Post on 09-Jul-2016
Hai, Bu, apa kabarmu di sana?
Semoga kampung halaman selalu menjagamu. Aku
juga berharap, semoga tanah rantau selalu setia
menjadi lumbung rindu dariku untukmu. Sehatlah
selalu di sana, meski hanya doa dan surat yang kuasa
kukirim. Namun, ibu tak perlu risau dengan kondisiku
di sini. Hati kita tetap lekat, meski jarak membentang
sekian ratus kilometer antara kita. Toh, kita masih
berpijak di bumi yang sama.
Bu, rindu untukmu akan selalu ada. Diam-diam aku selalu berdoa agar Ibu diberi kesehatan dan panjang usia.
Semoga ibu diberi kesehatan dan panjang usia via www.wattpad.com
Selayaknya pria pada umumnya, aku memang cuek
dan tak perasa. Aku tak setiap hari mengirimkan pesan
singkat maupun menelponmu. Aku lebih gemar
menunggumu yang memberi kabar terlebih dahulu.
Mendengar tuturanmu yang menceritakan keadaan
kampung halaman nan jauh di sana mampu sedikit
mengobati rasa rindu di dalam dada.
Selalu ada saat dimana aku merindukan suara bernada
khawatirmu, pertanyaan ingin tahu mengenai ini itu,
atau komentar yang kadang terdengar lucu. Seringnya
lidah ini juga rindu masakanmu. Melahap sarapan,
makan siang, hingga makan malam yang kau buat
dengan penuh cinta. Sampai kapanpun masakanmu
selalu jadi juaranya.
Ibu harus tahu bahwa rindu untukmu selalu ada di dalam dada.
Permasalahan memang tak pernah alpa dari hidup kita. Pahit manis yang pernah dirasa, semoga menempa kita menjadi pribadi yang makin kuat ke depannya.
Terimakasih ibu via www.imagesource.com
Aku pun juga ingin menghaturkan maaf, aku sadar
hingga detik ini masih saja merepotkanmu. Belum lagi
usiaku yang kian bertambah saja. Tak pelak hal inilah
yang membuat para tetangga bergunjing ria.
Membicarakan kelemahanku di sana sini. Membuat
hatimu terluka sekali lagi.
Maafkan aku Bu, karena cukup sering tak acuh
padamu. Larangan yang kau serukan serta imbauan
yang kau harapkan tak pernah kulakukan. Sekarang,
hanya sesal yang bisa kurasakan. Harusnya aku
menuruti semua ucapanmu, agar kau tak perlu malu
ketika para tetangga mengomentariku.
Harusnya aku bisa menggeluti profesi sesuai
keinginanmu, tetapi aku tidak pernah menghiraukan
saranmu. Aku lebih gemar menghabiskan waktu di
kamar, berkutat dengan buku, atau bermain dengan
teman.
Maafkan aku, Bu. Meski aku telah tamat sebagai
sarjana dengan gelar pendidikan di akhir nama, tapi
aku masih belum bisa membalas semua jerih payahmu.
Untuk saat ini, sepertinya hanya maaf yang bisa
kukirim padamu selain doa. Tapi tenang Bu, aku akan
buktikan pada semua orang bahwa aku bukanlah orang
yang seperti mereka bayangkan. Aku bertekad akan
membuatmu bangga karena telah membawaku ke
dunia.
Terimakasih kuucapkan untukmu yang selalu memberikan cinta. Kini giliranku yang sedia menjagamu di sisa usia.
Kini giliranku yang menjagamu di sisa usia via www.radio1.si
Sekali lagi, Bu. Jangan khawatirkan aku karena aku
sudah bukan anak kecil lagi. Meski terkadang aku
selalu manja di pelukanmu. Tapi persepsi jarak inilah
yang membuatku sadar, bahwa aku harus tegar.
Ibu, tunggu aku kembali. Tapi jangan terlalu berharap
aku akan menggeluti profesi yang kau ingini. Aku akan
menggapai cita-citaku sendiri. Melewati batas
kemampuan dan mendobrak halangan di depan mata.
Yang kubutuhkan hanya doa restumu yang tak ada
putusnya. Sudah, itu saja.
Terima kasih untuk semua yang telah kau berikan
padaku. Untuk peluh yang terkucur demi buah hatimu.
