Post on 07-Jul-2018
8/18/2019 Koef Aliran
1/104
UNIVERSITAS INDONESIA
KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN DI DAS SEKAMPUNG,
PROVINSI LAMPUNG TAHUN 1995 - 2010
ANGGUN CITRA PUTRINDA
0606071191
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI GEOGRAFI
DEPOK
JULI 2012
8/18/2019 Koef Aliran
2/104
UNIVERSITAS INDONESIA
KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN DI DAS SEKAMPUNG,
PROVINSI LAMPUNG TAHUN 1995 - 2010
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
ANGGUN CITRA PUTRINDA0606071191
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI GEOGRAFI
DEPOK
JULI 2012
8/18/2019 Koef Aliran
3/104
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis
nyatakan dengan benar.
Nama : Anggun Citra Putrinda
NPM : 0606071191
Tanda Tangan :
Tanggal : 13 Juli 2012
8/18/2019 Koef Aliran
4/104
iv
8/18/2019 Koef Aliran
5/104
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan
skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Sains Program Studi Sarjana Geografi pada Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, mulai dari awal perkuliahan hingga pada penyusunan skripsi ini, penulis
tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulismengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
a) Bapak Drs. Sobirin, M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Dr.rer.nat. Eko
Kusratmoko, M.S selaku pembimbing II yang telah membantu penulis baik
waktu, tenaga, dan pikiran dalam penyusunan skripsi ini;
b) Bapak Drs. Hari Kartono, M.S selaku penguji I dan Bapak Tito Latif Indra,
S.Si, M.Si selaku penguji II yang telah memberikan banyak masukan dan saran
dalam penyusunan skripsi ini;c) Ibu Dra. Astrid Damayanti (selaku penguji proposal), dan Bapak Adi Wibowo,
S.Si, M.Si selaku Koordinator Penelitian Departemen Geografi yang telah
memberikan masukan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
d) Segenap karyawan dan staf dosen Departemen Geografi yang sudah banyak
memberikan ilmu, bantuan dan dorongan kepada penulis dari masa
perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini;
e)
Ibunda dan Bapak tercinta yang telah merawat, menyayangi, mendo’akanananda selama ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan
karunia yang berlimpah serta kebahagiaan kepada kalian, namun kita tetap
dapat bersyukur. Amin.
f) Suamiku tercinta yang telah memberikan do’a, dorongan, dan saran yang tak
ternilai kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
g) Para sahabatku Siti Tenricapa, Riza Amelia, , Stevira Stani, Citra Maida H,
Rizki Fitrahadi, Chintya Dewi dan Ida Siti Sya’diah yang selalu mengisi
8/18/2019 Koef Aliran
6/104
vi
masa-masa perkuliahan dengan canda dan tawa, serta motivasi yang selalu
diberikan. Semoga kita selalu mendapatkan yang terbaik, Amin;
h) Budi Wibowo, Anggi Kusumawardani, Zulfikri Arzi, Herlina A P, Laila
Amirah, Siti Aulia, Siti Tenricapa, Eka Wirda dan Stevira Stani, yang telah
meluangkan waktu untuk berdiskusi, sukses selalu untuk kita semua;
i) Teman-teman Geografi angkatan 2006 yang tidak dapat penulis sebut satu
per satu. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya;
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, amin.
Depok, 13 Juli 2012
Penulis
8/18/2019 Koef Aliran
7/104
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Anggun Citra Putrinda NPM : 0606071191Program Studi : GeografiDepartemen : GeografiFakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamJenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Koefisien Aliran Permukaan diDAS Sekampung, Provinsi Lampung Tahun 1995 - 2010
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan namasaya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 13 Juli 2012
Yang menyatakan
( Anggun Citra Putrinda )
8/18/2019 Koef Aliran
8/104
viii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Anggun Citra PutrindaProgram Studi : GeografiJudul : Koefisien Aliran Permukaan di DAS Sekampung, Provinsi
Lampung Tahun 1995 - 2010
Koefiesien aliran permukaan memberi gambaran tentang bagaimana kondisi biofisik DAS dalam merespon curah hujan jatuh di DAS. Semakin besarkoefisien aliran akan memberikan konsekuensi semakin tingginya bagiancurah hujan yang menjadi aliran permukaan dan sebaliknya. Koefisien
aliran permukaan di DAS Sekampung berkisar antara 6,9 - 64,7. Variabel penelitian yang mempengaruhi nilai koefisien aliran permukaan adalah curahhujan, penggunaan tanah tegalan, hutan, perkebunan dan kebun campuran, daerahterbangun, lereng serta bentuk DAS. Dari nilai koefisien aliran permukaan DASSekampung yang ada, menunjukkan bahwa sebagian besar dari air hujan yangturun menjadi aliran permukaan, dan sisanya akan terserap ke dalam tanah untukmenjadi aliran bawah permukaan atau tersimpan menjadi air tanah.
Kata kunci : curah hujan, penggunaan tanah, koefisien aliran permukaanxiv + 90 halaman : 30 gambar; 26 tabel; 12 lampiran;Daftar Referensi : 28 (1949-2010)
8/18/2019 Koef Aliran
9/104
ix Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Anggun Citra PutrindaStudy Program: GeographyTitle : Surface Flow Coefficient in the Sekampung Watershed, Lampung
Province in 1995 - 2010
Surface flow coefficient gives an idea of how the biophysical conditions in thewatershed response to precipitation falling in the watershed. The greater theconsequences to flow coefficient the higher the rainfall becomes runoff and viceversa. Surface flow coefficient in the watershed Sekampung ranges from 6,9 to6,47%. Research variables that affect the value of the coefficient is rainfall, dry
land, forest, garden and mix garden, building area, slope and form of thewatershed. Surface flow coefficient values indicate that most of the rainfall thatoccurs will be surface flow and little part will be get into the ground and become
base flow or stored become groundwater.
Keyword : rainfall, land use, surface flow coefficientxiv + 90 page : 30 picture; 26 table; 12 attachment;Reference : 28 (1949-2010)
8/18/2019 Koef Aliran
10/104
x Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
LEMBAR ORISINALITAS ………………………………………………..…….... iiiLEMBAR PENGESAHAN …………………………………………….………….. ivKATA PENGANTAR ……………………………………………………………… vLEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……………….. viiABSTRAK ……………………………………………………………………….….. viiiABSTRACT ………………………………………………………………….…….... ixDAFTAR ISI ………………………………………………………………..……...... xDAFTAR TABEL ………………………………………………………..…….…… xiiDAFTAR GAMBAR …………………………………………………..…………… xiii
DAFTAR PERSAMAAN ……………………………………………..….……… xiiiDAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………..…………… xiv
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 11.1 Latar Belakang………………………………………...…….……..…….
1
1.2 Masalah …………………………………………….………….…… 31.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………….…… 31.4 Batasan Penelitian…………………………………………….……….…
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 62.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ………………………………………… 6
2.1.1 Pengertian DAS…………………………………..….……..…… 62.1.2 Siklus Hidrologi………………………………………………… 72.1.3 Hidrologi DAS ………………………..…………………..…… 8
a. Presipitasi (Hujan) ………………………..……………… 8 b. Intersepsi, Evapotranspirasi dan Infiltasi ………………… 11c. Aliran Permukaan ………………………..………………… 14
2.1.4 Morfologi DAS …………………….…………………................ 152.1.5 Ekosistem DAS ……………………………….…………….… 162.1.6 Morfometri DAS ……………………………….……................. 18
2.1.6.1 Bentuk DAS ……………………..………………..……… 192.1.6.2 Kerapatan Jaringan Sungai ………………….…...…….… 192.1.6.3 Pola Aliran Sungai …………………………………..….… 21
2.2 Penggunaan Tanah ……………………………………………...... 222.3 Tingkat Kekritisan Suatu DAS…………………..……………..…. 232.4 Koefisien Aliran Permukaan ( runoff coefficient) ………………… 23
8/18/2019 Koef Aliran
11/104
xi Universitas Indonesia
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………… 253.1 Kerangka Teori …………………………………………...……..…… 253.2 Variabel-Variabel Penelitian …………………………………..…… 253.3 Pengumpulan Data ………………………………………….………… 263.4 Pengolahan Data ……………………………………….…….………. 263.5 Analisis Data……………………………………………...................... 27
BAB IV FAKTA WILAYAH …………………………………………….. 284.1 Pembagian DAS di Propinsi Lampung …………………………….. 284.2 Lokasi Penelitian …………………………………………………..… 294.3 Topografi …………………………………………………...…….…… 32
4.3.1 Wilayah Ketinggian ………………………………..………..… 324.3.2 Wilayah Lereng ……………………………………….…..…… 34
4.4 Penggunaan Tanah ………………………………………………..…… 364.4.1 Hutan …………………………………………………….……. 394.4.2 Kebun Campuran. …………………………………………..… 404.4.3 Tegalan ……………….…………………………….…….……. 414.4.4 Perkebunan .………………………………………………..…… 42
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ………………………………… 435.1 ANALISIS …………………………………………………….……... 47
5.1.1 Gambaran Bagian-bagian DAS Sekampung ……………………. 43
5.1.2 Morfometri DAS Sekampung …………………………………… 475.1.3 Curah Hujan ……………………………………………………. 505.1.4 Aliran Permukaan ………………………………………………… 535.1.5 Koefisien Aliran Permukaan ……………………………………. 56
5.2 PEMBAHASAN ……………………………………………………… 595.2.1 Keterkaitan Variabel Penelitian dengan Koefisien Aliran
Permukaan………………………………………………….……
595.2.1.1 Keterkaitan Curah Hujan dengan Koefisien Aliran Permukaa 595.2.1.2 Keterkaitan Penggunaan Tanah dengan Koefisien Aliran
Permukaan …………………………………………………….
