah sentra
rambutan lebih sedikit dibandingkan
dengan daerah sentra durian dan daerah
pengembanganya tidak merata di semua
provinsi. Ini membuktikan bahwa di
Pulau Sumatera tanaman durian lebih
banyak dibudidayakan dibandingkan
rambutan.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
15
Tabel 1. Sentra produksi Durian Nasional (Direktorat Tanaman Buah, Dirjen Hortikultura)
Tabel 2. Sentra produksi rambutan nasional (Direktorat Tanaman Buah, Dirjen Hortikultura)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
16
Identifikasi karekater iklim sentra
Durian
Dengan pertimbangan ketersediaan data
iklim maka identifikasi karakteristik iklim
dilakukan pada beberapa kabupaten
terpilih. Analisis karakteristik iklim untuk
komoditas Durian dilakukan di kabupaten
sentra yaitu Aceh Utara, Solok, dan
Padang Pariaman. Sedangkan analisis
untuk rambutan dilakukan di 3 kabupaten
sentra yaitu di Kabupaten Bungo,
Lampung Selatan dan Langkat. Ringkasan
hasil identifikasi karakteristik iklim daerah
sentra disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Ringkasan karakteristik iklim di sentra Manggis, Durian dan Rambutan
Aceh utara
Kabupaten Aceh utara secara geografis
terletak pada 96.52.000-97.31.000 BT dan
4.46.00-05.00.40 0Lintang Utara.
Kabupaten ini memiliki 44.266 ha lahan
sawah dan 190.388 ha lahan bukan
sawah. Durian adalah salah satu
komoditas utama hortikultura di Aceh utara
dengan produktifitas 25-66.6 Kw.
(BPS,2011). Berdasarkan data produksi
tahun 2010 dan 2011 produksi durian di
Aceh Utara menyumbang hampir 20 %
produksi durian Provinsi Aceh.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
17
Gambar 1. Grafik bulanan iklim Kabupaten Aceh Utara (berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Lhoksmawe (05-14 LU dan 097-12 Bujur Timur, Altitude 87 m)
Berdasarkan data curah hujan,
tipe iklim Aceh Utara menurut klasifikasi
Schmidt dan Ferguson adalah bertipe iklim
C. Sedangkan curah hujan tahunan sekitar
1600 mm dengan dua puncak, yaitu pada
bulan November dan bulan April. Suhu
udara maksimum adalah 32 0C, suhu
minimum 200 C dan rata-rata 260C . Suhu
maksimum tertinggi terjadi pada bulan Juni
dan terendah terjadi pada bulan Januari.
Suhu minimum tertinggi terjadi pada bulan
Desember dan terendah terjadi pada bulan
Februari. Perbedaan suhu maksimum dan
minimum tertinggi terjadi pada bulan Mei-
Agustus yang mencapai 9 0C. Sedangkan
suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan
Mei dan terendah pada bulan Januari.
Kelembaban rata-rata Aceh Utara adalah
76 %. Kelembaban udara tertinggi terjadi
pada bulan Januari dan Bulan Oktober
yang mencapai 80%. Sedangkan
kelembaban udara terendah terjadi pada
bulan Agustus sekitar 70%. Lama
Penyinaran matahari rata-rata adalah 7,67
Jam perhari. Arah angin umumnya pada
bulan Desember-Februari kearah timur
dan timur laut, pada bulan Maret-Mei
umumnya bertiup ke rah utara, timur dan
timur laut. Sedangkan pada September-
November arah angin umumnya ke utara.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
18
Solok
Secara geografis letak Kabupaten Solok
berada antara 00032’14’’ LS dan 01046’45’’
bujur timur topografi wilayah bervariasi
antara dataran, lembah dan berbukit
dengan ketinggian antara 329-1458 di atas
permukaan laut. Solok merupakan salah
satu sentra durian di Sumatera Barat.
Secara umum suhu maksimum di
Kabupaten Solok 300 C, suhu minimum 18
0C dan suhu rata-rata 270C. Variasi suhu
udara maksimum, minimum di kabupaten
ini antar bulan lebih kecil dibandingkan
dengan variasi suhu udara rata-rata.
Suhu maksimum tertinggi terjadi di bulan
Februari dan suhu minimum terendah
juga terjadi pada bulan Februari. Suhu
rata-rata mencapai nilai maksimumnya
pada bulan Juni dan Juli. Kecepatan angin
sangat fluktuatif, angin mencapai
kecepatan tertingginya pada bulan Juli-
Agustus. Sedangkan kecepatan terendah
pada bulan Maret.
Curah hujan tahunan di Kabupaten
Solok cukup tinggi di atas 2000 mm dan
merata sepanjang tahun, sehingga sangat
sulit membedakan musim kemarau dan
musim hujan atau dengan kata lain
kabupaten ini tidak memiliki musim
kemarau. Curah hujan kabupaten ini
memiliki dua puncak yaitu pada Maret-
April dan pada Bulan November. Secara
umum daerah ini adalah daerah yang
potensi ketersediaan airnya cukup tinggi.
Sehingga pembatas produksi pertanian
akibat kekurangan air seharusnya tidak
ditemukan di Kabupaten ini. Sedangkan
penerimaan matahari berfluktuasi tetapi
tidak menunjukkan pola tertentu.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
19
Gambar 2. Grafik bulanan iklim di Kabupaten Solok berdasarkan data iklim dari AWS Balit-bang Pertanian di Sukarami Solok dan Kecamatan Lembah Gumanti
Padang Pariaman
Padang Pariaman adalah salah sentra
produksi durian di Sumatera yang
posisinya ada di pesisir pantai. Grafik
bulanan karakteristik iklim Kabupaten
Padang Pariaman disajikan pada Gambar
3. Secara umum suhu maksimum di
wilayah ini adalah 300 C, suhu minimum
25 0C dan suhu rata-rata 27 0C. Fluktuasi
suhu maksimum dan suhu rata-rata antar
bulan sangat kecil sedangkan untuk suhu
minimum agak berfluktuasi terutama pada
bulan Juni-Juli. Kecepatan angin sangat
tinggi pada bulan April-Agustus dan
mencapai titik terendah pada bulan
Oktober-November. Sementara itu nilai
kelembaban udara sangat bervariasi dan
mencapai puncaknya pada bulan Januari-
Maret.
Pola curah hujan di Kabupaten ini
memiliki dua puncak musim hujan yaitu
pada bulan April dan bulan November.
Dan secara umum hujan tahunannya
adalah 1600 mm.
Dan berdasarkan klasifikasi
Schmit Ferguson daerah ini memiliki tipe
iklim A. Penerimaan radiasi surya juga
bervariasi dengan puncaknya yaitu paa
bulan Mei-Agustus
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
20
Gambar 3. Grafik bulanan iklim Kabupaten Padang Pariaman berdasarkan data iklim yang diamati oleh Pusat Sumbar Daya Air Provinsi Sumatera Barat
Identifikasi karekater iklim sentra rambutan
Lampung Selatan
Kabupaten Lampung Selatan terletak
paling selatan di Pulau Sumatera.
Wilayah Kabupaten Lampung Selatan
terletak antara 1050 sampai dengan
105045’ Bujur Timur dan 5015’ sampai
dengan 60 Lintang Selatan. Karakteristik
iklim Kabupaten Lampung Selatan
ditampilkan pada Gambar 4. Secara
umum suhu udara baik maksimum,
minimum dan rata-rata di kabupaten ini
agak berfluktuasi dibandingkan dengan
kabupaten lain. Suhu maksimum rata-rata
32,20C dan mencapai nilai tertinggi terjadi
pada sekitar April dan Oktober. Suhu
minimum rata-rata adalah 21,60C dan
mencapai nilai terendah pada bulan
Agustus. Sedangkan suhu rata-rata adalah
26,70C. Kelembaban udara rata-rata
adalah 84 % dimana nilainya berfluktuasi
antar bulan. Nilai kelembaban tertinggi
terjadi pada bulan Februari dan terendah
terjadi pada bulan September. Kecepatan
angin juga berfluktuasi. Dari gambar dapat
dilihat bahwa kecepatan angin mencapai
kecepatan maksimum ketika kelembaban
udara mencapai nilai minimum.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
21
Secara umum pola curah di Lampung
Selatan adalah berpuncak satu dimana
puncak curah hujan biasanya terjadi
sekitar Januari-Maret dan mencapai nilai
terendah sekitar Agustus-September.
Penerimaan radiasi matahari juga
berfluktuasi dimana radiasi tertinggi terjadi
sekitar Maret-April dan September-
Oktober. Sedangkan nilai radiasi terendah
terjadi pada Juni-Juli.
Gambar 4. Grafik bulanan iklim Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan data iklim yang diamati oleh AWS Badan Litbang Pertanian
Perbandingan kondisi iklim sentra dan kondisi optimum yang dibutuhkan
Durian tumbuh subur di iklim tropis lembab
yang panas ditandai dengan kelembaban
tinggi lebih dari 80%, curah hujan 2000 –
3000 mm merata sepanjang tahun dan
suhu yang seragam 28-32 oC. Durian
memiliki masa remaja berkepanjangan 9-
12 tahun. Pembungaannya mono-
musiman tahunan dan putaran
regenerasinya yang lambat.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
22
Tabel 4. Kondisi ekologi yang dibutuhkan Durian
Rambutan adalah buah tropis asli
Indonesia. Di Indonesia buah ini di
kategorikan ke dalam buah utama dan
menyumbangkan sekitar 3.5 % dari total
produksi buah-buahan Indonesia. Buah
rambutan cepat rusak (short selflife), ini
merupakan permasalahan dalam
penyebarannya. (Poerwanto, 2009).
Salah satu kendala dalam
perkembangan rambutan adalah adanya
sifat biannual bearing, yaitu sifat berbunga
dan berbuah yang tidak stabil atau
berbuah banyak pada suatu tanaman (on
year) dan berbuah sedikit pada tahun
berikutnya (off year). Biannual bearing ini
dipengaruhi oleh faktor lingkungan
terutama iklim mikro dan faktor endogen
tanaman. Untuk mengatasi masalah
tersebut di atas pada tanaman rambutan
diperlukan pemahaman mengenai
fenofisiologi tanaman yang berguna untuk
menyusun kalender manajemen kebun
dan informasi dasar untuk merekaysa
tanaman (Liferdi et al, 2005).
Tabel 5. Kondisi ekologi yang dibutuhkan tanaman Rambutan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
23
Tabel 6. Perbandingan kondisi optimum dan daerah sentra
Tabel 6 menunjukkan perbandingan suhu udara dan curah hujan optimum yang
dibutuhkan durian dan manggis. Dua parameter iklim adalah dua faktor iklim yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Secara umum suhu udara pada
daerah sentra durian maupun daerah sentra rambutan berada pada kondisi optimum yang
dibutuhkan. Sedangkan untuk curah hujan derah sentra durian (Aceh Utara, Solok dan
Padang Pariaman) berada pada kondisi yang sesuia dengan kebutuhan optimum
sedangkan untuk sentra rambutan (Lampung Selatan) curah hujannya ada dibawah kondisi
optimum yang dibutuhka. Curah hujan optimum Rambutan adalah 2000-3000 mm
pertahuan sedangkan di Lampung Selatan 1602 mm/ pertahun. Konsekwensinya budidaya
rambutan di Lampung Selatan harus memperhatikan kondisi irigasi agar mendapatkan
produksi maksimum.
Kesimpulan
Karakteristik daerah sentra baik durian maupun rambutan pada umumnya bertipe iklim A
(berdasarkan klasifikasi Schmit Ferguson). Curah hujan tahunan pada umumnya di atas
1600 mm. Suhu udara dan curah hujan sentra durian berada pada suhu optimum yang
dibutuhkan durian untuk tumbuh dan berkembang dengan baik sedangkan untuk sentra
rambutan dalam hal ini di Lampung Selatan, suhu udara sudah berada dalam kondisi
optimum namun curah hujan berada dibawah kondisi optimum. Untuk mendapatkan
produksi optimum pada di sentra ini maka diperlukan adanya tambahan irigasi.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
24
Daftar Pustaka
Badan litbang kementan. 2011. Pedum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Jakarta.
Badan pusat statistic. 2011. Kabupaten Solok Dalam Angka. Jakarta
_________________. 2011. Kabupaten Kampar dalam angka. Jakarta
_________________. 2011. Kabupaten Aceh Utara dalam angka. Jakarta
Direktorat Budidaya Tanaman buah. 2006. Profil Manggis. Jakarta
____________________________. 2009. Profil Kawasan Manggis. Jakarta
Frank M Chmielewski, Fram M, Antje Muller and Ekko Bruns. 2004. Climate change and trend in phenology of fruit trees and field crops in Germany 1961-2000. Agricul-tural and forest meteorology Journal 121 (2004) 69-78
Ditjen Hortikultura. 2011. Pedoman Umum Pelaksanaan Pengembangan Hortikultura 2012. Jakarta.
Edmon, J.B., T.L.,Andrew, F.S., and Halfacre, R.G., 1977. Fundamental of Horticulture. Mc.Graw-Hill Publ. Co. New Delhi.
FAO.2007. Ecocrop. http://ecocrop.fao.org/ecocrop/srv.
Liferdi, R purwanto, dan LK Darusman. 2005. Perubahan kandungan karbohidrat dan nitrogen 4 varietas rambuatan. Jurnal hortikultura 16 (2): 134-141
Morinaga, Kunihisa. 2010. Impact of climate change on horticulture industry and technological countermeasure in Japan. Food and fertilizer Technology Center (FFTC) Extension bulletin 629 september 2010
Pak, H.A, J Dixon, D.b. Smith, T.A. Elmsly and J.G.M cutting. 2003. Impact of rainfall prior to harvest on ripe fruit quality of Hass Avocado in New Zeeland. Proceeding V world avocado congress 2003. Pp-629-634
Pena, R de la and Hughes, J. 2007. Improving Vegetable Productivity in a Variable and Changing Climate. ICRISAT journal 2007 volume 4.
Poerwanto, R, D. Efendi, W.D. Widodo, S. Susanto, B.S. Purwoko. 2006. Off- Seasion Production Of Tropical Fruits. XXVII International Horticultural Congress - IHC2006: International Symposium on Enhancing Economic and Environmental Sustainability of Fruit Production in a Global Economy.
Poerwanto, Rudhi. 2009. Developing Off-season Production Technique for Rambutan. Slide presentasion. Center for Tropical Fruits Studies Bogor Agricultural University Indonesia.