Untuk kasih sayang yang tak ada batasnya. Untuk
namaku yang selalu kau selipkan di dalam doa. Terima
kasih, Ibu, wanita luar biasa dengan berjuta cinta.
Darimu, putra yang selalu menyayangimu
Entah berapa lama lagi, tapi aku pasti akan menjadi seorang ibu.
Tapi, apakah aku bisa menjadi sepertimu?
Ibu, sejujurnya aku ketakutan. Aku takut tak bisa
menjadi sepertimu, manusia paling sempurna yang
pernah kulihat.
Kau wanita yang tak pernah meneteskan air mata didepan anak-anakmu, meskipun aku tahu betul betapa terlukanya hatimu. Kau tak pernah menghapus senyum bahagia dari bibirmu, menyembunyikan rasa sakit yang kau rasa.
Ibu, apakah aku bisa menjadi sepertimu? Aku bahkan
sering mengobral air mata saat hatiku sedikit tergores.
Aku bahkan tak akan bisa tersenyum tulus sepertimu,
untuk menutupi rasa sakit yang aku rasa. Bagaimana
jika nanti aku menjadi seorang ibu? Bisakah aku
menjadi sepertimu, yang sanggup menahan sakitnya
hati, tersenyum tulus, dan tak biarkan anak-anakmu
melihat air matamu sekalipun?
Ibu, mengapa aku rasanya tak sanggup untuk menjadi
sepertimu? Menjadi seorang ibu yang bahkan tak
pernah berteriak kesal karena kelakuan nakal anak-
anakmu. Ibu, bagaimana caranya untuk bisa meredam
amarahmu begitu hebatnya? Kau seperti lautan yang
tenang, bahkan tak pernah sekalipun ku lihat riaknya.
Aku malu bu, aku bahkan bisa meledak hebat hanya
karena hal kecil. Aku malu jika suatu saat nanti anakku
melihat bagaimana dahsyatnya ledakan amarahku. Apa
yang mereka pikirkan? Aku takut mereka
menganggapku seorang monster. Ibu, tolong ajari aku
untuk bisa tenang sepertimu.
Ibu, bisakah aku menjadi wanita kuat sepertimu? Kau
tak pernah mengeluh sedikitpun, walaupun aku tahu
bagaimana letihnya dirimu mengerjakan semua tugas
sebagai ibu.
Kau bangun sebelum sebelum matahari terbit, dan tak akan pergi tidur sebelum memastikan anakmu telah lelap.
Ibu, aku bahkan tak sanggup membayangkan
bagaimana lelahnya tugas untuk menjadi seorang ibu.
Bagaimana caranya untuk bisa menjadi sepertimu, ibu?
Ibu, bisakah kelak aku menjadi wanita yang ikhlas
melakukan apapun demi anakku? Bisakah aku menjadi
sepertimu yang berkata sangat kenyang ketika kau
hanya memakan nasi, dan memberikan lauknya untuk
anakmu ini? Mungkinkah aku bisa menahan rasa
kantuk saat menjaga anakku nanti, seperti kau yang
tetap terjaga menjagaku saat aku sakit dulu? Ibu,
tolong berikan aku sedikit rasa ikhlas yang kau miliki,
agar aku bisa menjadi sepertimu.
Ibu, apakah kau tak pernah merasa sedih sedikitpun? Apakah kau tak pernah merasa marah
sekalipun? Atau mungkinkah kau tak tahu ada kata lelah yang bisa kau ucapkan saat tugasmu sebagai ibu tak pernah usai? Ibu, mungkinkah aku bisa menjadi sepertimu?
Sebenarnya aku tahu, bahwa aku tak akan pernah bisa
menjadi sepertimu. Tapi doakan dan tolonglah aku
agar bisa menjadi ibu yang baik, meskipun aku ingin
menjadi ibu yang sempurna sepertimu. Ibu, saat aku
kelak telah memiliki anak dan menjadi seorang ibu,
tolong tegur aku jika kau melihatku menangis di
hadapan anakku. Ibu, tolong ingatkan aku untuk selalu
tersenyum di hadapan anakku meskipun aku
merasakan sakit. Ibu, bantulah aku untuk bisa tenang
sepertimu, meskipun aku sedang kecewa dan marah.
Ibu, kau sering berkata bahwa semua rasa ikhlas dan
mengalah akan tumbuh saat kelak aku menjadi
seorang ibu. Jika memang hal itu benar, apakah aku
bisa menjadi sepertimu, ibu?