60
5.2.1.3 Keterkaitan Bentuk DAS dengan Koefisien Aliran Permukaan 665.2.1.4 Keterkaitan Lereng dengan Koefisien Aliran Permukaan …… 665.2.1.5 Keterkaitan Luas Daerah Terbangun dengan Koefisien Aliran
Permukaan ……………………………………………………
68
BAB VI KESIMPULAN …………………………………………….….…… 71
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 72
LAMPIRAN …………………………………………….……….………….. 74
8/18/2019 Koef Aliran
12/104
xii Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 4.2.1 Pembagian Sub DAS beserta Luasannya ..................... 29
Tabel 4.2.2 Luas Kabupaten yang Tercakup di DAS Sekampung … 31
Tabel 4.2.3 Pembagian Sub DAS Sekampung untuk Dianalisis ..... 32Tabel 4.3.1 Luas Wilayah Ketinggian Masing-masing Sub DAS (Ha)…… 33Tabel 4.3.2 Luas Wilayah Lereng Masing-masing Sub DAS (Ha) ……… 35Tabel 4.4.1 Luas Penggunaan Tanah di Sub DAS Sekampung (Ha) ……. 38Tabel 4.4.2 Persentase PT Vegetasi terhadap Total PT tiap Sub DAS …… 37Tabel 5.1.2a Nilai Rc bentuk Sub DAS di DAS Sekampung ………….….... 48Tabel 5.1.2b Panjang dan Kerapatan Jaringan Sungai Masing-masing Sub
DAS …………………………………………….…………..
49
Tabel 5.1.2c Pola Aliran Sungai Masing-masing Sub DAS Sekampung ….. 50Tabel 5.1.3a Rata-rata Curah Hujan Bulanan Sub DAS Sekampung Tahun
1995 - 2010 ………………….…….………………………….
51Tabel 5.1.3b Curah Hujan Tahunan Sub DAS Sekampung .………….…..… 52Tabel 5.1.4a Nilai Aliran Permukaan Bulanan Tahun 1995-2010 ………….... 53Tabel 5.1.4b Nilai Aliran Permukaan Tahunan Sub DAS Sekampung ….... 55Tabel 5.1.5 Nilai Koefisien Aliran Permukaan Tahunan pada Sub DAS
Sekampung………………………………………………...
57Tabel 5.2.1.1 Keterkaitan Curah Hujan dengan Koefisien Aliran
Permukaan ..……………………………………………….. 59
Tabel 5.2.1.2a Keterkaitan Penggunaan Tanah Hutan dengan KoefisienAliran Permukaan …………………………………………
60
Tabel 5.2.1.2b Keterkaitan Penggunaan Tanah Perkebunan dengan KoefisienAliran Permukaan . …………………………..…..…..….…….
61
Tabel 5.2.1.2c Keterkaitan Penggunaan Tanah Kebun Campuran denganKoefisien Aliran Permukaan ………………………………..
63
Tabel 5.2.1.2d Keterkaitan Penggunaan Tanah Tegalan dengan KoefisienAliran Permukaan ……………………………………….…. 64
Tabel 5.2.1.3 Keterkaitan Bentuk DAS dengan Koefisien AliranPermukaan ……………………………………………….... 66
Tabel 5.2.1.4 Keterkaitan Lereng dengan Koefisien Aliran Permukaan…… 66Tabel 5.2.1.5 Keterkaitan Luas Daerah Terbangun dengan K oefisien Aliran
Permukaan …………………………………………………….
68
Tabel 5.2.2 Matriks Hasil Overlay Keterkaitan Variabel Penelitian denganKoefisien Aliran Permukaan ………………………………. 70
8/18/2019 Koef Aliran
13/104
xiii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.2a Siklus Hidrologi …………………………………………… 7
Gambar 2.1.2b Proses Evapotranspirasi …………………………………… 12Gambar 2.1.2c Proses Infiltrasi ……………………………………………… 14Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian ………………………………………... 26Gambar 4.1 Satuan Wilayah Sungai Provinsi Lampung ……..………..… 28Gambar 4.2.1 Pembagian Sub DAS Sekampung ………………………..…. 30Gambar 4.2.3 Pembagian Sub DAS Sekampung untuk Dianalisis....... 31Gambar 4.3.1 Wilayah Ketinggian Sub DAS Sekampung …………... 34Gambar 4.3.2 Wilayah Lereng Sub DAS Sekampung………………... 36Gambar 4.4 Penggunaan Tanah di DAS Sekampung ……………….. 39
Gambar 4.4.2 Kebun campuran kakao dan tanaman kelapa …………… 41Gambar 4.4.4 Tanaman Perkebunan Karet PTPN IX di Tanjung Bintang
Lampung Selatan…………………………………………
42Gambar 5.1.1.a1 Bendungan Batutegi Tampak Depan …………………..… 43Gambar 5.1.1.a2 Bendungan Batutegi ……………………………………. 44Gambar 5.1.1.a3 Bendungan Batutegi Tampak Atas ………………………. 44Gambar 5.1.1.a4 Way Jelai Kabupaten Tanggamus ……………………… 45Gambar 5.1.1.b1 Sungai Indah Umbul Kunci, Teluk Betung Barat, Bandar
Lampung ……………………………………………….
45Gambar 5.1.1.b2 Sungai Indah Umbul Kunci II, Teluk Betung Barat,
Bandar Lampung …………………………………………
46Gambar 5.1.1.c1 Salah satu sungai di Lampung Timur ……………………. 46Gambar 5.1.1.c2 Waduk Way Jepara ………………………………………. 47Gambar 5.1.3b Curah Hujan Tahunan Sub DAS Sekampung ………………… 52Gambar 5.1.4 Aliran Permukaan ………………………………...……….. 56Gambar 5.1.5 Koefisien Aliran Permukaan ……………………...………… 58Gambar 5.2.1.2a Grafik Luas Hutan dengan Koefisien Aliran Permukaan …… 60Gambar 5.2.1.2b Grafik Luas Perkebunan dengan Koefisien Aliran Permukaa 62Gambar 5.2.1.2c Grafik Luas Kebun Campuran dengan Koefisien Aliran
Permukaan …………………………………………………
63Gambar 5.2.1.2d Grafik Luas Tegalan dengan Koefisien Aliran Permukaan … 65Gambar 5.2.1.4 Grafik Luas Lereng dengan Koefisien Aliran Permukaan … 67Gambar 5.2.1.5 Grafik Luas Daerah Terbangun dengan Koefisien Aliran
Permukaan …………………………………………………
68Lampiran 2 Lokasi Stasiun Pengamat Hujan dan Debit ………………… 79
8/18/2019 Koef Aliran
14/104
xiv Universitas Indonesia
DAFTAR PERSAMAAN
Persamaan 2.1 Circularity Ratio (Bentuk DAS) ………………………… 19
Persamaan 2.4 Kerapatan Jaringan Sungai ………..…………………… 19Persamaan 3.1 Aliran Permukaan ……………………..…………………. 27Persamaan 3.2 Koefisien Aliran Permukaan ………….………………… 27
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Nilai Koefisien Aliran Permukaan Sub DAS Sekampung ….. 75Lampiran 2 Daftar Stasiun Hujan dan Pos Duga Air ………………...… 79Lampiran 3 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Bulok 1, PDA.147
Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) …………...…………………..…
80Lampiran 4 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Bulok 2, PDA.148
Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) ………...………………….……
81Lampiran 5 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Kandis, PDA.150
Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) …………………………….……
82Lampiran 6 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Ketibung, PDA.149
Tahun 1995-2010 (m3/dtk) ………………………….…..… 83
Lampiran 7 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Sekampung Hilir 1,PDA.146 dan PDA.124 Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) ………. 84
Lampiran 8 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Sekampung Hilir 2,PDA.151 Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) ……………………….
85
Lampiran 9 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Sekampung Hilir 3,PDA.153 Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) ………………..…….. 86
Lampiran 10 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Sekampung Hulu 1,PDA.145 Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) ……………………… 87
Lampiran 11 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Sekampung Hulu 2,PDA.144 Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) ……………………….
88
Lampiran 12 Rata-rata Debit Harian Sub DAS Semah, PDA.126Tahun 1995-2010 (m 3/dtk) ………………………………….