Weis E, Berry JA. 1988. Plants and High Temperature stress. Soc of Expt Biol, pp 329-346
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
25
BIAS CORRECTION OF MODELLED PRECIPITATION
Yeli Sarvina
ABSTRACT
The projection of precipitation in the future is very important for agriculture sector related
with strategic and adaptation planning. Climate model is tool can be used to know the fu-
ture climate condition. But result in climate model was found to have bias. Therefore we
need to reduce the bias in order to obtain more reliable future information. The aim this
study is to identify the performance quantile mapping bias correction method to reduce the
bias of modelled precipitation. This study used observed precipitation from Global Survey
Summary of the Day (GSOD) and modelled data that downscale statistically from Couple
Model Intercomparison Project phase 5 (CMIP5). The analyses was done in two different
climate region, Palembang (semi monsoonal climate region) and Selaparang (monsoonal
climate region) .The analyses show that the highest uncertainty of modelled precipitation
was found in Palembang (semi monsoonal climate region) during rainy season (DJF). Over-
all quantile mapping bias correction method can reduce the bias of intensity and monthly
pattern precipitation. It noteworthy that for climate impact study assessment, the bias on
modelled precipitation is needed to be corrected.
Keyword: Bias correction, modelled precipitation, quantile mapping, monsoonal and semi monsoonal climate region
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
26
INTRODUCTION
Global Circular Model (GCM) is tool can
be used to know the future climate
condition. For agriculture planning, the
climate projection is very important. It is
related with adaptation strategy of
agriculture sector to cope climate
alteration. Therefore, many efforts have
been devoted to develop GCMs in order to
obtain high accurate data.
Even though climate models are
considered to be the most suitable tools to
provide information on future climate
projections, these models have inherent
systematic errors or biases. Bias is simply
defined as the difference between climate
model outputs and observed data.
Imperfect conceptualization and
parameterization, insufficient length of
data records, quality of reference data sets
and insufficient spatial resolution are
identified as several sources of bias in
climate modelling.
To reduce these biases, the
application of bias correction method is
required. The main purpose of applying
bias correction is to maintain a certain
quality in the model results. Consequently,
the potential for climate impact studies to
be based on uncorrected data is
eliminated and prevents errors from being
transferred from climate models to climate
impact models. This requires the active
consideration of when decisions are to be
made, whether to use uncorrected or raw
output directly from climate models or bias
-corrected climate model outputs for future
climate change impact studies.
Several studies reported that bias
correction can improve climate impact
model results (Muerth et al. 2013). These
studies showed that bias correction can be
applied to both precipitation and
temperature data; consequently, biases in
simulated discharges for most of the
catchments in the studies were effectively
reduced. Bias corrections also improve
the results of flood flow modelling,
Eisneret al. (2012) applied two statistical
bias corrections, which lead to the
recognition of different flow flood model
trends in the future.
Indonesia consist of three climate
regions using the double correlation
method which divides Indonesia into
region of the southern monsoonal region,
region B (the semi-monsoonal region and
region the anti-monsoonal region (Aldrian,
2003 MPI-M Germany)
Based on the aforementioned
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
27
reasons, this study aims to analyze and
improve the reproduction offuture
precipitation in two stations in different
climate region. Comparing the model
results with observed station data for the
period 1971 – 2000, systematical
deviations (called bias) will be detected.
To improve the model results, bias
correction will be tested and applied for a
bias correction. This is expected to
eliminate the gap between model result
and observed data.
DATA AND METHODOLOGY
Observed and modelled precipitation data
was compared in this study between 1971
and 2012. Two observed data from Global
Survey Summary of the Day (GSOD) were
used in this study. Palembang station in
South Sumatera was selected to represent
the semi monsoonal climate region and
Selaparang Station, West Nusa Tenggara
to represent monsoonal climate region.
With regard to the modelled data, daily
precipitation was downscaled statistically
from Couple Model Intercomparison
Project phase 5 (CMIP5). Four GMCs
analyzed in this study are MICROC_ESM,
CanESM2, GFDL_ESM2G and IPSL-
CM5A-LR.
Quantile mapping with R statistical
software was applied to reduce the bias on
daily precipitation. While precipitation
analysis was shown on monthly basic
since In agriculture cultivation and
planning, monthly precipitation data is
more important than daily precipitation
data.
RESULT AND DISCUSSION
The monthly precipitation from modelled
and observed data is shown in figure 1.
Overall for Selaparang station (monsoonal
region), four GCMs show good
performance to capture the pattern of
monthly precipitation. However,
Palembang station shows different
performance. The pattern on December,
January and February (DJF) which is peak
of rainy season show high uncertainty. It
reveals that performance model is better in
Selaparang station than in Palembang
Station.
For intensity precipitation, in
Selaparang, all models overestimate the
monthly intensity of precipitation except
IPSL-CM5A-LR and in Palembang all
model also overestimate the monthly
intensity precipitation except CanESM2.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
28
Figure 1. The modelled and observed precipitation of Selaparang and Palembang
It can be seen that the models have different performance in different type of precipi-
tation and different season. It noteworthy to chose the appriore model for different region,
different season and different purposed.
Figure 2. The observed, raw model and corrected model for selaparang station
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
29
The observed precipitation,
corrected and raw modelled precipitation
for station Selaparang are shown in
figure 2. Raw modelled precipitation is
precipitation before bias correction while
corrected precipitation is precipitation after
bias correction with empirical quantile
mapping methods.
Quantile mapping or also known as
quantile matching is widely applied to
correct biases and generally performed
better than other bias correction methods
(Piani and Haerter, 2012; Themeßl et al.
2011; Teng at al. 2015; Sachindra et al.
2014; Eisner et al. 2012). The quantile
mapping method is derived by calculating
the empirical probability density function
(PDF), and uses the cumulative
distribution function (CDF) to correct the
raw data.
Figure 2 reveals that empirical
quantile mapping method can reduce the
bias and improve modelled precipitation.
Quantile mapping not only improve the
monthly intensity precipitation but also the
monthly pattern of precipitation.
Figure 3. The observed, raw model and corrected model for Palembang station
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
30
Figure 3 show the performance of quantile mapping method to reduce the bias in
Palembang stations. The quantile mapping show good performance for CanESM2 and
IPSL_CM5A_LR modelled precipitation while for other modelled seems that quantile map-
ping was unable to reduce the bias.
CONCULUSION
GCMs shows different performance to capture the monthly intensity and pattern of precipita-
tion in different climate region. The highest uncertainty of modelled precipitation was found
in Palembang (semimonsoonal region) during rainy season (DJF). Overall quantile mapping
bias correction method can reduce the bias on intensity precipitation and monthly pattern on
precipitation. It noteworthy that for climate impact study assessment, the bias on modelled
precipitation is needed to be corrected in order to obtain more reliable and accurate data.
REFERENCE
Eisner, S., Voss, F., & Kynast, E. (2012). Statistical bias correction of global climate projec-
tions - Consequences for large scale modeling of flood flows. Advances in Geo-
sciences, 31, 75–82. doi:10.5194/adgeo-31-75-2012
Muerth, M. J., Gauvin St-Denis, B., Ricard, S., Velázquez, J. a., Schmid, J., Minville, M., …
Turcotte, R. (2013). On the need for bias correction in regional climate scenarios
to assess climate change impacts on river runoff. Hydrology and Earth System
Sciences, 17(3), 1189–1204. doi:10.5194/hess-17-1189-2013
Piani, C., &Haerter, J. O. (2012). Two dimensional bias correction of temperature and
precipitation copulas in climate models. Geophysical Research Letters, 39(20), 1–
6. doi:10.1029/2012GL053839
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
31
Themeßl, M. J., Gobiet, A., & Heinrich, G. (2012).Empirical-statistical downscaling and error
correction of regional climate models and its impact on the climate change signal.
Climatic Change, 112(2), 449–468. doi:10.1007/s10584-011-0224-4
Teng, J., Potter, N. J., Chiew, F. H. S., Zhang, L., Wang, B., Vaze, J., & Evans, J. P.
(2015).How does bias correction of regional climate model precipitation affect
modelled runoff? Hydrology and Earth System Sciences, 19(2), 711–728.
doi:10.5194/hess-19-711-2015
Sachindra, D. a., Huang, F., Barton, a., &Perera, B. J. C. (2014). Statistical downscaling of
general circulation model outputs to precipitation-part 2: Bias-correction and future
projections. International Journal of Climatology, 3303(January), 3282–3303.
doi:10.1002/joc.3915
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
32
PENELITIAN NERACA AIR TANAMAN
UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM IRIGASI TANAMAN KAKAO DALAM MENGANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
Yayan Apriyana
RINGKASAN
Komoditas aneka buah, khususnya buah kakao mempunyai prospek kedepan yang baik bila
dikembangkan secara intensif dalam skala agribisnis. Dari tahun ke tahun permintaan buah
yang terdapa di wilayah tropis di dalam dan luar negeri semakin meningkat, sehingga kakao
merupakan salah satu komoditas perdagangan antar negara. Anomali iklim yang akhir-akhir
ini meningkat baik durasi maupun frekuensinya menjadi faktor pemicu penurunan produksi
kakao. Untuk mengetahui faktor penyebabnya diperlukan karakterisasi dan identifikasi
kondisi biofisik baik variabilitas iklim, iklim, ketersediaan air, sifat tanah sehingga akan
diperoleh hubungan antara variabilitas musim, ketersediaan air dengan produksi kakao,
informasi tersebut merupakan dasar penetapan dalam model pengelolaan budidaya kakao
di sentra produksi. Kegiatan penelitian bertujuan untuk menyusun model pengelolaan iklim
dan air di sentra kakao untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Pada tahun 2016
penelitian bertujuan untuk: (1) Menentukan karakteristik penciri iklim dan dinamika hidrologi
yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas buah di sentra produksi kakao sesuai to-
posekuen, (2) Menentukan koefisien tanaman kakao pada berbagai fase pertumbuhan
dalam satu siklus produksi, (3) Menyusun prototipe irigasi suplementer untuk peningkatan
produktivitas dan kualitas kakao. Keluaran Tahun 2016 adalah: 1) Karakteristik penciri iklim
dan dinamika hidrologi yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas buah di sentra pro-
duksi kakao sesuai toposekuen, 2) Koefisien tanaman kakao pada berbagai fase pertumbu-
han dalam satu siklus produksi, 3) Prototipe irigasi suplementer untuk meningkatkan pro-
duktivitas dan kualitas kakao.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
33
PENDAHULUAN
Permintaan akan aneka buah semakin
meningkat dengan semakin tingginya
kesadaran masyarakat akan nilai penting
aneka buah sebagai sumber beberapa
vitamin penting yang diperlukan untuk
kesehatan, hal tersebut menunjukkan
tantangan yang semakin berat dalam
pengembangan inovasi teknologi aneka
buah pada masa mendatang. Berbagai
permasalahan kompleks yang dihadapi
seperti semakin terbatasnya sumberdaya
lahan, air dan energi, perubahan iklim
global, rendahnya diseminasi inovasi
teknologi, serta pesatnya perubahan
kemajuan teknologi dan informasi global
memicu kesiapan teknologi dalam
menghadapinya.
Buah kakao sebagai salah satu
komoditas dalam pengembangan aneka
buah merupakan tanaman di wilayah
tropis yang mempunyai prospek baik bila
dikembangkan secara intensif dan dalam
skala agribisnis. Dari tahun ke tahun
permintaan buah tropis didalam dan luar
negeri semakin meningkat, baik dalam
bentuk segar maupun olahan sehingga
menjadi komoditas perdagangan antar
negara. Produktivitas, dan kualitas kakao
Indonesia masih tergolong rendah,
penyebabnya antara lain adalah bentuk
kultur budidaya yang bersifat tanaman
pekarangan varietas atau kultivar aneka
ragam, bibit kurang bermutu, dan
pemeliharaan kurang intensif. (Rukmana,
1997).
Laju perkembangan produksi
kakao di Indonesia meningkat sejak tahun
1995 hingga 1997, tetapi ekspor pada
tahun yang sama mengalami penurunan
tajam. Pada tahun 1997 produksi kakao
Indonesia mencapai 1.206.050 ton
(11,20% dari total produksi buah nasional)
sementara ekspor kakao hanya sebesar
74,995 ton (0,048% dari total ekspor buah
nasional). Di lain pihak impor buah-buahan
dalam tahun yang sama justru mengalami
peningkatan (Suharsono, 2000). Hal
tersebut menunjukkan bahwa peran kakao
dalam ekspor buah secara nasional makin
turun. Faktor tersebut disamping
disebabkan oleh kualitas kakao Indonesia
tidak mampu bersaing di pasar global, laju
peningkatan produksi kakao juga relatif
tidak signifikan akibat kondisi iklim di
Indonesia yang dalam empat dasawarsa
terakhir semakin tidak menentu.
Ketidakpastian kondisi iklim
karena Variabilitas dan perubahan iklim
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
34
disinyalir menimbulkan dampak yang
signifikan terhadap strategi budaya dan
produksi pertanian (IPCC 2001; Porter and
Semenov 2005; Betts 2005; Osborne
2005; Battisti et al. 2006). Terutama di
daerah tropis yang mempunyai variasi
curah hujan cukup besar (Slingo et al.
2005; Giannini 2006). Anomali iklim
tersebut mengakibatkan penurunan
produktivi tas kakao. Kekeringan
berkepanjangan akan mengakibatkan
penurunan ketersediaan air sehingga pada
gilirannya akan mengganggu stabilitas
produksi, disamping itu akibat terjadinya
kemarau basah seperti halnya pada tahun
2010 di beberapa sentra kakao
mengakibatkan pula terjadi penurunan
produksi akibat sistem pembuahan kakao
yang terganggu.
Kondisi umum daerah sentra
kakao di Indonesia adalah fase generatif
kakao selalu terjadi pada musim kemarau.
Padahal ketika bakal buah telah terbentuk
sebesar bi j i kedele diper lukan
penambahan pupuk NPK dan air,
kemudian air diberikan secara kontinyu
satu minggu sekali dan dihentikan 2
minggu sebelum panen. Dengan
perlakuan tersebut maka produksi buah
(kuantitatif dan kualitatif) akan optimal.
Sedangkan cekaman air pada fase
generatif akan mengakibatkan: (1) Jumlah
gugur buah sebesar 20-30%, (2) Ukuran
buah kecil, dan (3) Terjadi „beannual
bearing‟ yaitu keterlambatan recovery
vegetatif tanaman pasca panen.
Pemberian air pada fase generatif akan
menekan jumlah gugur buah menjadi 10-
15%, meningkatkan ukuran buah kurang
lebih 25-30%, dan recovery vegetatif
tanaman pasca panen berlangsung lebih
cepat sehingga tidak terjadi ‘beannual
bearing’.