89
8/18/2019 Koef Aliran
15/104
1 Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau
catchment area ) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya yang
terdiri atas sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumber daya manusia
sebagai pemanfaat sumber daya alam (Asdak, 2002). Sosrodarsono dan Takeda
(1980) mendefinisikan DAS sebagai daerah tempat presipitasi yang
mengkonsentrasi ke sungai.
Merujuk definisi/pengertian DAS di atas, maka DAS dapat dipandang
sebagai sistem hidrologi, sistem ekologi, sistem sumberdaya, sistem sosial
ekonomi, dan sistem tata ruang pembangunan. Jadi DAS dapat juga dikatakan
sebagai suatu ekosistem, dimana di dalam DAS tersebut diidentifikasi
komponen-komponen penyusun DAS, serta ditelaah bagaimana interaksi
antar komponen tersebut. Selain itu, DAS juga merupakan suatu bioregion yang
memiliki wilayah hulu, tengah, dan hilir serta terdapat keterkaitan antar wilayah
tersebut.
Dalam suatu ekosistem tidak ada komponen yang berdiri sendiri. Antara
komponen yang satu selalu bergantung kepada komponen yang lain. Adanya
aktivitas dan atau perubahan pada salah satu komponen, akan berpengaruh
kepada komponen yang lain. Demikian juga dalam ekosistem DAS, manusia
sebagai salah satu komponen dalam DAS berperan sangat menentukan, karena
aktivitasnya dapat merubah kondisi tanah dan vegetasi.
8/18/2019 Koef Aliran
16/104
2
Universitas Indonesia
Perubahan kondisi tanah dan vegetasi, misalnya karena aktivitas
pembukaan lahan hutan untuk pertanian, akan mengakibatkan perubahan
komponen tata air, terutama hasil air ( water yield ) yang dihasilkan, sebagai
respon kondisi tanah dan vegetasi DAS tersebut terhadap air hujan yang jatuh.
Dalam kaitannya dengan variabel DAS ini, khususnya yang terkait
dengan proses hidrologi dalam DAS, Seyhan (1995) mengelompokkan
variabel-variabel DAS ini menjadi empat kategori yaitu:
a. Variabel iklim
b. Variabel fisik permukaan lahan
c. Variabel output
d. Variabel proses.
Variabel iklim meliputi curah hujan dan variabel meteorologis lainnya.
Variabel fisik permukaan lahan meliputi variabel morfometri DAS, variabel
vegetasi dan penggunaan lahan serta variabel tanah.
Aktivitas perubahan tata guna lahan dan/atau pembuatan bangunan
konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak hanya akan memberikan
dampak di daerah dimana kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi jugaakan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit
dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya.
Sebagai contoh, erosi yang terjadi di daerah hulu akibat praktek bercocok tanam
yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air atau akibat
pembuatan jalan yang tidak direncanakan dengan baik, tidak hanya memberikan
dampak di daerah dimana erosi tersebut berlangsung (a.l. penurunan produktivitas
lahan), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk dan/atau pendangkalan sungai dan saluran-
saluran irigasi yang pada gilirannya akan meningkatkan risiko banjir, menurunkan
luas lahan irigasi atau bahkan mengganggu jalannya operasi listrik tenaga air
(Asdak, 2002).
8/18/2019 Koef Aliran
17/104
3
Universitas Indonesia
Lokasi DAS yang dibahas dalam penelitian ini adalah DAS Sekampung,
yang secara administratif terletak di Kabupaten Tanggamus, Lampung
Selatan, Pesawaran, Pringsewu, Lampung Timur, kota Bandar Lampung dan
kota Metro. Adapun dasar penentuan DAS Sekampung sebagai wilayah studi,
adalah:
1. DAS Sekampung merupakan DAS yang terbesar kedua setelah DAS
Seputih di Provinsi Lampung, DAS ini melintasi tujuh kabupaten/kota,
yaitu Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan, Pesawaran, Pringsewu,
Lampung Timur, kota Bandar Lampung dan kota Metro.
2. DAS Sekampung banyak terdapat bangunan-bangunan vital, yaitu
bendungan Batutegi yang berfungsi sebagai sumber air irigasi serta
pembangkit listrik, bendungan Argoguruh dan sarana irigasi teknis.
3. Bagian Hulu DAS Sekampung didominasi oleh lahan kritis, sehingga saat
ini DAS Sekampung masuk dalam kategori DAS Prioritas I (Balai
Pengelolaan DAS (BPDAS) Way Seputih - Way Sekampung, 2006).
1.2 Masalah
Bagaimana pengaruh koefisien aliran permukaan dengan jenis penggunaan
tanah, bentuk DAS dan curah hujan di DAS Sekampung antara tahun 1995-
2010?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh jenis penggunaan tanah, bentuk DAS dan curah
hujan terhadap koefisien aliran permukaan.
1.4 Batasan Penelitian
a) Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentuk alami maupun buatan manusia.
b) Hujan adalah air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan
dari uap di atmosfer.
8/18/2019 Koef Aliran
18/104
4
Universitas Indonesia
c) Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh pada suatu wilayah yang
tercatat dalam stasiun pengamat hujan selama periode tertentu yang
diukur dengan satuan milimeter (mm).
d) Lereng adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan tanah dengan bidang
datar. Nilainya merupakan perbedaan jarak vertikal untuk setiap jarak
horizontal dalam satuan yang sama.
e) Pola aliran sungai adalah pola yang terbentuk oleh suatu jaringan aliran
sungai satu arah dimana cabang dan anak sungai mengalir ke dalam
sungai induk yang lebih besar . Pola aliran sungai dipengaruhi oleh
struktur batuan dasarnya.
f) Pola aliran sungai dendritik adalah pola sungai yang sungai-sungainya
membentuk susunan seperti tulang-tulang daun.
g) Hulu sungai adalah bagian alur sungai yang terdekat dengan titik
tertinggi dari alur sungai. Dengan ciri lereng curam (>15%), debit relatif
kecil, sungai relatif sempit dan ukuran material relatif besar.
h) Hilir sungai adalah bagian alur sungai yang tedekat dengan muara sungai.
Dengan ciri lereng landai (
8/18/2019 Koef Aliran
19/104
5
Universitas Indonesia
m) Debit minimum (Qmin) adalah besarnya volume air minimum yang
mengalir melalui suatu penampang melintang suatu sungai per satuan
waktu, dalam satuan m³/detik.
n) Koefisien aliran permukaan merupakan bilangan yang menunjukan
perbandingan antara besarnya nilai aliran permukaan dalam satuan
millimeter (mm) terhadap besarnya nilai curah hujan dalam satuan
mm.
o) DAS Sekampung dalam penelitian ini dibagi menjadi enam (6) Sub
DAS, yaitu Sub DAS Sekampung Hulu, Sub DAS Sekampung Hilir,
Sub DAS Bulok, Sub DAS Semah, Sub DAS Kandis dan Sub DAS
Ketibung.
p) Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan
mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS
terbagi habis kedalam Sub DAS - Sub DAS.
q) Wilayah Sungai (WS) atau wilayah DAS adalah kesatuan wilayah
pengelolaan sumberdaya air sebagai hasil penggabungan dari beberapa
Daerah Aliran Sungai.
8/18/2019 Koef Aliran
20/104
6 Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)
2.1.1 Pengertian DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau
catchment area ) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya yangterdiri atas sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumber daya manusia
sebagai pemanfaat sumber daya alam (Asdak, 2002). Sosrodarsono dan Takeda
(1980) mendefinisikan DAS sebagai daerah tempat presipitasi yang
mengkonsentrasi ke sungai. Sandy (1985b) mendefinisikan DAS sebagai bagian
dari muka bumi, yang airnya mengalir ke dalam sungai yang bersangkutan,
apabila hujan jatuh; sebuah pulau selamanya terbagi habis ke dalam Daerah-
Daerah Aliran Sungai.
Aliran DAS adalah satu kesatuan yang di mulai dari hulu, tengah sampai ke
hilir. Hulu sungai/DAS adalah bagian alur sungai yang terdekat dengan titik
tertinggi dari alur sungai (Sandy, 1985b). Secara biogeofisik, bagian hulu
dicirikan dengan merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase
lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari
15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh
pola drainase dan jenis vegetasi umumnya berupa tegakan hutan (Asdak, 2002)serta memiliki nilai debit relatif kecil, alur sungai relatif sempit dan ukuran
material/sedimen relatif besar.
Bagian tengah DAS/sungai memiliki karakteristik diantara hulu dan hilir,
dengan kata lain bagian tengah merupakan daerah transisi dari hulu dan hilir
(Asdak, 2002). Dengan nilai kelerengan umumnya antara 8-15%.
8/18/2019 Koef Aliran
21/104
7
Universitas Indonesia
Hilir sungai/DAS menurut Sandy (1985b) adalah bagian alur sungai yang
tedekat dengan muara sungai. Sedangkan menurut Asdak (2002), bagian hilir
memiliki ciri merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%), pada
beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air
ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian
kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut; serta memiliki nilai
debit relatif besar, sungai relatif lebar dan ukuran material halus.