Hasil penelitian pada tahun 2013
penentuan Kc telah dicobakan pada
tanaman mangga. Hasil menunjukkan
bahwa hubungan antara produktivitas
mangga dengan curah hujan relatif kuat di
kabupaten Probolinggo. Dengan
pemberian irigasi 50% dari kebutuhan air
menunjukkan produksi dan jumlah buah
terbanyak dengan fluktuasi kadar air tanah
antara 18-22% dengan waktu pemberian 7
harian. Disamping itu semakin banyak air
yang diberikan akan menurunkan
kandungan gula, tidak berpengaruh
terhadap serat pangan dan sedikit
pengaruhnya pada total asam. Hasil
pengukuran Kc mangga berumur 5 tahun
menggunakan Lisimeter menunjukkan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
35
bahwa nilai Kc tanaman pada Lisimeter I,
II dan III berturut-turut adalah 0,63, 0,61
dan 0,74. Perlakuan dosis irigasi 50% dari
kebutuhan air tanaman mangga dengan
waktu pemberian 7 harian merupakan
dosis terbaik ditunjukkan oleh jumlah buah
total lebih tinggi dari perlakuan 0,75, 100,
dan 125% dari kebutuhan air tanaman.
Upaya selanjutnya adalah
melakukan antisipasi strategis secara
terpadu melalui penelitian hubungan
antara variabilitas iklim, pengaruh iklim
dan ketersediaan air dalam suatu kawasan
yang terintegrasi dengan budaya pertanian
lainnya di sentra produksi kakao berskala
Daerah Aliran Sungai mikro.
Hubungan Tingkat Produksi Buah
dengan Variabilitas Iklim dan Dinamika
Ketersediaan Air
Faktor iklim sangat menentukan
pertumbuhan dan produksi tanaman,
terutamapada saat memasuki fase
pembungaan. Barus dan Syukri (2008)
Pengaruh iklim terhadap musim
berbuahnya tanaman buah dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu:
1. Musiman
Tanaman buah-buahan pada saat berbuah
dipengaruhi oleh kondisi iklim tempat
tumbuhnya. Contoh : rambutan, duku,
Kakao, dan lengkeng.
2. Non-musiman
Tanaman buah-buahan pada saat berbuah
tidak atau sedikit dipengaruhi oleh iklim
tempat tumbuhnya. Contoh : Pepaya,
pisang, jambu biji, nenas, dan belimbing.
Menurut (Mugnisjah dan
Setiawan, 1995), Ashari (2006); Guslim
(2007); Barus dan Syukri (2008) beberapa
unsur iklim yang berpengaruh terhadap
produksi adalah: (1) Curah hujan dan
distribusi hujan, (2) Ketinggian tempat, (3)
Radiasi Matahari, (4) Suhu, dan (5)
Panjang hari.
Cekaman air yang diikuti oleh
hujan sering merangsang pembungaan
tanaman tahunan tropika. Faktor lain yang
memicu pembungaan adalah panjang hari,
atau panjang periode selama setiap 24
jam. Tanaman berhari panjang tidak akan
berbunga jika ditanam di wilayah tropika
(Mugnisjah dan Setiawan,1995).
Jika bunga telah berkembang
tahap berikutnya adalah menjamin
sedapat mungkin agar penyerbukan
berlangsung dengan baik. Cuaca pada
saat penyerbukan adalah penting.
Umumnya serbuk sari tidak dapat tahan
hidup jika hujan lebat, dan suhu yang
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
36
terlalu dapat menyebabkan penyerbukan
yang jelek. Serangga terutama lebah, tidak
akan bekerja dengan baik dalam kondisi
cuaca yang sangat basah.
Curah hujan merupakan salah
satu elemen iklim yang sangat penting
dalam kehidupan di bumi. Kepentingan
tanaman terhadap besarnya curah hujan
sudah dirasakan sejak panen. Adapun titik
yang kritis adalah saat pembungaan.
Apabila saat pembungaan banyak hujan
turun, maka proses pembungaan akan
terganggu. Tepung sari menjadi busuk dan
tidak mempunyai viabilitas lagi. Kepala
putik dapat busuk karena kelembaban
yang tinggi. Selain itu, aktivitas serangga
penyerbuk juga berkurang saat
kelembaban tinggi. Apabila terjadi
kerusakan pada tepung sari dan kepala
puti berarti penyerbukan telah gagal. Hal
ini juga berarti bahwa pembuahan dan
selanjutnya,panen, telah gagal dan harus
menunggu tahun berikutnya (Ashari 2006).
Kesesuaian tanaman dengan
kondisi iklim tempat tumbuh sangat
diperlukan. Untuk berbagai keperluan,
para ahli banyak membuat klasifikasi iklim
yang didasarkan kepada curah hujan yang
perhitungannya didasarkan pada
perhitungan bulan basah (BB) dan bulan
kering (BB), salah satu klasifikasi tersebut
dan banyak dipakai dalam bidang
pertanian di Indonesia adalah klasifikasi
iklim menurut Oldeman.
Tabel 1. Klasifikasi Iklim Menurut Oldeman
Perubahan iklim secara umum
terjadi di sebagian besar wilayah di Jawa.
Perubahan iklim berdampak terhadap
peningkatan hujan musiman pada
Desember, Januari, Februari (DJF) secara
signifikan. Sebaliknya, berdampak
terhadap penurunan hujan musiman Juni,
Juli, Agustus (JJA) secara signifikan dan
mengakibatkan musim kemarau
memanjang (Gambar 1).
Gambar 1. Perubahan panjang musim kemarau di seluruh Indonesia (Sumber: Boer et al., 2009)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
37
Keragaman iklim antar-musim
dan tahunan yang disebabkan oleh
fenomena ENSO dan Osilasi Atlantik atau
Osilasi Pasifik akhir-akhir inisemakin
meningkat dan menguat. Menurut
Timmerman et al. (1999) danHansen et al.
(2006), pemanasan global cenderung
meningkatkan frekuensi El-Nino dan
menguatkan fenomena La-Nina.
Peningkatan siklus ENSO (El Nino
Southern Oscillation) dari 3-7 tahun sekali
menjadi 2-5 tahun sekali(Ratag, 2001).
Beberapa hasil penelitian
membuktikan kecenderungan peningkatan
suhurata-rata bumi. Di Jakarta, misalnya,
terjadi peningkatan suhu udara rata-
rata1,04-1,40oC selama 100 tahun
terakhir.Kecenderungan peningkatan
variablitas dan perubahan pola curah
hujan terjadi di Jawa seperti di
T a s i k m a l a y a ( R u n t u n u w u d a n
Syahbuddin, 2007) dan Bojonegoro (Boer
et al., 2009)
Penciri Iklim dan Dinamika Hidrologi
yang Mempengaruhi Produktivitas dan
Kualitas Tanaman Kakao
Kedalaman solum tanah berpengaruh
nyata terhadap tinggi tanaman, diameter
batang, dan lebar kanopi tanaman kakao
(Juliati, 2010). Pertumbuhan tanaman
tertinggi diperoleh pada solum tanah
dalam (>150 cm) dan sedang (75-150 cm)
kecuali diameter batang, sedangkan yang
terendah diperoleh pada tanaman yang
ditanam pada solum dangkal (<75 cm).
Selanjutnya Juliati (2010) menyebutkan
bahwa produksi (jumlah buah) juga
dipengaruhi oleh kedalaman solum tanah.
Semakin meningkat kedalaman solum
tanah, semakin tinggi jumlah buah yang
dihasilkan. Terdapat perbedaan yang
nyata antara produksi yang dihasilkan oleh
tanaman yang berada pada solum dalam
dan sedang dengan tanaman yang berada
pada solum dangkal. Semakin dalam
solum tanah, makin luas bidang/area
serapan yang dapat dijangkau akar
tanaman untuk menyerap hara. Tanaman
a k a n m e n y e r a p h a r a s e s u a i
kebutuhannya, sehingga untuk tumbuh
dan berproduksi dengan baik (Havlin et al.
1999)
Ahmad (2010) melakukan
klasifikasi kualitas buah kakao jenis
gadung dan arumanis berdasarkan tekstur
buah kakao. Pengukuran tekstur yang
digunakan adalah kontras pada indeks
warna merah, karena warna buah kakao
yang sudah masak biasanya didominasi
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
38
warna yang agak kemerahan pada
kulitnya. Akurasi yang didapatkan
mencapai 74.3%. Widyanto dan Kreshna
(2007 dalam Agustin dan Prasetyo, 2011)
melakukan otomatisasi sistem klasifikasi
kualitas buah kakao lokal berdasarkan 3
parameter yaitu: cacat, ukuran, dan warna,
yang dikelompokkan menjadi 3 kelas:
bagus, sedang, dan jelek. Metode yang
digunakan adalah logika fuzzy, akurasi
yang didapat antara 66.7% dan 75%
masing-masing untuk kualitas buah kakao
yang sedang dan bagus.
Menurut SNI (2009), ketentuan
minimum mengenai mutu/kualitas yang
harus dipenuhi untuk semua kelas buah
yaitu: utuh, padat (firm), penampilan
segar, layak dikonsumsi, bersih dan bebas
dari benda-benda asing yang tampak,
bebas dari memar, bebas dari hama dan
penyakit, bebas dari kerusakan akibat
temperatur rendah dan atau tinggi, bebas
dari kelembaban eksternal yang abnormal
kecuali pengembunan sesaat setelah
pemindahan dari tempat penyimpanan
dingin, bebas dari aroma dan rasa asing,
memiliki kematangan yang cukup, apabila
terdapat tangkai buah panjangnya tidak
boleh lebih dari 1 cm. Tanaman kakao
digolongkan menjadi 3 kelas mutu yaitu
kelas super, kelas dan kelas B (Tabel 2).
Sedangkan berdasarkan bobotnya kakao
dibagi menjadi 5 kelas ukuran yaitu:
ukuran 1 (bobot > 450 gram), ukuran 2
(351-450 gram), ukuran 3 (251 – 350
gram), ukuran 4 (4 151 – 250 gram), dan
ukuran 5 (<150 gram).
Tabel 2. Kelas mutu buah kakao
berdasarkan Standar Nasional Indonesia
(SNI)
Topograf i suatu wilayah
merupakan perbedaan tinggi rendah
permukaan bumi di suatu wilayah yang
diukur secara vertical. Keragaan topografi
secara berurutan dari wilayah pantai
sampai ke puncak gunung disebut
toposekuen lahan. Dalam satu toposekuen
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
39
terdapat beberapa zone agroekosistem.
Menurut Amien (1997) agroekosistem
merupakan sekelompok wilayah yang
keadaan fisik lingkungannya hampir sama
atau tidak berbeda nyata. Di wilayah tropis
seperti di Indonesia, perbedaan ketinggian
tempat mempengaruhi karakteristik iklim,
jenis tanah, fisiografi dan penggunaan
lahan. Pengaruh ketinggian tempat
terhadap iklim , terutama pada parameter
curah hujan, kelembaban dan suhu udara.
Curah hujan dan kelembaban udara
semakin meningkat dengan bertambahnya
ketinggian suatu tempat, sebaliknya suhu
udara akan akan mengalami penurunan
seiring dengan meningkatnya ketinggian
tempat.
Karakteristik hidrologi dari
wilayah yang memiliki struktur toposekuen
pada umumnya berbeda antar ketinggian
tempat. Wilayah-wilayah di puncak
memiliki sifat drainase yang lebih baik
dibandingkan dengan di wilayah lereng
maupun kaki bukit yang mendatar.
Dengan sifat tersebut, maka wilayah-
wilayah di atas dan di lereng berperan
sebagai zone transfer dan wilayah di kaki
bukit merupakan zone deposit. Sementara
itu perubahan ketersediaan air di wilayah
puncak dan lereng lebih besar
dibandingkan dengan di kaki bukit (Dinka
et al, 2012). Hasil penelitian Severson et
a l , 2008 menunjukkan bahwa
konduktivitas hidrolik untuk tempat-tempat
yang lebih rendah dan landai lebih tinggi
(14.7 cm/jam) dibandingkan dengan di
puncak (7.55 cm/jam), sehingga tanah-
tanah di dataran rendah memiliki sifat
menyimpan air yang lebih baik
dibandingkan dengan wilayah puncak.
Sementara itu hasil pengukuran muka air
tanah yang dilakukan Severson et al, 2008
menunjukkan bahwa ketinggian relatif
muka air tanah untuk wilayah yang lebih
rendah dan landai relatif lebih dangkal
dibandingkan dengan wilayah yang
terdapat di puncak. Selain itu suhu tanah
pada dua lokasi yang memiliki selisih
ketinggian tempat 0.2 m, lebih tinggi
sekitar 30C untuk wilayah yang lebih
rendah dibandingkan dengan tanah-tanah
di wilayah puncak.
Berdasarkan hasil penelitian-
penelitian tersebut dapat diketahui bahwa
wilayah dataran rendah memiliki kondisi
lingkungan yang lebih mendukung
pertumbuhan tanaman karena sifat-
sifatnya yang mampu menahan air lebih
lama, suhu lebih hangat sehingga
mempercepat tanaman untuk mencapai
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
40
pembungaan dan memungkinkan lebih
aktifnya reaksi unsur hara tanah, yang
memungkinkan lebih tersedianya hara
untuk tanaman. Pengaruh ketinggian
tempat mempengaruhi masa awal
pembungaan tanaman, berdasarkan
penelitian Shresta et al, 2012,
pembentukan tanaman bunga pada
tanaman padi akan lebih cepat terjadi
pada tanaman-tanaman yang ditanam di
dataran rendah, dan semakin ke puncak
pembungaan akan lebih lama terbentuk.
Penelitian tersebut juga menghasilkan
kesimpulan bahwa tanaman padi yang
ditanam di dataran rendah memiliki
produktivitas yang lebih baik dibandingkan
dengan tanaman yang ditanam di wilayah
lereng dan puncak lereng.
Koefisien Tanaman Kakao pada
Berbagai Fase Pertumbuhan
Penggunaan air untuk kebutuhan tanaman
(consumtive use) dapat didekati dengan
menghitung evapotranspirasi tanaman,
yang besarnya dipengaruhi oleh jenis
tanaman, umur tanaman dan faktor
klimatologi. Nilai evapotranspirasi
merupakan jumlah dari evaporasi dan
transpirasi. Yang dimaksud dengan
evaporasi adalah proses perubahan
molekul air di permukaan menjadi molekul
air di atmosfir.
Sedangkan transpirasi adalah
proses fisiologis alamiah pada tanaman,
dimana air yang dihisap oleh akar
diteruskan lewat tubuh tanaman dan
diuapkan kembali melalui pucuk daun.
Nilai evapotranspirasi dapat diperoleh
dengan pengukuran di lapangan atau
dengan rumus-rumus empiris. Untuk
keperluan perhitungan kebutuhan air
irigasi dibutuhkan nilai evapotranspirasi
potensial (Eto) yaitu evapotranspirasi yang
terjadi apabila tersedia cukup air.