2.1.2 Siklus Hidrologi
Daerah aliran sungai sebagai ekosistem alami terjadi proses-proses biofisik
hidrologis di dalamnya, dimana proses-proses tersebut merupakan bagian dari
suatu siklus hidrologi (lihat Gambar 2.1.2a).
Gambar 2.1.2a Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah suatu rangkaian proses sirkulasi air bumi yang
terjadi secara terus-menerus, dimulai dari penguapan, uap air menjadi awan, awan
terkondensasi menjadi presipitasi, presipitasi ini bisa dalam bentuk salju, hujan es,
hujan dan embun. Air hujan yang jatuh terkadang tertahan oleh tajuk vegetasi,
8/18/2019 Koef Aliran
22/104
8
Universitas Indonesia
biasa disebut sebagai intersepsi, air hujan yang jatuh ke permukaan bumi menjadi
aliran permukaan dan air tanah lalu mengalir ke laut dan menguap kembali.
Pemanasan sinar matahari akan menyebabkan penguapan air yang berada di
lautan ataupun di daratan. Air yang menguap dari daratan dan lautan akan berubah
menjadi awan dan kemudian mengembun dan jatuh sebagai hujan ataupun salju ke
permukaan tanah dan lautan. Sebagian air sebelum jatuh ke permukaan tanah atau
lautan segera menguap kembali, sebagian air jatuh akan tertahan oleh tumbuhan,
sebagian menguap dan sebagian mengalir terus hingga tiba di permukaan tanah.
Air hujan yang jatuh ke daratan, sebagian mengalir sebagai air permukaan
(sungai, danau dan genangan air), sebagian meresap ke dalam tanah sebagai air
tanah yang mengisi rongga dan pori lapisan tanah/batuan mengalir menuju ke
laut/danau atau muncul di permukaan sebagai mata-air, dan sebagian lagi
menguap langsung ataupun melalui tumbuhan (intersepsi dan transpirasi). Pada
kondisi tertentu air tanah dapat tertahan dan tersimpan membentuk waduk air
tanah.
Sirkulasi air terjadi secara terus-menerus mulai dari penguapan, presipitasi
dan jatuh sebagai hujan, mengalir di daratan melalui sungai, air tanah, terus kelaut, dan begitu seterusnya. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam
komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran
Sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah
adalah wujud dan tempatnya.
2.1.3 Hidrologi DAS
DAS yang mencakup hulu sampai hilir merupakan unit wilayah pengamatan
siklus hidrologi di darat yang berbatas tegas dan terukur dengan rangkaian pokok
kejadian, meliputi:
a. Presipitasi (Hujan)
Sandy, (1985b) menyatakan banyak sedikitnya jumlah hujan yang jatuh di
suatu daerah di Indonesia sangat bergantung pada hal-hal di bawah ini:
8/18/2019 Koef Aliran
23/104
9
Universitas Indonesia
(a) Letak Daerah Konfergensi Antar Tropik (DKAT)
DKAT ini merupakan suatu “ zone ”, atau daerah yang lebar, di mana suhu
udara sekitarnya adalah yang tertinggi. Karena itu pula DKAT ini disebut
juga ekuator termal. Suhu tinggi ini menyebabkan tekanan udara di atas zone
itu rendah.
Untuk keseimbangan, udara dari daerah yang bertekanan tinggi, bergerak ke
daerah dengan tekanan udara rendah ini. Karena daerah bertekanan udara
rendah itu adalah juga daerah dengan suhu udara tertinggi, gerakan udara dari
daerah dengan tekanan udara tinggi ke daerah dengan tekanan udara rendah
itu disertai pula dengan gerakan udara naik, sebagai akibat daripada
pemanasan.
Gerakan naik daripada udara itu, membawa akibat menurunnya kembali suhu
udara tersebut. Udara atau angin yang dalam perjalanannya menuju DKAT
melalui perairan yang banyak, banyak pula mengandung uap air, lebih-lebih
pada saat suhunya tinggi. Dengan menurunnya suhu udara tersebut, yang
diakibatkan oleh gerakan naiknya di DKAT, sebagian dari uap air yang
dikandung akan jatuh sebagai hujan, jenis hujan ini dinamakan sebagai hujan
konveksi.(b) Bentuk medan
Medan berbukit atau bergunung akan memaksa udara atau angin bergerak
naik untuk bisa melintasi punggung pegunungan. Bentuk medan juga
mengakibatkan suhu udara turun dan bersama dengan turunnya suhu itu pula
kemampuannya untuk mengandung uap air turun. Tiap naik 100 m, suhu akan
turun 0,5 0C. Sebagian dari uap air akan jatuh sebagai hujan, jenis hujan ini
disebut dengan hujan orografi.(c) Arah lereng medan ( exposure )
Lereng medan yang menghadap arah angin akan mendapat hujan lebih
banyak daripada lereng medan yang membelakangi arah angin (bayangan
hujan) seperti kota Palu dan Bandung. Kedua kota ini terletak di balik “bukit”
dari arah datangnya angin pembawa hujan.
8/18/2019 Koef Aliran
24/104
10
Universitas Indonesia
(d) Arah angin sejajar dengan arah garis pantai
Kadang-kadang ada terdapat, arah angin itu sejajar dengan arah garis pantai.
Akibatnya, suhu udara tidak berubah, dan karena itu pula hujan tidak jatuh.
(e) Jarak perjalanan angin di atas medan datar
Angin yang membawa hujan, adalah angin yang berhembus dari atas perairan
ke arah daratan.
Kalau medan datar yang dilalui angin itu lebar, serta sifat permukaannya
tidak berubah, hujan mungkin turun ada pada bagian medan dekat pantai, dan
selanjutnya tidak lagi ada hujan.
Hujan adalah air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan dari
uap di atmosfer (Seyhan, 1995).
Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses
hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan ( rainfall depth ) ini yang dialih-
ragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan ( surface
runoff ), aliran antara ( interflow, sub surface flow ) maupun sebagian aliran air
tanah ( groundwater flow ).
Agar terjadi proses pembentukan hujan, maka ada dua syarat yang harus
dipenuhi:
1) Tersedia udara lembab,
2) Tersedia sarana, keadaan yang dapat mengangkat udara tersebut ke atas
sehingga terjadi kondensasi.
Udara lembab biasanya terjadi karena adanya gerakan udara mendatar,
terutama sekali yang berasal dari atas lautan, yang dapat mencapai ribuankilometer. Terangkatnya udara ke atas dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu:
1) Konvektif, bila terjadinya ketidakseimbangan udara karena panas setempat
dan udara bergerak ke atas dan berlaku proses adiabatik. Hujan yang
terjadi disebut hujan konvektif, dan biasanya merupakan hujan dengan
intensitas tinggi, dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat dan di daerah
yang relatif sempit. Di Indonesia hujan jenis ini terjadi umumnya pada
sore hari.
8/18/2019 Koef Aliran
25/104
11
Universitas Indonesia
2) Hujan siklon, bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara panas
yang bergerak di atas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin.
Hujan jenis ini biasanya terjadi dengan intensitas sedang, mencakup
daerah yang luas dan berlangsung lama.
3) Hujan orografik, terjadi karena udara bergerak ke atas akibat adanya
pegunungan. Akibatnya, terjadi dua daerah yang disebut daerah hujan dan
daerah bayangan hujan. Sifat hujan ini dipengaruhi oleh sifat dan ukuran
pegunungan.
b. Intersepsi, Evapotranspirasi dan Infiltrasi
Setelah air hujan jatuh, rangkaian kejadian yang selanjutnya dapat
berlangsung adalah intersepsi, evapotranspirasi dan infiltrasi.
(i) Intersepsi
Intersepsi air hujan adalah proses ketika air hujan jatuh pada permukaan
vegetasi, tertahan beberapa saat, untuk kemudian diuapkan kembali ke
atmosfer atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan atau kemudian
mengalir melalui batang serasah atau permukaan tanah. Di samping itu
juga ada yang langsung jatuh ke bumi tanpa melalui media perantara(troughfall ).
Hilangnya sebagian air hujan oleh proses intersepsi pada prinsipnya
merupakan proses evaporasi, dan karena dalam proses ini hanya tersedia
sejumlah energi (matahari) dalam periode waktu tertentu, maka energi
tersebut akan dimanfaatkan untuk berlangsungnya penguapan air dari
dalam vegetasi (transpirasi) atau berlangsungnya penguapan air hujan dari
permukaan daun (intersepsi). Hasil penelitian para pakar hidrologi hutanmenunjukkan bahwa intersepsi memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap jumlah air hujan yang akan menjadi air tanah (infiltrasi) dan atau
aliran permukaan. Sementara hasil penelitian dari beberapa daerah hutan
hujan tropis Amazon, Afrika dan Asia menunjukkan besarnya air hujan
yang terintersepsi oleh vegetasi hutan bervariasi antara 10 - 35% dari total
hujan yang turun di daerah tersebut (Asdak, 2002).