Kebutuhan air untuk tanaman
adalah nilai Eto dikalikan dengan suatu
koefisien tanaman.
dimana :
ET = Evapotranpirasi tanaman (mm/
hari)
ETo = Evaporasi tetapan/tanarnan
acuan (mm/hari)
kc = Koefisien tanaman
Kebutuhan air konsumtif ini
dipengaruhi oleh jenis dan usia tanaman
(tingkat pertumbuhan tanaman). Pada saat
tanaman mulai tumbuh, nilai kebutuhan air
k o n s u m t i f m e n i n g k a t s e s u a i
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
41
Pertumbuhannya dan mencapai
maksimum pada saat pertumbuhan
vegetasi maksimum (Campbell, 1974).
S e t e l a h m e n c a p a i m a k s i m u m
danberlangsung beberapa saat menurut
jenis tanaman, nilai kebutuhan air
konsumtif akan menurun sejalan dengan
pematangan biji. Pengaruh watak tanaman
terhadap kebutuhan tersebut dengan
faktor tanaman (kc).
Nilai koefisien pertumbuhan
tanaman ini tergantung jenis tanaman
yang ditanam. Untuk tanaman jenis yang
sama juga berbeda menurut varietasnya.
Sebagai contoh padi dengan varietas
unggul masa tumbuhnya lebih pendek dari
padi varietas biasa. Pada Tabel 3 disajikan
harga-harga koefisien tanaman padi
dengan varietas unggul dan varitas biasa
menurut Nedeco/Prosida dan FAO.
Tabel 3. Nilai Koefisien tanaman padi
Yang dimaksud ETo, adalah
evapotranspirasi tetapan yaitu laju
evaportranspirasi dari suatu permukaan
luas tanaman rumput hijau setinggi 8
sampai 15 cm yang menutup tanah
dengan ketinggian seragam dan seluruh
permukaan teduh tanpa suatu bagian yang
menerima sinar secara langsung serta
rumput masih tumbuh aktif tanpa
kekurangan air. Evapotranspirasi tetapan
disebut juga dengan evapotranspirasi
referensi/ keluar. Terdapat beberapa cara
untuk menentukan evapotranspirasi
tetapan, salah satunya seperti yang
diusulkan oleh Kriteria Perencanaan Irigasi
1986 sebagai berikut :
dengan :
ETo = Evaporasi tetapan/tanaman
acuan (mm/hari)
Epan = Pembacaan panci Evaporasi
kpan = koefisien panci
Informasi Jadwal dan Dosis Irigasi
untuk Peningkatan Produktivitas dan
Kualitas Tanaman Kakao
Di Indonesia Kakao dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1000 m dpl dengan
ketinggian yang ideal adalah 0-600 mdpl.
Masa berbunga tanaman Kakao
dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
42
permukaan laut, hal ini berhubungan
dengan radiasi matahari yang dibutuhkan
tanaman. Di Indonesia pada umumnya
setiap kenaikan rata-rata 130 m dimana
Kakao ditanam, maka masa pembungaan
tertunda selama 4 hari. (AAK,1991)
Lu dan Chacko (2000)
menunjukkan bahwa stres air selama 5
minggu mendorong tanaman kakao
berbunga lebih awah dan lebih lebat untuk
varietas kakao Kensington' dan varietas
Irwin'. Pada akhirnya hasil tanaman kakao
yang mengalami stress air juga lebih
tinggi. Dalam sebuah penelitian di
Australia selama 3 tahun pada varietas
'Kensington Pride” berumur 15 tahun
(Bally et al., 2000), stress air yang terjadi
pada saat pematangan buah pada awal
musim panas kemudian diikuti dengan
pemberian air setelah panen secara
signifikan meningkatkan persentase
cabang-cabang bunga. Hasil rata-rata
selama tiga tahun percobaan diketahui
bahwa tanaman yang dikelola mengalami
stress air sedikit lebih tinggi dari pada
pohon yang diirigasi dengan baik. Pada
tahun 1995, pohon yang mendapat stress
air secara signifikan menghasilkan
perkembangan bunga lebih tinggi dari
pada pohon yang diairi. Hal ini terjadi
karena pada tahun 1995 memiliki periode
yang hangat dibandingkan dengan dua
tahun lainnya menunjukkan bahwa stres
air memiliki efek yang lebih mendalam dari
pada yang yang terjadi periode setahun
sebelumnya. Demikian pula, dalam
sebuah penelitian di Afrika Selatan kakao
(Moster t dan Hoffman, 1998),
menunjukkan bahwa tanaman yang
mengalami stres air atau tidak diairi
selama bulan-bulan musim dingin,
produksi tahunan meningkat sebesar 9%
dan yang diari menurun sebesar 20%.
Mostert dan Hoffman melakukan
uji coba ini di musim hujan wilayah di
Afrika Selatan. Tegangan air, pelakuan
tanpa irigasi diaplikasikan bertepatan
dengan periode perkembangan kuncup
bunga dan diperpanjang dari sekitar awal
Mei hingga pertengahan Agustus. Irigasi
dimulai segera setelah bunga pada malai
mulai membuka. Hasil buah dari pohon di
bawah tekanan air selama pengembangan
kuncup bunga ternyata lebih tinggi di
semua tahun dari enam tahun percobaan
dibandingkan dengan pohon-pohon yang
irigasi selama periode ini. Hasil rata-rata
tanaman kakao yang mengalami stress air
sebesar 30,5 t / ha dibandingkan dengan
27,8 t/ha dari tanaman yang tidak terkena
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
43
stres.
Peningkatan hasil terjadi pada
tanaman yang dilakukan pemberian air
pada periode vegetatif dan pada saat awal
terjadi pembungaan pohon diperlakukan
stres air. Penyiraman dilakukan untuk
cadangan yang dibutuhkan oleh bunga
dan buah muda untuk menghidari
rontoknya buah. Stress air selama
pengembangan kuncup bunga harus
dihentikan pada saat bunga pada malai
mulai membuka sehingga buah yang
berkembang di bawah kondisi tidak stress
air. Hal ini diperlukan untuk menjaga
pasokan kelembaban tanah dengan
dimulainya pembungaan sampai dekat
dengan panen. Pohon kakao yang disiram
pada saat kelembaban tanah berkurang
sampai 20% dari nilai jenuhnya
memberikan pertumbuhan yang lebih baik
pada tunas, jumlah bunga, malai buah,
ukuran buah dibandingkan disiram pada
saat kelembaban tanah telah berkurang 40
atau 60% dari tingkat jenuhnya (Pina et
al., 2000).
P e t a n i d i Q u e e n s l a n d
menghent ikan atau mengurangi
pemberian air pada kebun kakao dua
sampai tiga minggu sebelum panen.
Praktek ini memberikan Hasil yang baik
yaitu buah kakao dengan kulit buah yang
mulus, berwarna kemerahan dan juga
membantu dalam meningkatkan derajat
Brix (OB) mencerminkan manisnya buah.
Pengaruh stres air pada kakao
adalah yang paling penting saat berbunga,
set buah dan periode pengembangan
buah. Hasil total dan jumlah buah per
pohon secara substansial menurun akibat
stress air. Kurangnya irigasi selama
b e r b u n g a , p e m b e n t u k a n d a n
perkembangan buah dapat mengurangi
hasil hingga 50%. Oleh karena itu, praktek
-praktek irigasi untuk tanaman kakao
harus disesuaikan dengan tahap fenologi
tanaman (Tabel 4).
Tabel 4. Kebutuhan air berdasarkan Fase
pertumbuhan tanaman kakao.
Dosis Irigasi
Tamanan kakao merupakan tanaman
spesifik dalah hal konsumsi air. Tidak
semua fase pertumbuhan kakao
memerlukan air dalam jumlah yang sama,
ada fase dimana tanaman perlu banyak air
tetapi ada pada fase lainnya tanaman
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
44
tidak memerlukan air. Berdasarkan Tabel
4 diketahui bahwa setiap fase
pertumbuhan tanaman kakao memerlukan
jumlah air melalui irigasi yang berbeda
yaitu banyak, sedang, sedikit dan tidak
perlu air.
1. Banyak = air dalam tanah pada
lapisan 0-40 cm mempunyai kadar
>80 % dari kondisi tanah jenuh.
Kondisi ini diperlukan untuk tanaman
kakao pada fase vegetatif
2. Sedang = air dalam tanah pada
lapisan 0-40 cm mempunyai kadar 60
-80 % dari kondisi tanah jenuh.
Kondisi ini diperlukan oleh tanaman
kakao pada fase pembungaan dan
perkembangan buah
3. Sedikit = air dalam tanah pada lapisan
0-40 cm mempunyai kadar 40-60% %
dari kondisi tanah jenuh. Kondisi ini
tanaman menaglami stres air yang
mendalam diperlukan oleh tanaman
kakao pada fase in is isas i
pembentukan bunga hingga bunga
mekar.
Perhitungan neraca air tanaman
sangat diperlukan untuk menentukan
waktu dan dosis pemberian air irigasi bagi
tanaman kakao.
Metode Penelitian
Kegiatan 1: Penciri Iklim dan Dinamika
Hidrologi yang Mempengaruhi
Produktivitas dan Kualitas Tanaman di
Sentra Produksi Buah Unggulan
Beberapa kegiatan yang akan dilakukan
yaitu:
a) P e n g am a t an i k l i m ( s uh u ,
kelembaban, radiasi matahari, dan
kecepatan angin)
Iklim yang diamati yaitu suhu,
kelembaban, radiasi matahari,
dan kecepatan angin harian
aktual akan diamati melalui
AWS (Automatic Weather
Station) yang dipasang di lokasi
penelitian.
b) Untuk mengetahui karakteristik iklim
jangka panjang, data iklim time
series akan diambil dari stasiun
pengamat iklim yang ada di sekitar
wilayah penelitian.
c) Pengamatan suhu dan kelengasan
tanah pada beberapa kedalaman
Dinamika kelengasan tanah
akan diamati pada beberapa
k e d a l a m a n d e n g a n
menggunakan tensiometer.
Tensiometer merupakan alat
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
45
berupa tabung kedap udara,
tabung jenuh air dengan ujung
berpori pada salah satu ujung
dan pengukur vakum di sisi lain
(Baruah, 2009). Tensiometer
mengukur kemampuan tanah
menghisap air (tekanan negatif),
yang biasanya dinyatakan
sebagai ketegangan. Satuan
pengukuran berupa bar atau
centibars. Satu bar sama
dengan 100 centibars (cb).
Dalam penelitian ini, kelengasan
t a n a h a k a n d i u k u r
menggunakan tensiometer
digital. Alat ini terdiri dari sensor
dioda yang tertanam dalam
gipsum serta monitor berupa
Digital Multi Tester. Sensor
ditanam secara permanen pada
beberapa kedalaman (0-20, 20-
40, 40-60, 60-80, dan 80-100
cm).Pengukuran dilakukan pada
beberapa fase pertumbuhan
tanaman seper t i : awa l
berbunga, saat berbunga
merata, awal berbuah, berbuah
merata, dan menjelang waktu
panen. Untuk ka l ib ras i
tensiometer digital, dilakukan
pengukuran kelembaban tanah
pada kedalaman 0-20 cm
menggunakan alat “ΔT Wet
Sensor Kit”(Gambar 1). Selain
untuk mengukur kelengasan
tanah, alat ini digunakan pula
untuk mengukur temperatur
tanah.
Untuk mengetahui kelengasan
pada saat titik layu permanen
dan kapasitas lapang akan
diambil sampel tanah pada
kedalaman 0-20, 20-40, 40-60,
60-80, dan 80-100 cm dengan
menggunakan ring sampel pada
saat berbunga dan berbuah
merata.
Gambar 2. ΔT Wet Sensor Kit
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
46
Pengamatan muka air tanah
Pengamatan pertumbuhan
(vegetatif) dan perkembangan
(generatif) tanaman kakao
meliputi t inggi tanaman,
diameter batang, dan lebar
kanopi
Analisis terhadap data dan
informasi yang diperoleh di
lapang sebagai bahan untuk
menentukan penciri iklim dan
dinamika hidrologi yang
b e r p e n g a r u h t e r h a d a p
produktivitas dan kualitas buah
kakao
Untuk mengetahui keragaan
nilai parameter iklim dan
hidrologi, dilakukan pengukuran
cuaca (suhu dan curah hujan)
dan dinamika kelengasan tanah
pada beberapa ketinggian
tempat di sentra kakao yang
mewakili dataran rendah dan
landai, lereng dan puncak.
Pengamatan fisiologi tanaman
yang meliputi fase vegetatif,
pembungaan, pembentukan
buah dan panen juga dilakukan
pada tempat yang sama dengan
pengamatan parameter iklim
dan hidrologi. Pengukuran curah
hujan dilakukan dengan
menggunakan alat ARR yang
memungkinkan perekaman data
secara otomatis dan kontinyu
(tipping-bucket rain gauge
complete HOBO Event data
logger (Data Logging Rain
Gauge) (RG2)). Pengukuran
suhu udara dan tanah dilakukan
secara berkala (mingguan) pada
ketinggian 15 cm diatas tanah,
pada tanah dan 50 cm dibawah
tanah. Kandungan air tanah
diukur pada tiga ketinggian
dengan masing-masing titik
pengukuran diukur kelengasan
tanah pada 5 kedalaman tanah
di zone perakaran kakao.
Kegiatan 2: Koefisien Tanaman Kakao
pada Berbagai Fase Pertumbuhan
Waktu pengamatan parameter penentu
koefisien tanaman kakao akan dilakukan
dalam satu tahun. Penelitian dilakukan
pada 2 plot penelitian dengan skala
berbeda yaitu pada skala laboratorium
serta skala lapangan. Penelitian skala
laboratorium akan dilakukan terhadap 6
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
47
populasi tanaman kakao usia produktif
yang ditanam dalam pot yang berfungsi
sebagai lisimeter. Sedangkan penelitian
skala lapangan dilakukan pada
perkebunan kakao rakyat seluas 5000 m2.
Pada skala laboratorium, laju
evapotranspirasi diukur secara langsung
dengan Lysimeter. Unsur yang diamati
adalah besarnya penguapan yang
berlangsung pada sebidang tanah yang
bervegetasi.
Prinsip sederhana pengukuran
dengan menggunakan Lysimeter adalah:
Dimana :
C = curah hujan I = irigasi E =
evapotranspirasi
Pk = air perkolasi P = jumlah air
u n t u k penjenuhan tanah sampai t e r c a p a i k a p a s i t a s lapang
Seluruh komponen tersebut
diukur dengan satuan yang sama yang
akhirnya dirubah ke satuan tinggi air (mm).
Untuk menghitung besaran Pk diperlukan
pengukuran perkolasi yaitu jumlah air yang
terkumpul di bagian dasar lysimeter.
Lysimeter yang akan digunakan sebanyak
6 buah.
Pengukuran evapotranspirasi
potensial meliputi penguapan yang berasal
dari tanaman dan tanah. Karena vegetasi
dan tanah terkurung dalam lysimeter,
maka pengukuran evapotranspirasi dapat
dilakukan dengan menghitung volume air
yang masuk dari curah hujan (rainfall) dan
air yang ditambahkan (water added).