8/18/2019 Koef Aliran
26/104
12
Universitas Indonesia
Proses intersepsi secara umum dipengaruhi oleh dua hal, yaitu vegetasi
dan iklim. Vegetasi dalam hal ini luas vegetasi hidup dan mati, bentuk dan
ketebalan daun serta cabang vegetasi. Iklim dalam hal ini jumlah, jarak
dan lama waktu antar kejadian hujan, intensitas hujan, kecepatan angin,
dan beda suhu permukaan tajuk dan suhu atmosfer.
(ii) Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang diuapkan ke atmosfer dari
permukaan tanah, badan air, vegetasi serta tutupan lahan lainnya oleh
adanya pengaruh faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi.
Evapotranspirasi merupakan gabungan antara proses-proses evaporasi
(proses penguapan dari perubahan wujud air menjadi uap air atau gas dari
semua bentuk permukaan bumi kecuali vegetasi), intersepsi (penguapan air
dari permukaan vegetasi ketika hujan berlangsung) dan transpirasi
(perjalanan air dalam jaringan vegetasi (proses fisiologis) dari akar
tanaman ke permukaan daun dan akhirnya menguap ke atmosfer). Untuk
lebih jelasnya mengenai proses evapotranspirasi, lihat Gambar 2.1.2b.
Gambar 2.1.2b Proses Evapotranspirasi
8/18/2019 Koef Aliran
27/104
13
Universitas Indonesia
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya evapotranspirasi antara lain
faktor meteorologi (radiasi matahari, suhu udara dan suhu permukaan,
kelembaban, angin dan tekanan atmosfer, faktor geografi, karakter dan
lengas tanah, tipe dan kerapatan vegetasi serta ketersediaan air). Penentuan
besarnya evapotranspirasi dapat dilakukan dengan pengukuran langsung
menggunakan panci evaporasi atau lysimeter , dapat juga diperkirakan
dengan menggunakan metoda Thornthwaite, Blaney-Criddle atau
Pennman.
(iii) Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses masuknya aliran air (umumnya berasal dari air
hujan) ke dalam tanah. Aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat
dari gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke
arah vertikal). Gaya gravitasi mempengaruhi laju infiltrasi, laju infiltrasi
ini dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah.
Isilah infiltrasi ini hampir mirip dengan perkolasi, perkolasi merupakan
proses kelanjutan aliran air tersebut ke tanah yang lebih dalam. Dengan
kata lain, setelah lapisan tanah bagian atas jenuh akibat infiltrasi, kelebihan
air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat dari gayagravitasi bumi (lihat Gambar 2.1.2c).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi laju infiltrasi selain gaya gravitasi
bumi adalah karakteristik hujan (jumlah dan intensitas), kondisi tanah
(jenis tekstur, struktur, permeabilitas, kepadatan dan kelembaban) dan
vegetasi penutup (perakaran dan serasah). Vegetasi selain sebagai sarana
intersepsi yang dapat mengatur air hujan agar tidak mencapai tanah secara
langsung (bergantung pula pada intensitas hujan yang terjadi) sehinggadapat memberikan waktu pada tanah untuk menampung infiltrasi yang
lebih bertahap dan berangkai dengan perkolasi sehingga permukaan tanah
tidak lekas jenuh (yang bergantung pada karakteristik tanahnya).
Pengukuran laju infiltrasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain:
8/18/2019 Koef Aliran
28/104
14
Universitas Indonesia
(a) Menentukan beda volume air hujan buatan dengan volume
limpasan permukaan pada percobaan laboratorium menggunakan
simulasi hujan buatan.
(b) Menggunakan Infiltrometer
(c) Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan.
Gambar 2.1.2c Proses Infiltrasi
c. Aliran Permukaan
Air hujan yang mengalami proses intersepsi atau yang langsung jatuh ke bumi
(throughfall ) tetapi tidak mengalami evapotranspirasi atau infiltrasi akan langsung
dialirkan menuju saluran drainase daerah tangkapan air (sungai) dan atau danau
serta laut, disebut limpasan permukaan atau aliran permukaan.
Besar kecilnya limpasan permukaan ditentukan antara lain oleh curah hujan
yang meliputi jumlah, durasi dan intensitasnya serta karakter daerah aliran sungai
yang meliputi bentuk, ukuran, topografi, geologi, tanah dan tata guna lahan (jenis
dan kerapatan vegetasi) DAS.
8/18/2019 Koef Aliran
29/104
15
Universitas Indonesia
Limpasan permukaan bersama dengan air bawah permukaan yang keluar ke
permukaan akan membentuk aliran permukaan yang terakumulasi membentuk
aliran sungai. Aliran bawah permukaan yang keluar ke permukaan yang mengalir
ke badan sungai disebut sebagai aliran dasar.
Air bawah permukaan pada dasarnya dapat berasal dari air hujan yang
terinfiltrasi. Air bawah permukaan dapat muncul ke permukaan karena pengaruh
faktor geologi, faktor manusia yang sengaja mengambil air bawah permukaan,
faktor vegetasi (namun sebagian besar ditranspirasikan), serta perpaduan dengan
perbedaan tekanan air bawah tanah permukaan yang dapat mengakibatkan
kemunculannya di permukaan.
Debit air sungai secara umum akan meningkat jika hujan turun pada daerah
tangkapannya, besar kecilnya peningkatan debit bergantung pada jumlah limpasan
permukaan yang dihasilkan. Sementara itu, pada musim kemarau besar kecilnya
debit air sungai akan bergantung pada aliran dasar.
2.1.4 Morfologi DAS
DAS dibagi menjadi wilayah hulu, tengah dan hilir. Hulu sungai/DAS
adalah bagian alur sungai yang terdekat dengan titik tertinggi dari alur sungai
(Sandy, 1985b). secara biogeofisik, bagian hulu dicirikan dengan merupakan
daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah
dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah
banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis vegetasi
umumnya berupa tegakan hutan (Asdak, 2002), serta memiliki nilai debit relatif
kecil, alur sungai relatif sempit dan ukuran material/sedimen relatif besar.
Bagian tengah DAS/sungai memiliki karakteristik di antara hulu dan hilir,
dengan kata lain bagian tengah merupakan daerah transisi dari hulu dan hilir
(Asdak, 2002). Dengan nilai kelerengan umumnya antara 8-15%.
8/18/2019 Koef Aliran
30/104
16
Universitas Indonesia
Hilir sungai/DAS menurut Sandy (1985b) adalah bagian alur sungai yang
tedekat dengan muara sungai. Sedangkan menurut Asdak (2002), bagian hilir
memiliki ciri merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%), pada
beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air
ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian
kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut; setrta memiliki nilai
debit relatif besar, sungai relatif lebar dan ukuran material halus.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wilayah hulu merupakan wilayah
yang berbukit atau bergunung, wilayah tengah merupakan wilayah dataran yang
bergelombang dan wilayah hilir merupakan wilayah dataran relatif landai.
Kelerengan yang besar pada wilayah hulu mengakibatkan air akan
berpotensi bergerak lebih cepat dibandingkan pada wilayah datar di hilir. Dengan
energi kinetik air yang lebih besar dari daerah hilir, daerah hulu merupakan daerah
yang potensial untuk dikikis karena kemiringannya dan material kikisan tersebut
akan diendapkan di daerah hilir yang datar.
Mempertimbangkan cepatnya pergerakan air pada daerah hulu, maka akan
meningkatkan potensi untuk kehilangan air, dalam arti tanah tidak akan menyerap
sebaik pada wilayah datar, disesuaikan dengan jenis dan karakteristik fisik
terutama jenis tanah dan batuan, jika tidak dibantu dengan penahan air dari
intersepsi dan infiltrasi melalui serasah. Dengan bantuan penahan air tersebut,
diharapkan masih ada kemungkinan untuk mendapatkan cadangan air yang
tersimpan dalam tanah dan mengalir sebagai aliran dasar.
2.1.5 Ekosistem DASDAS sebagai ekosistem adalah DAS yang terdiri dalam dua komponen,
yaitu komponen fisik wilayah dan komponen hayati serta kehadiran manusia
sebagai pengelola. Komponen fisik wilayah bersifat relatif konstan dan hayati
yang relatif dinamik serta rentan terhadap gangguan. Komponen ini memiliki
peran dalam perlakuan terhadap air pada siklus hidrologi yang terjadi. Dalam
8/18/2019 Koef Aliran
31/104
17
Universitas Indonesia
ekosistem akan terjadi suatu keterkaitan antar komponen yang menyusunnya
dimana terjadi hubungan saling mempengaruhi satu sama lain.
Karena DAS merupakan suatu ekosistem, maka terhadap setiap masukan
yang terjadi ke dalam ekosistem tersebut dapat dilakukan evaluasi dari proses
yang telah dan sedang terjadi dengan cara melihat output dari ekosistem tersebut.
Input berupa curah hujan sedangkan output berupa debit air sungai dan/atau
muatan sedimen. Komponen-koponen ekosistem DAS di kebanyakan daerah di
Indonesia terdiri atas manusia, vegetasi, tanah dan sungai. Hujan yang jatuh di
suatu DAS akan mengalami interaksi dengan komponen-komponen ekosistem
DAS tersebut, yang pada gilirannya akan menghasilkan output berupa debit,
muatan sedimen dan material lainnya yang terbawa oleh aliran sungai (Asdak,
2002) .
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena memiliki
fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini, antara lain
dari segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus
perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu
dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2002).
Seiring pertumbuhan jumlah manusia Indonesia yang semakin meningkat pesat, beserta berbagai kebutuhan untuk memenuhi hajat hidupnya terutama ruang
untuk tempat tinggal dan tempat mencari nafkah, maka tak dapat dipungkiri jika
pada akhirnya campur tangan manusia dengan kemajuan ilmu pengetehuan dan
teknologi (iptek) yang dikuasainya menjadi faktor yang cukup dominan dalam
manentukan berbagai proses terutama proses hidrologis dalam DAS.
8/18/2019 Koef Aliran
32/104
18
Universitas Indonesia
2.1.6 Morfometri DAS
Parameter morfometri DAS perlu diidentifikasi sebagai karakteristik
DAS terutama dalam kaitannya dengan proses pengaturan ( drainase ) air hujan
yang jatuh di dalam DAS tersebut. Proses-proses yang terjadi antara lain adalah
banyaknya air hujan yang dialirkan secara langsung atau tertahan di dalam
DAS, cepat atau lambatnya air hujan tersebut dialirkan atau tertahan di
dalam DAS, dan waktu tempuh air hujan yang jatuh dari tempat terjauh dalam
DAS menuju outlet (waktu konsentrasi). Semua parameter tersebut sangat
mempengaruhi terjadinya fluktuasi banjir, baik banjir yang berbentuk genangan
(inundasi ) maupun banjir bandang yang mungkin terjadi di DAS tersebut.
Morfometri DAS merupakan karakteristik DAS yang bersifat
kuantitatif. Parameter morfometri DAS merupakan karakteristik DAS yang
sangat penting, dalam kaitannya dengan respon air hujan yang jatuh di dalam
DAS tersebut menjadi runoff. Dalam kaitannya dengan analisis hubungan
hujan yang jatuh dengan runoff yang terjadi, informasi morfometri DAS
umumnya diperlukan untuk menggambarkan adanya hubungan atau
keterkaitan antara runoff yang terukur sebagai debit atau tersaji dalam bentukhidrograf dengan parameter morfometri tersebut. Sebagai contoh parameter bentuk
DAS berhubungan erat dengan bentuk hidrograf suatu DAS.
Kerapatan jaringan sungai, gradien sungai dan lain-lain akan
mempengaruhi banyaknya air hujan dialirkan secara langsung atau tertahan di
dalam DAS. Cepat atau lambatnya air hujan tersebut dialirkan atau tertahan di
dalam DAS, dan waktu tempuh yang digunakan oleh air hujan yang jatuh dari
tempat terjauh dalam DAS menuju outlet (waktu konsentrasi). Semua parameter tersebut sangat mempengaruhi terjadinya fluktuasi banjir. Berikut
adalah komponen morfometri DAS yang dikaji dalam penelitian ini:
8/18/2019 Koef Aliran
33/104
19
Universitas Indonesia
2.1.6.1 Bentuk DAS
Koefisien corak/bentuk DAS merupakan perbandingan antara luas
DAS dengan panjang sungainya. Bentuk DAS ini mempunyai pengaruh
terhadap pola aliran sungai dan ketajaman puncak debit banjir, yaitu
berpengaruh terhadap kecepatan terpusatnya aliran. Setelah Daerah Aliran
Sungai ditentukan batasnya, maka bentuk DAS dapat diketahui. Bentuk DAS
ini sukar untuk dinyatakan secara kuantitatif. Dengan membandingkan
konfigurasi DAS, dapat dibuat suatu indeks yang didasarkan pada circularity
ratio DAS . Umumnya bentuk DAS dapat dibedakan menjadi bentuk :
memanjang, radial (membulat), paralel (elips) dan kompleks.
Berdasarkan Miller (1953 dalam Seyhan, 1977), penentuan bentuk DAS
dapat menggunakan rumus circularity ratio sebagai berikut:
..…….(2.1)
Keterangan :
A : Luas DAS ( km 2 )
P : Keliling (perimeter) DAS (km)
2.1.6.2 Kerapatan Jaringan Sungai
Kerapatan jaringan sungai adalah suatu angka indeks yang
menunjukkan banyaknya anak sungai di dalam suatu DAS. Indeks tersebut
dapat diperoleh dengan persamaan 2.2 :
…….. (2.2)
Keterangan:
Dd : indeks kerapatan jaringan sungai (km/km 2)
L : jumlah panjang sungai termasuk panjang anak-anak sungai (km)
A : luas DAS (km 2)
8/18/2019 Koef Aliran
34/104
20
Universitas Indonesia
Adapun klasifikasi indeks kerapatan jaringan sungai tersebut adalah :
- Dd: < 0,25 km/km 2 : Rendah
- Dd: 0,25 - 10 km/km 2 : Sedang
- Dd: 10 - 25 km/km 2 : Tinggi
- Dd: > 25 km/km 2 : Sangat tinggi
Berdasarkan indeks tersebut di atas, dapat diperkirakan suatu gejala
yang berhubungan dengan aliran sungai, yaitu :
- Jika nilai Dd rendah, maka alur sungai melewati batuan dengan
resistensi keras sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran
sungai lebih kecil jika dibandingkan pada alur sungai yangmelewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak, apabila kondisi
lain yang mempengaruhinya sama .
- Jika nilai Dd sangat tinggi, maka alur sungainya melewati batuan
yang kedap air.
Keadaan ini akan menunjukan bahwa air hujan yang menjadi aliran
akan lebih besar jika dibandingkan suatu daerah dengan Dd rendah
melewati batuan yang permeabilitasnya besar.
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1977), biasanya indeks kerapatan
jaringan sungai adalah 0,3 - 0,5, dan dianggap sebagai indeks yang
menunjukan keadaan topografi dan geologi dalam DAS. Indeks kerapatan
jaringan sungai akan kecil pada kondisi geologi yang permeabel, di
pegunungan-pegunungan dan di lereng-lereng curam, tetapi besar untuk
daerah yang banyak curah hujannya.
Menurut Lynsley (1949), jika nilai kerapatan jaringan sungai lebih kecil
dari 1 mile/mile 2 (0,62 km/km 2), maka DAS akan mengalami penggenangan,
sedangkan jika nilai kerapatan jaringan sungai lebih besar dari 5 mile/mile 2
(3,10 km/km 2), maka DAS akan sering mengalami kekeringan.
8/18/2019 Koef Aliran
35/104
21
Universitas Indonesia
2.1.6.3 Pola Aliran Sungai
Sungai dalam suatu DAS mengikuti aturan yaitu bahwa aliran
sungai dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak
sungai mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk pola
tertentu. Pola tersebut tergantung dari kondisi topografi, geologi, iklim, dan
vegetasi yang terdapat di dalam DAS yang bersangkutan. Secara
keseluruhan kondisi tersebut menentukan karakteristik sungai dalam hal
pola alirannya. Menurut Soewarno (1991), terdapat beberapa pola aliran yang
ada, yaitu:
a. Dendritik, pada umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis
dan penyebarannya luas, misalnya suatu daerah ditutupi oleh endapan
sedimen yang luas dan terletak pada suatu bidang horizontal di daerah
dataran rendah. Penampakan dari pola aliran ini seperti percabangan pohon
dengan cabang yang tidak teratur dengan arah dan sudut beragam.
b. Radial, pola ini biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah
dengan topografi berbentuk kubah.
c. Rektangular, terdapat di daerah batuan kapur.
d. Trelis, biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di
daerah pegunungan lipatan. Penampakan dari pola aliran ini yaitu
percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus dan sungai
utama hampir sejajar.
Pada pola aliran dendritik yang mencirikan sebagian besar sungai-sungai
di Indonesia, dapat dijumpai dalam kondisi yang berbeda-beda menurut
batuannya.
Kombinasi pola aliran dendritik dan trelis dapat dijumpai pada
rangkaian pegunungan yang sejajar dan terdapat pada batuan struktural
terlipat dengan tekstur halus sampai sedang. Pada topografi dengan lereng
seragam, pola aliran yang terbentuk adalah denditrik medium, sedangkan
pada topografi berteras kecil, pola aliran denditrik yang terbentuk adalah
dendritik halus.