Sedangkan air yang keluar dari lisimeter
merupakan air perkolasi dari air yang telah
diterima.
Perangkat yang digunakan untuk
mengukur air tanah (soil-water suction)
dalam hal ini kelembaban tanah adalah
dengan menggunakan digital tensiometer.
Untuk skala lapangan pada
perkebunan kakao, laju transpirasi
tanaman kakao akan diamati secara
kontinyu menggunakan alat yang disebut
dengan SAP Flow. Alat ini mengukur laju
transpirasi tanaman berdasarkan
pengukuran beda suhu dari dua
termokopel yang terpasang pada lapisan
sapwood (lapisan pada tanaman yang
berfungsi mendistribusikan air, berada
diantara kambium dan Heartwood
(bagian kayu yang keras).
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
48
Untuk mengh i tung l a j u
transpirasi tanamanan, digunakan rumus
persamaan sebagai berikut:
dTnight : suhu pengukuran di malam hari berdasarkan perhitungan dari dataset
dTactual : suhu pengukuran aktual U : sapflow density (ml/cm2/min) F : sap flow (ml/min) SA : luas penampang batang pohon
pada titik pemasangan sensor termokopel
Gambar 3. Alat pengukur transpirasi tanaman SAP Flow (a) sensor yang tertanam di batang tanaman (b) data logger
Selain menggunakan SAP Flow,
pengukuran transpirasi tanaman akan
dilakukan menggunakan Porometer. Alat
ini mengestimasi transpirasi berdasarkan
pengukuran tingkat bukaan stomata pada
daun. Porometer bersifat Portabel
sehingga dapat melakukan pengukuran
transpirasi tanaman pada beberapa
populasi tanaman Kakao.
Hasil pengamatan transpirasi
tanaman ini selanjutnya akan digunakan
untuk menyusun tabel koefisien tanaman
kakao (Kc kakao) yang berguna untuk
menyusun dosis dan interval irigasi kakao.
Kegiatan 3: Penentuan Jadwal dan
Dosis Irigasi untuk Peningkatan
Produktivitas dan Kualitas Tanaman
Kakao
Informasi yang didapatkan dari analisis ini
adalah volume irigasi (mm, liter atau liter/
detik) yang harus diberikan agar
produktiktivitas yang diperoleh optimal dan
interval irigasi (hari atau minggu). Analisis
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
49
dilakukan berdasarkan estimasi kebutuhan
air tanaman menurut Metode FAO
(Buletin FAO No 56 tahun 1998) dan hasil
penelitian pada tahun sebelumnya.
Kebutuhan air tanaman (Water
C r o p R e q u i r e m e n t ) y a n g
direpresentasikan oleh Evapotranspirasi
tanaman (ETc) dapat dihitung dengan
menggunakan data ETP dan koefisien
tanaman (Kc). ETP dihitung menggunakan
metode Penman-Monteith, sedangkan nilai
Kc tanaman ditetapkan berdasarkan
referensi dari hasil penelitian di Negara
lain. ETc dihitung dengan persamaan :
Untuk menghitung kebutuhan air neto (NID, Net Irrigation Depth) digunakan persamaan
Dimana: NID : Net Irrigation Depth
AW : air tersedia, ditentukan oleh
selisih antara Kadar Air
Kapasitas Lapang dan Titik
Layu pe rmanen se r ta
kerapatan jenis tanah (mm)
Z : kedalaman perakaran (m)
p : fraksi deplesi air tanah
Interval irigasi dalam satuan hari
dan Dosis Irigasi harian dalam satuan mm
dihitung menggunakan persamaan :
Dimana: IF : Interval irigasi
Irr : dosis irigasi harian
Hasil analisis kebutuhan air
tanaman kakaoyang direpresentasikan
oleh dosis irigasi harian, akan
diaplikasikan pada sistem irigasi tanaman
Kakao dalam satuan liter/hari/populasi.
Desain Sistem Irigasi
Desain sistem irigasi disusun
dengan mempertimbangkan karakteristik
debit minimum sumber air, topografi lahan,
kondisi iklim serta kebutuhan kebutuhan
air tanaman.
Teknik irigasi yang dipilih adalah
irigasi curah menggunakan spray jet.
Desain lengkap plot percobaan disajikan
pada Gambar 4.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
50
Gambar 4. Desain plot percobaan irigasi curah di kebun kakao
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
51
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan
4 perlakuan pemberian irigasi yaitu:
K = kontrol, tanpa pemberian irigasi
1 = 50% dari kebutuhan air tanaman
2 = 75% dari kebutuhan air tanaman
3 = 100% dari kebutuhan air tanaman
Setiap petak perlakukan terdiri dari 5 pohon kakao dewasa dengan jarak tanam
12 x 12 m. Setiap perlakuan dilakukan dengan 3 kali ulangan. sehingga terdapat 4 x 5 x 3 =
60 tanaman. Desain petak percobaan disajikan pada Gambar 5. Desain Tata letak
percobaan untuk 4 perlakuan 3 ulangan, jumlah tanaman 5 ph/ perlakuan.
Model linear untuk penelitian ini :
Dimana :
Yjl = Nilai pengamatan pada kelompok ke-l yang memperoleh taraf ke-j
ke-j faktor debit air.
u = Nilai tengah populasi
Kl = Pengaruh aditif dari kelompok ke-l
Aj = Pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor debit air
τijl = Pengaruh galat yang timbul pada kelompok ke-l yang memperoleh
taraf ke-j faktor Debit air
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati, maka
dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam. Kemudian
terhadap perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan lanjutan dengan Uji Duncan Multiple
Range Test (DMRT) dengan taraf uji 5 %.
Hipotesis penelitian ini adalah bahwa pemberian air saat musim kemarau
dengan menggunakan irigasi curah pada kebun kakao akan berpengaruh pada
produktivitas tanaman.
Pemberian irigasi dilakukan pada saat tanaman kakao mulai mekar buah hingga
3 minggu sebelum tanaman buah dipetik, dengan dosis dan interval sesuai hasil analisis
kebutuhan tanaman kakao serta pertimbangan kondisi iklim.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
52
Gambar 5. Desain tata letak blok percobaan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
53
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ANALISIS KEY AREA IKLIM DAN NERACA AIR MENDUKUNG UPSUS PAJALE
Woro Estiningtyas
RINGKASAN
Upaya adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
keragaman dan kejadian iklim ekstrim yang menyebabkan adanya bencana terkait iklim
(banjir, kekeringan) di beberapa wilayah di Indonesia. Keragaman, kejadian iklim ekstrim,
dan bencana terkait iklim tersebut, akan berdampak terhadap menurunnya luas tanam dan
produksi padi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara indikator global
-curah hujan dan produksi padi. Oleh karena itu wilayah kunci (Key Area) menjadi penting
sebagai indikator untuk mengetahui pengaruh perubahan iklim dan kejadian iklim ekstrim
terhadap curah hujan, bencana terkait iklim dan produksi padi baik saat ini maupun yang
akan datang, terutama di sentra produksi padi. Penelitian dan kajian mendalam perlu
dilakukan pada wilayah kunci (Key Area) keragaman iklim dengan mengembangkan
prediksi iklim, bencana terkait iklim dan produksi padi yang semuanya dikemas dalam suatu
sistem informasi terpadu untuk prediksi, bencana dan produksi berbasis key area. Perilaku
iklim sekarang ini semakin sulit untuk diprediksi sebagai akibat dampak perubahan iklim.
Untuk mensiasati kondisi tersebut, diperlukan pedekatan baru dalam upaya mempelajari
perilaku iklim melalui aplikasi analisis numerik. Analisis numerik adalah teknik yang diguna-
kan untuk memformulasikan masalah matematis agar dapat diselesaikan dengan operasi
perhitungan. Penggunaan metode numerik dapat mengatasi berbagai kelemahan-
kelemahan metode yang ada sebelumnya. Persamaan matematika yang sulit diselesaikan
dengan model analitik, memungkinkan dapat diselesaikan melalui pendekatan numerik. Di
bidang pertanian air merupakan faktor utama penentu kelangsungan produksi pertanian
namun pengelolaannya untuk kelangsungan sumber daya air tersebut masih menghadapi
banyak kendala baik pada skala daerah irigasi maupun Daerah Aliran Sungai (DAS). Ken-
dala tersebut dapat dapat diatasi dengan menyediakan data dan informasi neraca air, sum-
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
54
berdaya iklim dan air yang akurat, terekam
dalam format sistem informasi yang
handal. Permasalahan yang dihadapi saat
ini terkait data sumber daya air adalah
bahwa keberadaan data tersebut
terfragmentasi di berbagai institusi
dengan bentuk, format, jenis, waktu
penyajian dan metode yang berbeda.
Untuk mengatasi kendala tersebut
diperlukan kuantifikasi dan integrasi data
semberdaya iklim dan air sehingga dapat
memberikan informasi secara menyeluruh
baik spasial, tabular dan temporal tentang
kondisi sumberdaya air di suatu wilayah.
Data dan informasi sumberdaya air yang
terintegrasi dapat digunakan sebagai
dasar penyusunan model optimalisasi
sumberdaya air untuk menjawab
permasalahan kelangkaan sumberdaya
air, peningkatan produksi pertanian
terutama dalam upaya adaptasi terhadap
perubahan iklim. Penelitian ini terdiri dari 4
kegiatan, yaitu: 1). Analisis Key Area
Keragaman Iklim Indonesia Mendukung
Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim,
2). Analisis dan Pengembangan Informasi
Dampak Bencana Iklim pada Pertanian
Pangan, 3). Pengembangan Sistim
Informasi Sumberdaya Air Mendukung
Pema n faa ta n Sum ber d aya A i r
Berkelanjutan dan 4). Penelitian dan
Pengembangan Pengelolaan Air Kawasan
Jagung. Tujuan penelitian adalah : 1).
Menyusun model Key Area keragaman
iklim Indonesia mendukung UPSUS
Pajale, 2). Menyusun model prediksi
banjir, kekeringan, OPT dan dampaknya
pada tanaman padi, 3).Menyusun Atlas
Potensi Sumberdaya Air Pulau Sumatera
dan Kalimantan Skala 1:250.000 dan
neraca air berbasis Key Area mendukung
UPSUS Pajale, 4). Menyusun Sistem
Informasi Sumberdaya Air Pertanian Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatera
dan Kalimantan, 5). Menyusun desain
pengelolaan air kawasan.
PENDAHULUAN
Perubahan iklim membawa dampak
hampir di semua aspek kehidupan dan
aktivitas ekonomi. Dampak yang dirasakan
ada yang bersifat langsung seperti pada
sektor pertanian maupun tidak langsung.
Dampak negatif perubahan iklim yang
dialami negara berkembang diperkirakan
lebih besar dibandingkan negara maju
(IPCC 2001). Sektor pertanian merupakan
salah satu sektor yang rawan terhadap
dampak negatif dari perubahan perilaku
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
55
iklim (Yohe and Tol 2002, Stern et al.
2006).
Usaha pertanian memiliki
karakteristik usaha berisiko tinggi terhadap
perubahan iklim. Di sisi lain, sektor
pertanian merupakan sektor andalan bagi
perekonomian Indonesia yang memiliki
peran penting dan strategis. Menurut
Sanim (2009) sektor pertanian
menyumbang 14.02% terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) (posisi semester II
2009) dan merupakan sumber PDB
terbesar ketiga setelah sektor industri
pengolahan dan konstruksi. Selain itu
berdasarkan data BPS 2006-2007 tingkat
penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian cukup tinggi, rata-rata melebihi
40% terhadap total tenaga kerja.
Penduduk Indonesia yang terus
meningkat membawa konsekuensi berupa
pemenuhan kebutuhan pangan yang
hampir 90% nya adalah beras. Sebagai
upaya memenuhi kebutuhan pangan yang
terus meningkat, pemerintah telah
menetapkan pencapaian swasembada
pangan berkelanjutan yang harus dicapai
dalam waktu 3 tahun. Oleh karena itu
diperlukan upaya khusus (UPSUS) untuk
peningkatan produksi yang luar biasa
khususnya padi, jagung dan kedelai
(PAJALE). Pemerintah memberikan
sejumlah target penambahan produksi
Pajale bagi setiap daerah. Mengingat
program UPSUS Pajale ini sangat erat
dengan aktifitas di sektor pertanian, maka
perlu didukung dengan penelitian terutama
yang terkait dengan pengelolaan
sumberdaya iklim dan air seperti
Penelitian dan Pengembangan Analisis
Key Area Iklim dan Neraca Air.
Analisis Key Area dilakukan
didasari oleh adanya keberagaman,
dinamika dan variabilitas iklim di
Indonesia. Indonesia merupakan wilayah
dengan posisi geografis yang sangat
strategis. Di sisi lain, banyaknya faktor
penentu iklim di wilayah Indonesia
menjadikan kondisi iklim di Indonesia
sangat dinamis dan kompleks. Siklus
Hadley, Walker, Monsun, DMI, ITCZ serta
sebaran luas daratan dan lautan sangat
mempengaruhi dinamika iklim di
Indonesia. Oleh Diperlukan penelitian
untuk mengetahui wilayah mana yang bisa
dijadikan kunci (Key Area) atau indikator
terhadap perubahan iklim. Key area
adalah wilayah yang bisa dijadikan
indikator adanya perubahan iklim di
Indonesia dengan indikator utama curah
hujan dan parameter iklim lainnya. Key
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
56
area ini penting karena respon wilayah
terhadap perubahan iklim cukup beragam.
Ada daerah-daerah yang terganggu pola
iklimnya, namun ada pula yang tidak
terganggu pola iklimnya. Penetapan
wilayah kunci (Key Area) memberi arah
dalam penentuan wilayah prioritas
penanganan dampak perubahan iklim
berdasarkan indikator global, regional dan
lokal.
Selain faktor iklim, di bidang
pertanian air merupakan faktor utama
penentu kelangsungan produksi pertanian,
n a m u n p e n g e l o l a a n n y a u n t u k
kelangsungan sumber daya air tersebut
masih menghadapi banyak kendala baik
pada skala daerah irigasi maupun daerah
aliran sungai (DAS) dan seringkali
memunculkan masalah baru yaitu
kelangkaan air, kekeringan dan banjir, dan
banyak permasalahan air lain yang terkait.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya
kompetisi penggunaan air antara sektor
pertanian dengan pengguna air lainya baik
domestik, municipal dan industri.
Untuk itu data dan informasi
sumberdaya air yang akurat, terekam
dalam format sistem informasi berbasis
Daerah Aliran Sungai mutlak diperlukan.
Permasalahan yang dihadapi saat ini baik
di pulau Jawa maupun di luar Jawa adalah
keberadaan data tersebut terfragmentasi
di berbagai institusi dengan bentuk,
format, jenis, waktu penyajian dan metode
yang berbeda. Akibatnya adalah: 1) tidak
ada jaminan kualitas/kuantitas data secara
spasial dan temporal, 2) sangat sulit
mencari dan menyiapkan data dalam
waktu yang singkat, 3) tidak bisa diakses
dengan mudah, 4) tidak komprenhensif, 5)
Kendala dalam updating, dan (6) kurang
optimal dalam penggunaannya. Untuk
mengatasi kendala tersebut diperlukan
kuantifikasi dan integrasi data sumberdaya
air sehingga dapat memberikan informasi
secara menyeluruh baik spasial, tabular,
maupun temporal tentang kondisi
sumberdaya air di suatu wilayah.
Data dan informasi sumberdaya
air yang terintegrasi dapat digunakan
sebagai dasar penyusunan model
optimalisasi sumberdaya air untuk
menjawab permasalahan kelangkaan air
dan peningkatan produksi pertanian
terutama dalam upaya adaptasi terhadap
perubahan iklim. Model tersebut dapat
digunakan sebagai informasi awal dalam
menentukan teknologi pengelolaan air
yang tepat dan untuk menjamin
keberlanjutan ketersediaan sumberdaya
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
57
air suatu DAS. Selanjutnya untuk
menghasilkan model yang tepat dan
akurat diperlukan proses validasi pada
skala yang aplikatif. Lebih lanjut model
yang tervalidasi tersebut perlu
diaplikasikan pada skala petani untuk
menjawab permasalahan aktual di
lapangan, terkait dengan upaya
penyediaan air untuk keberlanjutan
produksi pertanian menghadapi
perubahan iklim global.
Untuk menyusun atlas potensi
sumberdaya air dan sistem informasi
sumberdaya air pertanian Indonesia, maka
pada tahun 2016 diperlukan penelitian
lanjutan Sistem Informasi Sumberdaya Air
Mendukung Pemanfaatan Sumberdaya Air
Berkelanjutan meliputi : Penyusunan
ATLAS Potensi Sumberdaya Air Pulau
Sumatera, dan Penyusunan Sistem
Informasi Sumber daya Air Pertanian
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi,
Sumatera.
D i n a m i k a p e m e n u h a n
kebutuhan pangan perlu didukung dengan
pengelolaan sumberdaya air yang baik.
Data lapangan menunjukkan sekitar 25%
jaringan irigasi rusak, hampir semua
bendung tidak optimal menyediakan suplai
air karena sedimentasi, dan lain-lain.
Pengelolaan air pada level kawasan juga
menjadi kunci penting keberlanjutan
sumberdaya air untuk mendukung
pertanian. Kawasan padi, jagung, kedelai
dan ubi kayu (PJKU) merupakan salah
satu prioritas yang perlu dikaji dan diteliti
terkait dengan pengelolaan air dan
irigasinya.
Selain itu, banjir, kekeringan dan
OPT akibat dampak perubahan iklim yang
masih menjadi fenomena rutin hampir di
setiap musim perlu dikaji dan diteliti
bagaimana kemungkinan kejadiannya ke
depan dan sejauh mana dampaknya
terhadap tanaman khususnya padi. Oleh
karena itu perlu dilakukan juga penelitian
dan pengembangan tentang sistim
informasi prediksi bencana (banjir,
kekeringan dan OPT) serta dampaknya
terhadap tanaman padi.
R P T P P e n e l i t i a n d a n
Pengembangan Analisis Key Area Iklim
dan Neraca Air Mendukung UPSUS
PAJALE terdiri dari 4 kegiatan utama,
yaitu : 1) Penelitian Key Area Keragaman
Iklim Indonesia mendukung UPSUS
Pajale, 2) Penyusunan sistem informasi
sumber daya air untuk pemanfaatan
sumberdaya air berkelanjutan, 3)
Pengelolaan Air Kawasan dan neraca air
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
58
untuk mendukung UPSUS Pajale, serta 4)
Pengembangan Sistim Informasi Prediksi
Bencana di Sektor Pertanian. Rangkaian
kegiatan penelitian ini diharapkan dapat
menghasilkan suatu teknologi dan sistim
informasi yang terkait dengan pengelolaan
sumberdaya iklim dan air mendukung
UPSUS Pajale.
Keragaman Iklim Indonesia
Keragaman Iklim di Indonesia berikut
disitir dari A. Faqih, 2013. Keragaman
atau anomali iklim di Indonesia
dipengaruhi oleh berbagai faktor
pengendali keragaman iklim dengan skala
waktu berbeda yang bersifat non-musiman
mulai dari skala intra musiman hingga
antar-dasawarsa. Dalam skala intra
musiman, terdapat beberapa fenomena
atau kejadian iklim dimana salah satu
kejadian yang cukup dominan dan
mempengaruhi kejadian hujan di
Indonesia yaitu Madden-Julian Oscillation
(MJO, Madden and Julian, 1971; Madden
and Julian, 1972; Madden and Julian,
1994). Pada skala waktu antar tahun
terdapat dua fenomena iklim yang
berkaitan erat tidak hanya terhadap
keragaman curah hujan, tetapi juga
berbagai kejadian bencana iklim di
Indonesia, khususnya kejadian banjir dan
kekeringan. Kedua fenomena iklim
tersebut yaitu El Nino-Southern Oscillation
(ENSO; Philander, 1983; Philander, 1990)
di Samudera Pasifik dan Indian Ocean
Dipole (IOD; Saji et al., 1999; Webster et
al., 1999) di Samudera Hindia. Selain
skala intra musiman dan antar tahun,
kejadian iklim lainnya yang berosilasi
dalam skala waktu dengan frekuensi lebih
rendah dalam rentang dasawarsa hingga
antar dasawarsa yaitu kejadian Pacific
Interdecadal Oscillation (PDO; Mantua and
Hare, 2002; Mantua et al., 1997) dan
Interdecadal Pacific Oscillation (IPO;
Folland et al., 1999; Power et al., 1999).
Kaitan antara berbagai fenomena iklim
diatas dengan keragaman iklim di
Indonesia dijelaskan sebagai berikut
berikut:
Pengaruh Madden-Julian Oscillation
(MJO)
Fenomena MJO merupakan kejadian iklim
intra-musiman dengan siklus berkisar
antara 30-60 harian (MJO; Madden and
Julian, 1971; Madden and Julian, 1994).
Fenomena tersebut terbukti cukup
signifikan dalam mempengaruhi kondisi
keragaman cuaca dan iklim di Indonesia
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
59
(contoh: Hidayat and Kizua, 2010).
Pengaruhnya terhadap keragaman iklim
dapat dengan mudah diidentifikasi melalui
berbagai data series iklim harian seperti
data curah hujan dan angin di sebagian
besar wilayah di Indonesia (contoh:
Hidayat and Kizua, 2010; Madani et al.,
2012). Fenomena MJO bersifat skala luas
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di
berbagai wilayah lain di dunia. Pengaruh
MJO seringkali juga dikaitkan dengan
kejadian curah hujan ekstrim (contoh:
Jones et al., 2004).
Secara umum, aktivitas MJO merupakan
representasi pergerakan gelombang timur-
barat yang dapat diamati melalui
pertumbuhan pergerakan awan arah
baratan. Pergerakan MJO umumnya
dimulai dari kemunculannya di sekitar
wilayah Afrika dan kemudian melintasi
Samudera Hindia, benua maritim
Indonesia, dan sebagian Samudera
Pasifik. Representasi dari pergerakan
MJO dapat diidentifikasi dari sebuah
indeks MJO real time (Real-time
Multivariate MJO index; RMM index) yang
dikembangkan oleh Wheeler and Hendon
(2004). RMM terdiri dari dua jenis index
(RMM1 dan RMM2) yang dikembangkan
dengan menggunakan hasil transformasi
data multivariate yang terdiri dari data
outgoing longwave radiation (OLR), dan
data angin zonal pada level ketinggian 200
mb (u200) dan 850 mb (u850). Kombinasi
RMM1 dan RMM2 dalam suatu diagram
dapat digunakan untuk menentukan lokasi
fase dan intensitas kejadian MJO. Fase
MJO dibagi menjadi 8 fase sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 1.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
60
Gambar 1. Contoh kejadian MJO pada pertengahan Agustus hingga akhir September terhadap kondisi curah hujan harian di Sentarum, Kalimantan Barat. MJO kuat pada fase 1 dan 2 dapat berpengaruh terhadap peningkatan deret hari basah dan curah hujan intensitas tinggi di Sentarum. Ketika MJO melemah pada fase 2 terjadi penurunan curah hujan harian. Curah hujan tinggi kembali muncul di Sentarum ketika MJO pada fase 4, 5 dan 6 kembali menguat (Sumber: Boer et al., 2013)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
61
Dalam kaitannya dengan
identifikasi pengaruh MJO di Indonesia,
sebagai contoh, Boer et al. (2013)
menunjukkan bagaimana kejadian MJO
dapat mempengaruhi secara signifikan
curah hujan dan kenaikan tinggi muka air
di Danau Sentarum, Kalimantan Barat
(Gambar 1). Kejadian MJO pada fase 1
hingga 5 dapat mempengaruhi
peningkatan deret hari hujan (wet spell) di
lokasi. Pada rentang akhir Agustus hingga
pertengahan September 2013 terjadi deret
hari hujan selama 23 hari yang
menyebabkan peningkatan tinggi muka air
danau (pasang). Saat terjadi MJO yang
melemah di fase 2 hingga fase 4, hujan
tetap turun setiap harinya tetapi dengan
intensitas harian yang rendah terutama
pada tanggal 8 hingga 13 September
2013. Curah hujan intensitas tinggi
kembali terjadi ketika sinyal MJO kembali
menguat di akhir fase 4 pada tanggal 14
September 2013. Pada akhir September
hingga Oktober sinyal MJO berada di fase
6, 7 dan 8 dengan intensitas yang semakin
hilang. Pada saat itu hujan tetap turun di
Sentarum, tetapi dengan deret hari hujan
relatif pendek dan jumlah deret hari kering
(dry spell) yang semakin meningkat dan
lama. Kondisi ini mempengaruhi awal
masuknya musim hujan yang biasa terjadi
di Bulan Oktober dan mengakibatkan turun
(surut) nya permukaan air danau.
Surutnya permukaan air danau dan
kondisi yang kering dapat menimbulkan
dampak bagi aktivitas ekonomi
masyarakat di kawasan danau, mulai dari
semakin sulitnya jalur transportasi air,
meningkatnya potensi kebakaran hutan
dan gagal/berkurangnya usaha produksi
pertanian yang dilakukan masyarakat,
serta dampak lainnya berkaitan dengan
masalah kesehatan (Boer et al., 2013).
Pengaruh El Nino-Southern Oscillation
(ENSO)
Pada skala waktu antar tahun, fenomena
ENSO dapat mempengaruhi keragaman
atau anomali iklim di Indonesia secara
signifikan, khususnya terhadap keragaman
curah hujan di Indonesia (Aldrian et al.,
2003; Boer and Faqih, 2004; Faqih, 2004;
Faqih, 2010; Kirono et al., 1999; Saji et al.,
1999). Bentuk dari kejadian ENSO berupa
El Nino atau La Nina seringkali berkaitan
dengan terjadinya peningkatan frekuensi
dan intensitas kejadian cuaca/iklim
ekstrim, seperti hujan lebat, banjir,
kekeringan, kebakaran hutan, gelombang
badai dan tinggi pasang surut. Umumnya
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
62
pada saat kejadian episode ENSO hangat
atau biasa dikenal dengan El Niño, curah
hujan di Indonesia akan turun dibawah
normal, sementara saat episode ENSO
dingin atau dikenal dengan istilah La Niña,
curah hujan di Indonesia akan berada di
atas normal.
ENSO memiliki periode ulang
sekitar 2-7 tahun sekali dengan rata-rata
kemunculan sekitar 4,5 tahunan. Durasi
kejadian ENSO bervariasi mulai dari 5
hingga 18 bulan atau hampir 2 tahun.
Berdasarkan data historis, telah terjadi
peningkatan intensitas kejadian El Nino
selama beberapa dekade terakhir dan
peningkatan tersebut konsisten dengan
terjadinya peningkatan suhu udara rata-
rata global (WMO, 2013). Dengan kata
lain, terdapat kemungkinan bahwa
perubahan iklim ikut memberikan dampak
terhadap perubahan kebiasaan dan
perilaku ENSO yang selanjutnya
berdampak pada perubahan kejadian iklim
ekstrim terutama yang berkaitan dengan
ENSO. Rekam data historis menunjukkan
bahwa kejadian El Nino ekstrim terjadi
pada periode akhir abad 20, yaitu pada
tahun 1982/83 dan 1997/98.
Gambar 2a menunjukkan
keterkaitan yang signifikan antara anomali
suhu muka laut (ASPL) di wilayah Nino-3.4
terhadap keragaman curah hujan antar-
tahun di sebagian besar wilayah Indonesia
berdasarkan periode data 1901-1998.
Peningkatan (penurunan) ASPL sebesar 1
°C di wilayah tersebut yang terkait dengan
fenomena El Nino (La Nina) dapat
menyebabkan penurunan (peningkatan)
curah hujan lebih dari 20 mm/bulan di luar
pengaruh Monsun dan faktor pengendali
iklim lainnya (Gambar 2b). Wilayah yang
paling banyak terpengaruh sebagian besar
berada wilayah Indonesia bagian tengah,
timur dan sebagain wilayah barat.
Selama lebih dari 100 tahun
terakhir, anomali curah hujan di Indonesia
sebagai akibat dari keragaman dan
perubahan iklim telah mengalami pola
perubahan. Gambar 3 menunjukkan
variasi temporal dan rataan zonal wilayah
Indonesia (diagram time-latitude) untuk
anomali curah hujan tahunan yang
menunjukkan kondisi penyimpangan curah
hujan yang semakin besar dalam
beberapa dekade terakhir. Hal ini
berkaitan erat dengan meningkatnya
frekuensi kejadian ENSO terhadap
peningkatan kejadian iklim ekstrim seperti
hujan ekstrim, banjir, dan kekeringan
selama periode tersebut. Selain itu faktor
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
63
pengendali iklim lainnya seperti Indian
Ocean Dipole (IOD) dan Madden-Julian
Oscillation juga berpengaruh terhadap
meningkatnya kejadian iklim ekstrim
tersebut. Sebagai contoh, tercatat bahwa
kejadian IOD positif yang berkaitan
dengan kekeringan di Indonesia terjadi
berbarengan dengan El Nino pada tahun
1997/98 sehingga memberikan dampak
kekeringan yang cukup luar biasa di
Indonesia.