8/18/2019 Koef Aliran
36/104
22
Universitas Indonesia
Bentuk pola dendritik yang lain adalah kombinasi dendritik rektangular
yang terdapat pada batuan metamorf dengan puncak membulat. Pola ini
memiliki saluran yang hampir sejajar, dalam dan bertekstur halus hingga
sedang. Bentuk ini terjadi pada daerah basah. Pada batuan metamorf dengan
bentuk topografi berpuncak sejajar, dapat membentuk pola dendritik
rektangular halus dan terjadi pada daerah kering. Pada batuan beku, bentuk
pola aliran yang terbentuk sedikit berbeda, yaitu pada topografi yang
menyerupai bukit membulat di daerah basah, pola aliran yang terbentuk
adalah dendritik medium.
2.2 Penggunaan Tanah
Sandy (1985a) menyatakan bahwa penggunaan tanah merupakan indikator
dari aktivitas masyarakat di suatu tempat. Ini berarti tindakan manusia terhadap
tanahnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan nampak dari penggunaan
tanah yang ada di sekitarnya.
Penggunaan tanah pada hakikatnya merupakan perpaduan dari faktor
sejarah, fisik, sosial budaya, ekonomi terutama letak (Sandy, 1985b).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi penggunaan tanah secara umum, yaitu:
1. Faktor lingkungan fisik, sebagai faktor pembatas manusia dalam
menggunakan tanah. Sandy (1985a) menyatakan dua unsur kunci yang
mempengaruhi penggunaan tanah adalah lereng dan ketinggian. Namun
demikian yang menentukan penggunaan tanah untuk suatu bidang usaha
bukan sifat fisik tanahnya, melainkan manusianya.
2. Faktor lokasi dan aksesibilitas, merupakan faktor pembatas penggunaan
tanah yag mempengaruhi penduduk untuk menetap dan melakukan
kegiatan ekonomi. Semakin jauh suatu tempat dari pusat usaha maka
semakin berkurang penggunaan tanah non pertaniannya.
8/18/2019 Koef Aliran
37/104
23
Universitas Indonesia
3. Faktor manusia, merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi
penggunaan tanah suatu wilayah. Dalam hal ini aspek-aspek manusia yang
berpengaruh adalah jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pertambahan
penduduk dan penyebarannya. Pada umumnya semakin tinggi tingkat
faktor-faktor tersebut, maka akan semakin tinggi pula ragam intensitas
penggunaan tanahnya.
Interaksi dari vegetasi, tanah, air serta intervensi manusia melalui
penggunaan teknologi akhirnya membentuk berbagai karakteristik penggunaan
tanah baik berupa hutan maupun non hutan, seperti pertanian, perkebunan,
permukiman, perikanan, pertambangan dan sebagainya. Set iap penggunaan lahantersebut memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan tanggapan
terhadap air hujan yang jatuh di atasnya sehingga menghasilkan keragaman output
dari komponen hidrologi, seperti meningkatnya debit banjir, tingginya perbedaan
antara debit maksimum dan minimum, menurunnya indeks produktivitas air
tanah, dan menurunnya frekuensi presipitasi.
2.3 Tingkat Kekritisan Suatu DAS
Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan
vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan
DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir,
erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada
musim kemarau.
2.4 Koefisien Aliran Permukaan ( runoff coefficient )
Koefisien aliran permukaan (C) merupakan bilangan yang
menunjukkan nisbah (perbandingan) antara besarnya aliran permukaan
terhadap besarnya curah hujan penyebabnya (Asdak, 2002). Misalnya C untuk
hutan adalah 0,1 yang artinya 10% dari total curah hujan akan menjadi aliran
permukaan.
8/18/2019 Koef Aliran
38/104
24
Universitas Indonesia
Angka koefisien aliran permukaan merupakan salah satu indikator untuk
menentukan apakah suatu DAS sudah mengalami gangguan (fisik). Nilai C yang
besar menunjukkan lebih banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan. Hal ini
kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air, karena besarnya air
yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan
semakin besarnya jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan, maka
ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar. Angka C berkisar antara
0 - 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi air
intersepsi dan terutama infiltrasi. Sedang nilai C = 1, menunjukkan bahwa
semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Di lapangan, angka
koefisien aliran permukaan biasanya lebih besar dari 0 dan lebih kecil dari 1.
Koefisien aliran permukaan berkaitan erat dengan debit air sungai.
Bertambahnya jumlah lahan terbangun berarti sebagian besar air hujan akan
mengalir ke saluran drainase dan berakhir di sungai. Hal ini akan menyebabkan
bertambahnya debit maksimum sungai dan debit minimum sungai mengalami
penurunan karena semakin sedikit porsi air hujan yang tersimpan dalam tanah.
Hal ini berakibat menurunnya debit aliran dasar ( base flow ) sungai, perbedaan
antara debit maksimum dan debit minimum semakin besar, dan aliran sungai
sangat bergantung pada jumlah presipitasi (tidak stabil). Pada akhirnya, hal ini
akan mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Upaya untuk mempertahankan kondisi penggunaan tanah agar tetap
terjaga baik, harus ditingkatkan. Kondisi penggunaan tanah memiliki
sensitivitas yang tinggi terhadap meningkatnya nilai C, karena faktor fisik yang
lain (lereng, infiltasi dan kerapatan aliran) sudah memberikan kontribusi yang
sangat tinggi terhadap nilai C, sehingga konversi sedikit saja dari penggunaan
tanah hutan menjadi penggunaan tanah lain, akan meningkatkan nilai C secara
drastis, yang berarti semakin tinggi kemungkinan terjadinya banjir.
8/18/2019 Koef Aliran
39/104
25 Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Teori
Koefisien aliran permukaan merupakan bahasan utama penelitian ini
dengan menempatkan curah hujan dan aliran permukaan sebagai unit analisis dari
koefisien aliran permukaan tersebut. Koefisien aliran permukaan, curah hujan,
penggunaan tanah dan aliran permukaan memiliki kesamaan dalam faktor yang
mempengaruhinya yaitu lereng dan ketinggian. Lereng dan ketinggian berperan
secara langsung terhadap laju aliran permukaan dan penggunaan tanah.
Koefisien aliran permukaan dipengaruhi oleh iklim, tanah, vegetasi, manusia
dan topografi. Iklim mempengaruhi terjadinya jumlah dan intensitas hujan, tanah
mempengaruhi tekstur dan struktur tanah, vegetasi mempengaruhi vegetasi
penutup tanah dan penggunaan tanah serta pengelolaan tanaman, manusia
berpengaruh terhadap pengelolaan dan pemanfaatan tanah/penggunaan tanah, dan
topografi mempengaruhi perbandingan panjang dan kemiringan lereng serta
ketinggian.
Koefisien aliran permukaan didapatkan melalui perbandingan laju aliran
permukaan dalam satuan milimeter (mm) dengan jumlah curah hujan dalam mm.
Ketinggian, lereng dan penggunaan tanah berperan untuk mempengaruhi besar
kecilnya laju aliran permukaan yang terjadi pada saat hujan turun. Penjabaran
mengenai alur pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
3.2 Variabel-Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
1) Curah hujan
2) Aliran Permukaan
3) Penggunaan tanah hutan, tegalan, perkebunan dan kebun campuran.
4) Lereng > 25%
5) Bentuk DAS
8/18/2019 Koef Aliran
40/104
26
Universitas Indonesia
Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian
3.3 Pengumpulan Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, data-data sekunder yang dibutuhkan adalah:
a. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000 yang didapat dari
Bakosurtanal. b. Peta Batas DAS dan Sub DAS yang didapat dari Departemen Kehutanan
Lampung.
c. Data curah hujan bulanan tahun 1995 - 2010 yang didapat dari Balai
Besar Wilayah Sungai (BBWS) Mesuji Sekampung.
d. Data debit sungai bulanan tahun 1995 - 2010 yang didapat dari BBWS
Mesuji Sekampung.
3.4 Pengolahan Data
a. Melakukan proses digitasi pada peta administrasi dan pola aliran sungai
untuk menentukan batas administrasi wilayah penelitian.
b. Membuat peta wilayah ketinggian dan lereng dari hasil analisis kontur
yang bersumber dari data Digital Elevation Model (DEM).
Bentuk DAS
Penggunaan tanah:- Hutan- Perkebunan- Kebun Campuran- Tegalan
Lereng > 25%Aliran
Permukaan
DAS Sekampung
Curah Hujan
Koefisien Aliran PermukaanDi DAS Sekampung
8/18/2019 Koef Aliran
41/104
27
Universitas Indonesia
c. Manajemen data numerik, antara lain berupa:
- Tabulasi data curah hujan yang diolah menjadi data curah hujan
bulanan.
- Tabulasi data aliran permukaan (AP) bulanan yang diperoleh dari data
debit. Data aliran permukaan ini merupakan selisih dari debit rata-rata
total dengan debit rata-rata minimum (dalam satuan m 3/dtk). Untuk
mengubah nilai aliran permukaan dari m 3/dtk menjadi mm,
menggunakan rumus berikut:
( ) = (3.1)
- Mengolah data koefisien aliran permukaan dengan melakukan
perbandingan antara nilai aliran permukaan dengan curah hujan
menjadi data koefisien aliran permukaan bulanan.