Gambar 2. Hubungan ENSO dengan keragaman curah hujan di Indonesia berdasarkan a) koefisien korelasi spasial, dan b) koefisien regresi linear antara data anomaly suhu permukaan laut ENSO impacts on rainfall variability in Indonesia represented by significant a) correlations coefficients, and b) regression coefficients between rainfall and sea surface temperature anomaly in Nino-3.4 region
Gambar 3. Anomali curah hujan tahunan di Indonesia (6°LU - 11°08'LS dan 95°'BT - 141°45'BT) disajikan dalam grafik time series (atas) dan grafik hubungan lintang-waktu dari rataan zonal wilayah Indonesia (95°'BT - 141°45'BT; bawah). Data curah hujan diambil dari data CRU-TS3.1 (CRU, 2008; Mitchell et al., 2004; Mitchell and Jones, 2005). Anomali dihitung dengan menggunakan rataan curah hujan tahunan periode 1970-2009
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
64
Terkait dengan produksi padi,
Naylor telah memetakan tingkat
signifikansi pengaruh ENSO terhadap
produksi padi di seluruh Indonesia.
Signifikansi diperoleh berdasarkan nilai uji
t. Propinsi dengan signifikansi tinggi antara
lain Sumatera Barat, Pulau Jawa, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur,
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara (Gambar 4).
Pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD)
Fenomena lainnya yang mempengaruhi
keragaman iklim di Indonesia yaitu Indian
Ocean Dipole (IOD). Fenomena tersebut
terjadi di Samudera Hindia dan dapat
menyebabkan penyimpangan iklim di
Indonesia, khususnya di wilayah bagian
barat. Kejadian IOD dapat diidentifikasi
dari data indeks yang dikenal dengan
Dipole Mode Index (Saji et al., 1999). DMI
dapat dihitung dari selisih data unsur iklim
di atmosfer atau lautan seperti data
tekanan, suhu permukaan laut, OLR, dan
unsur lainnya, pada dua lokasi yaitu di
bagian barat dan timur/tenggara
Samudera Hindia. Identifikasi IOD melalui
struktur keragaman suhu permukaan laut
dan angin permukaan berdasarkan data
observasi pernah dilakukan oleh Saji and
Yamagata (2003).
Gambar 4. Pengaruh ENSO pada setiap Provinsi di Indonesia (Sumber : Naylor, CESP)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
65
Gambar 5 menunjukkan ilustrasi
kejadian IOD, dimana pada saat terjadi
DMI positif, terjadi kekeringan di Indonesia
karena awan konvektif lebih banyak terjadi
di wilayah Afrika Timur. Sebaliknya, pada
saat DMI negatif, terjadi peningkatan
curah hujan di Indonesia dan pengurangan
curah hujan di kawasan Samudera Hindia
bagian barat dan Afrika Timur. Kejadian
IOD dapat terjadi berbarengan dengan
ENSO. Sebagai contoh, pada tahun
1997/89, fenomena IOD positif terjadi
berbarengan dengan El Nino sehingga
memperparah kekeringan yang terjadi di
Indonesia.
Gambar 5. Ilustrasi kejadian IOD pada saat IOD positif (kiri) dan IOD negatif (kanan). Sumber gambar: http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/iod_home.html.en
Pengaruh Pacific Decadal Oscillation (PDO)/Interdecadal Pacific Oscillation (IPO)
Disamping aspek jangka panjang
pengaruh ENSO dalam kaitannya dengan
perubahan iklim, kaitan ENSO dengan
keragaman iklim dekadal hingga
interdekadal juga perlu diperhatikan. Hal
ini berkaitan dengan adanya modulasi
ENSO dalam kejadian iklim berfrekuensi
rendah tersebut (Power et al., 1999; White
and Cayan, 2000). Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa perubahan fase dari
faktor pengendali iklim seperti Pacific
Interdecadal Oscillation (PDO, Mantua and
Hare, 2002; Mantua et al., 1997) dan
Interdecadal Pacific Oscillation (IPO,
Folland et al., 1999; Power et al., 1999)
berkaitan erat dengan perubahan
perbandingan frekuensi kejadian El Nino
dan La Nina selama fase tertentu
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
66
berlangsung. Selain itu, perubahan fase
kejadian tersebut juga berkaitan erat
dengan terjadinya periode pergeseran
iklim (climate shift), sebagai contoh pada
per iode 1976/77. Sebagaimana
ditunjukkan oleh Gambar 6, Chiew and
Leahy (2003) mengungkapkan bahwa
selama terjadi fase negative dari IPO,
sebagai contoh selama periode 1948-76,
jumla kejadian La Nina (SOI positif) lebih
banyak dibandingkan jumlah kejadian El
Nino (SOI negatif). Sebaliknya, pada saat
terjadi fase positif pada tahun 1977-1998,
jumlah kejadian El Nino menjadi lebih
banyak dibandingkan La Nina.
Berdasarkan fakta ini, kemampuan
memprediksi iklim dalam skala dekadal
memegang peran kunci dalam prediksi
iklim untuk beberapa dekade selanjutnya,
terutama berkaitan dengan prediksi
perilaku ENSO yang memiliki kaitan erat
terhadap kondisi iklim ekstrim di
Indonesia.
Gambar 6. Annual IPO (thick line) and SOI (dash line) (Sumber: Chiew and Leahy, 2003)
Perubahan Iklim di Indonesia
Dampak perubahan iklim yang paling
dirasakan adalah (i) perubahan suhu
udara; (ii) perubahan curah hujan; (iii)
perubahan tinggi muka air laut; dan (iv)
meningkatnya kejadian iklim ekstrim.
Berikut adalah penjelasan setiap dampak
perubahan iklim yang terjadi.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
67
Laju Peningkatan Suhu Udara
Laju peningkatan suhu udara
rata-rata di Indonesia telah meningkat
tidak lebih dari 1 °C selama 100 tahun
terakhir, sebagaimana telah dilaporkan
dalam dokumen Rencana Aksi Nasional
Adaptasi Perubahan Iklim (Bappenas,
2012). Dengan menggunakan data yang
lebih pendek, sangat memungkinkan untuk
mendapatkan nilai laju peningkatan suhu
rata-rata di Indonesi mencapai lebih dari 1
°C. Hal ini sebagaimana disajikan dalam
perhitungan tren yang disajikan pada
Gambar 7 (Bappenas, 2012). Tentunya hal
ini harus digunakan secara hati-hati
karena disamping tren jangka panjang
yang menunjukkan laju peningkatan suhu
sebagai respon dari pemanasan global
dan perubahan iklim, terdapat pula
variabilitas dekadal dan interdekadal yang
mempengaruhi variasi perubahan tren
dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Tren akibat variabilitas dekadal dan
interdekadal hanya bersifat relatif
sementara dan kemungkinan memiliki laju
yang jauh lebih tinggi atau mungkin lebih
rendah dari tren jangka panjang akibat
pe rubahan i k l im . Has i l s tud i
mengemukakan bahwa peran keragaman
alami sistem iklim dalam skala waktu
tersebut berpengaruh terhadap
peredaman dampak perubahan iklim
akibat faktor antropogenik dalam beberapa
tahun/beberapa puluh tahun mendatang
(Wood, 2008).
Di dalam laporan SREX yang
dikeluarkan oleh IPCC beberapa waktu
yang lalu (IPCC, 2012), peningkatan suhu
rata-rata global dan perubahan iklim
berkaitan erat dengan kondisi ekstrim di
berbagai wilayah. Kondisi suhu ekstrim
memiliki dampak yang lebih langsung
terhadap sektor kehidupan dibandingkan
tren kenaikan dari suhu tersebut yang
bersifat lambat. Beberapa tipe kejadian
ektrim yang berkaitan dengan suhu dapat
berupa gelombang panas dan rentetan
kondisi (suhu) dingin yang memiliki
dampak terhadap kesehatan manusia,
kondisi lingkungan, gangguan pada
ekosistem dan konsumsi energi. Proyeksi
SREX menunjukkan bahwa terdapat
kecocokan antar model yang menunjukkan
peningkatan deret hari panas (warm
spells) untuk wilayah Indonesia (IPCC,
2012). Peningkatan tersebut dapat
berdampak langsung terhadap aktifitas
dan kesehatan manusia serta berpotensi
mengganggu pertumbuhan tanaman
pertanian dan sektor kehutanan.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
68
Gambar 7. Tren suhu rata-rata tahunan untuk wilayah daratan di Indonesia (6°LU - 11°08'LS dan 95°'BT - 141°45'BT) berdasarkan data dari CRU TS3.1. (Sumber: Bappenas, 2012)
Berdasarkan hasil kajian IPCC (2014),
kenaikan suhu global menyebabkan
meningkatnya risiko pada beberapa hal
yaitu : ancaman pada ekosistem, kejadian
cuaca ekstrim, sebaran dampak, dampak
global dan juga bencana luar biasa
ekstrim. Semua kejadian tersebut
menunjukkan kecenderungan meningkat,
terutama pada ekosistem yang meningkat
hingga sangat tinggi (Gambar 8).
Gambar 8. Tingkat risiko iklim akibat kenaikan suhu global (Sumber IPCC 2014 dalam Faqih 2015)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
69
Perubahan Curah Hujan
Analisis curah hujan tahunan
dari data historis menunjukkan tren
perubahan yang beragam secara spasial
dan temporal berdasarkan pembagian
data setiap 30-tahunan (Gambar 9). Hal ini
menunjukkan bahwa walaupun terdapat
kecenderungan bahwa curah hujan telah
mengalami perubahan, akan tetapi
perubahan tersebut sangat bervariasi.
Variasi tersebut kemungkinan besar
disebabkan oleh faktor keragaman iklim
baik dalam skala interannual maupun
dekadal hingga interdekadal. Berbagai
faktor pengendali iklim khususnya ENSO
diperkirakan memiliki peran penting dalam
mempengaruhi distribusi tren perubahan
tersebut.
Suatu wilayah dapat mengalami
tren penurunan pada suatu periode dan
kemungkinan akan mengalami tren
peningkatan pada periode lainnya.
Sebagai contoh wilayah bagian pantai
utara Jawa cenderung mengalami
penurunan curah hujan pada periode 1971
-2000 dibandingkan pada periode 1981-
2009. Hal serupa terjadi di wilayah lainnya
seperti di sebagian besar wilayah Pulau
Sumatera yang menunjukkan tren
penurunan curah hujan yang cukup tinggi
pada periode 1901-1930 hingga mencapai
lebih dari 30 mm/tahun, namun sebaliknya
mengalami tren peningkatan curah hujan
hingga lebih dari 50 mm/tahun di bagian
barat pulau tersebut pada periode 1921-
1950. Variasi tren secara spasial tersebut
dari satu periode ke periode lainnya
berpotensi terjadi pula di masa yang akan
datang, sehingga kajian proyeksi
perubahan curah hujan akan lebih sulit
dibandingkan dengan proyeksi suhu yang
cenderung relatif lebih seragam.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
70
Gambar 9. Tren perubahan curah hujan tahunan setiap periode 30-tahunan di Indonesia: a) 1901-1930, b) 1911-1940, c) 1921-1950, d) 1931-1960, e) 1941-1970, f) 1951-1980, g) 1961-1990, h) 1971-2000 dan i) 1981-2009 (Sumber data: CRU TS3.1; CRU, 2008; Mitchell and Jones, 2005)
Proyeksi kecenderungan curah hujan musiman di Indonesia dari 28 model CMIP5
berdasarkan skenario Representative Concentration Pathways 2.6 (RCP2.6) menunjukkan
kondisi yang konsisten dengan iklim historis yang mengindikasikan penurunan curah hujan
pada musim kemarau di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian Selatan Equator
(Jawa, sebagian besar wilayah Indonesia Bagian Timur), sebaliknya curah hujan pada
musim hujan cenderung akan meningkat, khususnya wilayah Indonesia bagian Utara
(Gambar 10).
Gambar 10. Proyeksi kecenderungan curah hujan musiman di Indonesia dari 28 model CMIP5 berdasarkan skenario Representative Concentration Pathways 2.6 (RCP2.6) (Sumber : Faqih 2015)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
71
Perubahan Tinggi Muka Air Laut
Peningkatan TML dapat disebabkan oleh
berbagai faktor dalam skala global,
reg iona l dan loka l , seh ingga
mempengaruhi keragaman secara spasial
antar wilayah. IPCC (2007) menyebutkan
bahwa terdapat tiga komponen utama
yang menentukan TML relatif, diantaranya:
1) Laju peningkatan TML rata-rata global,
2) Faktor meteo-oseanografi regional, dan
3) pergerakan tanah secara vertikal.
Penentuan ketiga faktor tersebut tidak
memasukkan adanya pengaruh kejadian
peningkatan TML berfrekuensi tinggi
seperti gelombang laut dan pasang.
Pengukuran TML pada dasarnya dapat
dilakukan dengan dua pendekatan yang
masing-masing memiliki perbedaan dalam
penentuan posisi referensi. Kedua cara
pengukurun tersebut, yaitu: melalui alat
pengukur tinggi pasang (tide gauge
measurement) dan satelit altimetri. Dalam
konteks cakupan spasial dan konsistensi
titik referensi, maka pengukuran melalui
satelit altimetry memiliki keunggulan. Hal
ini disebabkan karena hasil pengukuran
melalui satelit dapat mencakup wilayah
yang sangat luas. Selain itu, titik referensi
untuk pengukuran satelit altimetry dapat
berlaku global karena diambil dari pusat
massa bumi yang disebut dengan istilah
Ellipsoid. Titik referensi ini tidak terganggu
oleh pergerakan tanah yang bersifat lokal.
Berdasarkan data beberapa
satelit altimetri dengan periode rentang
waktu yang berbeda, laju perubahan tinggi
muka laut di wilayah Indonesia agak
berbeda antara satu satelit dengan satelit
lainnya (Gambar 11a-c). Namun demikian
secara umum terlihat adanya konsistensi
bahwa untuk wilayah Indonesia terdapat
kecenderungan peningkatan laju tinggi
muka laut khususnya di sekitar bagian
tengah dan timur Indonesia. Berdasarkan
kombinasi dari beberapa satelit
sebagaimana ditampilkan pada Gambar
8d (Satelit Multi-mission), laju peningkatan
TML di wilayah Indonesia berada pada
kisaran 0 hingga 9 mm/tahun. Hasil kajian
ICCSR (Bappenas, 2010a) menunjukkan
pembahasan yang lebih detil berkaitan
dengan kondisi kenaikan TML dan
proyeksinya untuk Indonesia. Kajian
tersebut menunjukkan bahwa selama
periode 2001-2008 telah terjadi rata-rata
peningkatan TML di Indonesia sebesar 6
cm dengan variasi antara 2-12 cm
dibandingkan periode sebelumnya selama
1993-2000 (Bappenas, 2010a).
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
72
Gambar 11. Tren kenaikan TML (dalam mm/tahun) di perairan Indonesia berdasarkan pengukuran dari altimetry satelit, a) Satelit Envisat, b) Satelit Jason-1, c) Satelit Topex-Poseidon, dan d) Satelit Multi-Mission. Data tren dari masing-masing satelit memiliki rentang waktu yang berbeda (Envisat (Des 2003-Jun 2010), Jason-1 (Jan 2002-Jul 2010), Topex-Poseidon (Dec 1992-Oct 2005), dan Multi-mision (Okt 1992-Nov 2009)) (Sumber data: http://www.aviso.oceanobs.com)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
73
DISEMINASI KALENDER TANAM
Haryono dan Fadhlullah Ramadhani
Perubahan iklim dunia tidak terelakan tak terkecuali di negara Indonesia. Ketidakpastian
musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kehilangan hasil panen karena
banjir, kekeringan maupun serangan OPT. Untuk menghindari kerugian tersebut dibutuhkan
sebuah alur informasi yang mudah dan cepat diakses oleh petani, penyuluh dan bahkan
stakeholder dari Dinas yang terkait untuk mengambil keputusan. Adapun kalender tanam
online memberikan informasi tidak hanya potensi awal tanam yang terbaik, juga rekomen-
dasi pupuk, rekomendasi varietas berbasiskan tingkat kerawanan, ketersedian alsintan,
untuk seluruh kecamatan di Indonesia (6.982 kecamatan), gambar near real time CCTV
untuk 7 provinsi dan estimasi luas panen seluruh Indonesia, dengan standing crop yang
didapat melalui citra satelit, sebagai bahan kebijakan nasional tidak impor beras tahun
2015. Informasi lengkapnya dapat diakses melalui situs web; katam.litbang.pertanian.go.id,
SMS 082-123456-500 dan 082-123456-400, aplikasi android https://play.google.com/store/
apps/ details?id=com. litbang.katamterpadu.
Masalah yang dihadapi sebelum dilaksanakannya inovasi ini: 1). Perubahan iklim
menyebabkan perubahan pola curah hujan dan ketidak pastian waktu tanam yang menye-
babkan kerugian petani dan mengancam kedaulatan pangan; 2). Sebelum adanya katam
terpadu, petani mengalami kegalauan mengenai kapan harus memulai tanam, bagaimana
mengantisipasi bencana terkait iklim (banjir, kekeringan, dan organisme pengganggu tana-
man), varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, dan berapa rekomendasi
pupuk yang cocok, serta berapa estimasi luas tanam dan kebutuhan pupuk, benih dan obat
obatan; 3). Selama ini petani dan penyuluh sulit untuk menterjemahkan informasi iklim yang
dipublikasikan oleh BMKG; 4). Alur informasi iklim menjadi informasi waktu tanam dan ben-
cana memerlukan waktu yang cukup lama dan memerlukan birokrasi yang panjang; 5).
Informasi fase pertumbuhan padi melalui cara konvensional membutuhkan waktu yang
lama, kurang akurat, dan tidak diketahui lokasinya; 6). Informasi lama berupa Atlas Kalen-
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
74
der tanam, memerlukan biaya yang tinggi,
dan waktu yang tidak tepat untuk sampai
ke Pengguna, sehingga di butuhkan
Sistem Katam Online.
Pendekatan Strategis mengenai
pemecahan dan bagaimana inovasi ini
telah memecahkan masalah tersebut.
Kementerian Pertanian melalui Badan
Litbang Pertanian telah melaksanakan: 1).
Memanfaatkan informasi prediksi iklim
BMKG untuk analisis dan prediksi waktu
tanam padi, jagung dan kedelai; 2).
Memadukan data historis bencana dengan
informasi prediksi iklim BMKG untuk
penentuan wilayah rawan bencana; 3).
Melakukan pemilihan varietas berdasarkan
informasi wilayah rawan bencana dan
minat petani; 4). Melakukan analisis
kebutuhan dan rekomendasi pupuk di
lahan sawah; 5). Melakukan analisis
ketersediaan dan kebutuhan alsin; 6).
Melakukan pembuatan peta kalender
tanam; 7). Melakukan pemantauan dan
validasi menggunakan CCTV setiap hari;
8). Melakukan analisis fase pertumbuhan
tanaman menggunakan citra Moderate-
resolution Imaging Spectroradiometer
(MODIS) secara regular setiap 8 hari; 9).
Mendesiminasikan informasi kalender
tanam terpadu melalui Web, SMS,
Android, info BPP, Media Sosial, dan
kegiatan temu muka lainnya; 10).
Pembangunan dan pemanfaatan ruang
operasional katam terpadu untuk
operasionalisasi informasi katam terpadu.
Dalam hal apa inovasi ini kreatif
dan inovatif ; Menterjemahkan informasi
prediksi iklim BMKG, data statistik luas
baku sawah BPS, data bencana
Kementerian Pertanian, menjadi informasi
kalender tanam terpadu hingga level
kecamatan (6.982 Kecamatan di seluruh
Indonesia), merupakan satu satunya di
dunia; Merangkum semua informasi
kalender tanam terpadu dalam sistem
informasi berbasis web. Informasi terbaru
(realtime) dapat diakses dengan cepat dan
mudah, dari mana saja dan kapan saja,
dengan mudah menggunakan internet
secara interaktif, dalam bentuk penyajian
secara spasial, tabular dan grafik;
Teknologi keterpaduan data yang
disampaikan secara multi channel (web,
sms, android, bahan cetakan, media
sosial, dan temu muka) divalidasi dengan
monitoring waktu tanam melalui CCTV dan
analisis fase pertumbuhan tanaman
melalui citra satelit. Teknologi ini adalah
sebuah karya “Orsinil” milik anak bangsa
yang memberikan solusi menyeluruh untuk
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
75
membantu petani dan penyuluh
merencanakan tanam, mengurangi
kehilangan hasil; Menentukan kebijakan
Secara Nasional luas tanam, waktu panen
dan estimasi ketersediaan Stok Beras,
kebutuhan Saprodi yang berdampak
penentuan tidak Impor beras pada tahun
2015; Data CCTV dapat diakses secara
realtime dan historis, sangat berguna
untuk data penelitian atau evaluasi katam
dari pihak luar; Fase pertumbuhan
tanaman di lapang dimonitor melalui
analisis citra satelit yang di perbaharui
secara periodik 3 kali dalam sebulan;
Diseminasi dan sosialisasi informasi
kalender tanam terpadu menggunakan tim
gugus tugas yang menyebar diseluruh
provinsi untuk memudahkan dan
meningkatkan sebaran sosialisasi hingga
ke level paling ujung (petani dan
penyuluh).
Se ja r ah pengembangan ;
Balitbangtan dari tahun 2005-2010 telah
mengembangkan katam semi dinamik
yang menghasilkan peta katam untuk
tahun basah, tahun kering, dan tahun
normal. (Atlas Katam 5 edisi, sudah
mendapat 20 Hak Cipta Atlas Katam).
Gambar 1. Produk Kalender Tanam tahun 2007-2010 dan Katam Terpadu 2011-2016
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
76
Pada tahun 2011, mulai
mengembangkan kalender tanam terpadu
dengan tambahan data rekomendasi,
pada tahun ini baru situs katam terpadu
dikembangkan. (System Informasi Katam
Versi 1,0). Pada tahun 2012-2013,
dikembangkan menggunakan sms center
dan android. (Versi 1.2; Versi 1.3; Versi
1.4; Versi 1.5; Versi 1.6; Versi 1.7; Versi
1.8). Pada tahun 2014 dikembangkan
sistem CCTV dan standing crop; Pada
tahun 2015 mengembangkan sistem SMS
dengan cara baru (System Informasi
Katam Modern Versi 2.0; Versi 2.1; Versi
2.2 dan Versi 2.3. sedang dalam proses,
20 Hak Cipta Aplikasi Web Kalender
tanam Terpadu).
Sejarah diseminasi; Pembentukan
Tim Gugus Tugas seluruh BPTP di
Indonesia yang berkordinasi dengan cepat
m e l a l u i m a i l i n g l i s t
katam_terpadu@yahoogroups.com,
Whats App Group Katam Terpadu
Modern, dan komputas i awan
menggunakan Google Drive; Melalui 34
BPTP tiap provinsi inilah diseminasi
dilanjutkan ke tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten; Diseminasi dilakukan juga
mengguna iklan di televisi dengan Lula
Kamal dan Jarwo Kuwat sebagai aktris
utamanya. Diseminasi dengan menerima
Kunjungan dari berbagai negara (Jerman,
Mexico, Thailand, Vietnam), mahasiswa
dan Pegawai Pemerintah dan Swasta.
Keluaran (output); Tingkat akses
situs web, sms center, dan android yang
mengalami peningkatan dari 2011 – 2015;
Dengan analisis Citra Modis atau Standing
Crop dari 3 bulan menjadi 8 hari sekali
bisa estimasi luas tanam tiap phase di
seluruh wilayah Indonesia, berdampak
pada estimasi luas panen setiap 8 hari
sekali dan penentu kebijakan bisa
memperhitungkan ketersediaan stok beras
secara nasional, hingga berani
mengatakan tidak impor beras pada tahun
2015.
Sistem yang diterapkan untuk
memantau kemajuan dan mengevaluasi
keg ia tan; Menggunakan CCTV;
Menggunakan citra satelit; Google
analytics, Google Play Dashboard, Report
dari aplikasi SMS center.
Kendala yang dihadapi; Tingkat
validasi yang perlu ditingkatkan; Tingkat
resistensi petani yang belum percaya
dengan katam terpadu.
Manfaat utama yang dihasilkan,
memberikan rekomendasi waktu tanam,
varietas dan pupuk berdasarkan prediksi
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
77
iklim BMKG sehingga diharapkan dapat
menekan risiko kehilangan hasil akibat
pergeseran pola hujan, Menentukan
Kebijakan tidak impor beras tahun 2015,
berdasar estimasi Modis secara berkala
setiap 8 hari, untuk tiap fase pertumbuhan
Perbedaan sebelum dan sesudah
inovasi, Sebelumya: mendapat informasi
melalui Publikasi berupa Atlas Kalender
tanam, yang proses sampainya sering
tidak tepat waktu atau sudah, kadaluarsa.
Gambar 2. Inovasi dengan SMS
Diseminasi keberlanjutan, adalah
pengembangan sistem informasi harus
dibangun secara sederhana dan
dikembangkan secara bertahap dengan
mendengarkan masukan dari pengguna.
Keberlanjutan sistem informasi ditentukan
dengan pengembangan fitur yang tidak
hanya harus canggih tapi juga down to
earth untuk menjangkau pengguna lebih
banyak lagi. Ini dibuktikan bahwa katam
terpadu tidak hanya dikembangkan di
android tapi juga sms center. Waktu
diseminasi teknologi kepada pengguna
tidak cukup 1-2 tahun saja, harus tetap
didukung oleh pemerintah pusat untuk
mendapatkan hati para penggunanya,
Melalui 34 BPTP tiap provinsi inilah
diseminasi dilanjutkan ke tingkat provinsi
dan tingkat kabupaten, sampai
kecamatan. Pembentukan Tim Gugus
Tugas seluruh BPTP di Indonesia yang
berkordinasi dengan cepat melalui mailing
list katam_terpadu@yahoogroups.com,
Whats App Group Katam Terpadu
Modern, dan komputas i awan
menggunakan Google Drive, dilaksanakan
FGD 2 kali dalam setahun. Diseminasi
dengan menerima Kunjungan dari
berbagai negara (Jerman, Mexico,
Thailand, Vietnam), mahasiswa dan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
78
Pegawai Pemerintah dan Swasta, Kerjasama Penelitian dengan perguruan tinggi, dalam
Sistem Informasi Kalender tanam terpadu tahun 2016.
Gambar 3. Kunjungan Delegasi Land Development Department (LDD) Thailand, 26 Mei 2015 dan Kunjungan MAFC Tanzania ke Balitklimat, 24 Juni 2015, serta Rombongan Mexindo, 7 Nop 2014
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
79
Gambar 4. Sosialisasi dan FGD Kalender Tanam Terpadu MK 2015, Banten, 24-26 Maret 2015
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 13 2016 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
80
UCAPAN TERIMA KASIH (apabila dianggap perlu), berisi penghargaan singkat kepada pihak-pihak yang telah berjasa selama penelitian (3-5 kalimat ringkas).
PUSTAKA disusun menurut abjad dan diberi nomor urut. Secara umum, setiap pustaka hendaknya terdiri atas nama penulis, tahun, judul, halaman, dan penerbit. Pustaka seyogyanya dipilih yang masih mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan ditulis sebagai berikut: Untuk Artikel di dalam buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan tempat penerbit. Contoh:
Ginting, Z., K. Romimohtarto, S. Hadi , dan S. Saimima. 2004 Prediksi perkembangan iklim di Indonesia Tahun 2004, hal. 135-185. Dalam H. Djojodihardjo et al. (red.). Strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim, Bogor, 21-23 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor.
Untuk Terbitan Berkala: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, nama terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan nomor halaman. Contoh:
Yates, A. W., Jr., J. R. Boyle, and D. R. Duran. 2004. Improving water use efficiency in the rainfed farming systems. J. Agric. Science. 72(4): 519-522.
Untuk buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul buku, edisi dan tahun revisi, nama dan tempat penerbit, dan jumlah halaman. Contoh:
Su, J. 2004. Forecasting and time series analysis, vol I. Edwards, Ann Arbor, Michigan, 345pp.
PERSIAPAN TULISAN. Persiapan Tulisan. Naskah diketik dua spasi pada kertas ukuran A4 , satu muka, tipe huruf baku ukuran 12 cpi dan tidak lebih dari 15 halaman (termasuk tabel, gambar, dan pustaka). Badan naskah dicetak dengan ketentuan batas pinggir kertas 3cm atas, bawah, dan kanan, dan 4 cm dari kiri.
Tabel ‘masuk’ ke dalam teks, tidak dikumpulkan di bagian akhir makalah sebagaimana halnya lampiran. Judul tabel terletak di atas tabel yang bersangkutan dan hendaknya berupa satu kalimat yang singkat dan jelas (termasuk keterangan tempat dan waktu). Judul gambar terletak di bawah gambar yang bersangkutan Angka desimal ditandai dengan koma (bahasa Indonesia) atau titik (bahasa Inggeris). Besaran ditulis menurut Standar Internasional, bukan besaran lokal (e.g., kuintal, are) dan mengikuti kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (misalnya: g, l, kg, bukan gr. Ltr, atau Kg). Catatan kaki pada tabel ditandai dengan huruf atau angkadengan posisi agak naik (superscript). Gambar & Grafis hendaknya dibuat dengan piranti lunak komputer berikut ini: Microsoft Excel dan Corel Draw. Foto hendaknya kontras, tajam, dan jelas.
Penyerahan File Penulis yang makalahnya akan segera diterbitkan agar
menyerahkan file teks dan gambar (format seperti tertera sebelumnya) file
diserahkan ke bagian Jasa Penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi jl.
Tentara Pelajar No. 1 A Cimanggu Bogor 16111.