( ) = ( ) ( )
(3.2)
3.5 Analisis Data
Analisis yang digunakan untuk menjawab masalah adalah analisis deskriptif
komparatif. Analisis deskriptif komparatif dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan teknik cross table untuk menghasilkan keterkaitan antara variabel
penelitian dengan koefisien aliran permukaan.
Variabel-variabel yang memiliki domain keruangan (curah hujan,
lereng, ketinggian, penggunaan tanah) disajikan dalam bentuk peta.
Dengan sajian informasi dalam bentuk peta akan sangat bermanfaat untuk bisa
melihat pola sebaran keruangan dari objek yang dipetakan. Di samping itu
informasi juga disajikan dalam bentuk tabel, terutama untuk data non spasial
dan atribut luasan peta.
8/18/2019 Koef Aliran
42/104
28 Universitas Indonesia
BAB IV
FAKTA WILAYAH
4.1 Pembagian DAS di Propinsi Lampung
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.11a/PRT/ M/2006 dijadikan dasar
untuk membedakan lima sungai besar di Lampung, yaitu Way Mesuji, Way
Tulang Bawang, Way Seputih, Way Sekampung dan Way Semangka menjadi
tiga Satuan Wilayah Sungai (SWS), yaitu WS Mesuji - Tulang Bawang; WS
Seputih - Sekampung; dan WS Semangka untuk mempermudah pengelolaan
wilayah sungai tersebut.
Wilayah Sungai Seputih - Sekampung dibagi kembali menjadi empat DAS,
yaitu DAS Seputih, Sekampung, Kambas - Jepara dan Bandar Lampung -
Kalianda. Pembagian Wilayah Sungai dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Satuan Wilayah Sungai Provinsi Lampung
8/18/2019 Koef Aliran
43/104
29
Universitas Indonesia
4.2 Lokasi Penelitian
Secara geografis DAS Sekampung terletak antara 104°31’00” -
105°49’00” BT dan 05°10’00” - 05°50’00”LS. Luas DAS Sekampung luas
lebih kurang 477.439 ha atau 4.774,39 km 2.
Secara administratif, DAS Sekampung melintasi 7 kabupaten/kota,
yaitu kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan, Lampung Timur,
Pesawaran, Pringsewu, kota Bandar Lampung dan kota Metro.
Dalam identifikasi karakteristik DAS Sekampung, DAS Sekampung
dibagi ke dalam enam Sub DAS. yaitu Sub DAS Sekampung Hulu, Sub DAS
Sekampung Hilir, Sub DAS Bulok, Sub DAS Semah, Sub DAS Kandis danSub DAS Ketibung. Secara rinci masing-masing wilayah dan proporsinya
disajikan pada Tabel 4.2.1.
Tabel 4.2.1 Pembagian Sub DAS beserta Luasannya
No Nama Sub DAS Luas (Ha) Luas (Km 2) Persentase (%)
1 Sub DAS Sekampung Hulu 80.630 806,30 16,892 Sub DAS Sekampung Hilir 184.749 1.847,49 38,73 Sub DAS Bulok 88.737 887,37 18,584 Sub DAS Semah 25.358 253,58 5,315 Sub DAS Kandis 43.783 437,83 9,176 Sub DAS Ketibung 54.182 541,82 11,35
Total 477.439 4.774,39 100
Sumber: Pengolahan data, 2012
Tabel di atas menunjukkan bahwa Sub DAS paling luas adalahSekampung Hilir, kemudian diikuti oleh Sub DAS Bulok dan Sub DAS
Sekampung Hulu, masing-masing mencakup 38,7%, 18,58% dan 16,89% dari
total luas DAS Sekampung. Adapun pembagian sub DAS dapat dilihat pada
Gambar 4.2.1.
8/18/2019 Koef Aliran
44/104
30
Universitas Indonesia
Gambar 4.2.1 Pembagian Sub DAS Sekampung
Ditinjau dari batas administrasi, DAS Sekampung melintasi beberapa
kabupaten dan kota. Wilayah kabupaten terluas yang berada dalam DAS
Sekampung adalah Kabupaten Lampung Selatan yaitu mencakup kurang lebih
30,46%. Dua kabupaten lain yang memiliki cakupan cukup besar di DAS
Sekampung adalah Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Tanggamus yaitu
berturut-turut memiliki proporsi 22,97% dan 21,91%, Secara rinci luas kabupaten
yang tercakup dalam DAS Sekampung disajikan pada Tabel 4.2.2.
8/18/2019 Koef Aliran
45/104
31
Universitas Indonesia
Tabel 4.2.2 Luas Kabupaten yang tercakup di DAS Sekampung
No Nama Sub DAS Luas (Ha) Persentase (%)
- Kota Bandar Lampung 11.538 2,422 Kota Metro 1.136 0,243 Kab. Lampung Selatan 145.418 30,464 Kab. Lampung Timur 109.685 22,975 Kab. Pesawaran 56.438 11,826 Kab. Pringsewu 48.588 10,187 Kab. Tanggamus 104.636 21,91
Total 477.439 100,00
Sumber: Pengolahan data, 2012
Agar lebih mudah menganalisis variabel koefisien aliran permukaan, enam
Sub DAS di atas dibagi kembali menjadi sepuluh Sub DAS berdasarkan posisi
stasiun pengamat hujan, pos duga air (debit) dan jaringan sungai. Pembagian Sub
DAS ini dijabarkan pada Gambar 4.2.3 dan Tabel 4.2.3.
Gambar 4.2.3 Pembagian Sub DAS Sekampung untuk Dianalisis
8/18/2019 Koef Aliran
46/104
32
Universitas Indonesia
Tabel 4.2.3 Pembagian Sub DAS Sekampung untuk Dianalisis
Sumber: Pengolahan data, 2012
4.3 Topografi
Dari hasil interpretasi Peta Rupa Bumi, umumnya topografi
wilayah DAS Sekampung beragam, mulai dari dataran rendah hingga
bukit terjal. Ketinggian di wilayah penelitian sangat beragam, mulai dari
100 m dpl hingga 3.300 m dpl, yang merupakan puncak dari Gunung
Tanggamus dengan lereng bervariasi mulai dari 0-8% hingga > 40%.
4.3.1 Wilayah Ketinggian
Wilayah ketinggian di wilayah penelitian dibagi menjadi lima
kelas klasifikasi, yaitu ketinggian < 200, 200-500, 500-1000, 1000-1500
dan > 1500 m dpl (lihat Tabel 4.3.1 dan Gambar 4.3.1).
No Sub DAS Luas (Ha) Luas (km 2)
1 Bulok 1 77.518 775,182 Bulok 2 3.715 37,15
Bulok (tidak dianalisis) 7.5043 Kandis 17.418 174,18
Kandis (tidak dianalisis) 26.3644 Ketibung 25.812 258,12
Ketibung (tidak dianalisis) 28.3705 Sekampung Hilir 1 41.700 417,006 Sekampung Hilir 2 55.937 559,37
7 Sekampung Hillir 3 74.909 749,09Sekampung Hilir (tidak dianalisis) 12.203
8 Sekampung Hulu 1 41.752 417,529 Sekampung Hulu 2 22.433 224,33
Sekampung Hulu (tidak dianalisis) 16.44410 Semah 25.358 253,58
Jumlah 477.439
8/18/2019 Koef Aliran
47/104
33
Universitas Indonesia
Wilayah ketinggian < 200 m dpl merupakan wilayah ketinggian
yang terluas yaitu sebesar 346.351 ha atau 71% dari total luas wilayah
DAS Sekampung, sedangkan wilayah ketinggian dengan luas terkecil
yaitu ketinggian > 1500 m dpl sebesar 781 ha atau 0,18% dari total luas
wilayah DAS.
Tabel 4.3.1 Luas Wilayah Ketinggian Masing-masing Sub DAS (Ha)
No Sub DAS < 200m dpl
200 -500 m
dpl
500 -1000 m
dpl
1000 -1500m dpl
>1500m dpl
Jumlah
1 Bulok 1 30.560 33.320 12.325 1.154 164 77.5232 Bulok 2 3.686 29 - - - 3.715
Bulok (tidak dianalisis) 3.877 1.369 1.869 404 7.5193 Kandis 15.902 1.517 - - - 17.419
Kandis (tidakdianalisis) 26370 - - - - 26.370
4 Ketibung 25.694 118 - - - 25.812Ketibung (tidakdianalisis) 27.792 578 - - - 28.370
5 Sekampung Hilir 1 41.700 - - - - 41.7006 Sekampung Hilir 2 55.828 115 - - - 55.9437 Sekampung Hillir 3 73.473 1.024 413 - - 74.910
Sekampung Hilir(tidak dianalisis) 12.203 - - - - 12.203
8 Sekampung Hulu 1 313 16.273 20.009 4.866 292 41.7539 Sekampung Hulu 2 466 12.217 8.486 979 286 22.434
Sekampung Hulu(tidak dianalisis) 9.325 4.120 1.953 955 39 16.392
10 Semah 19.144 4.482 1.588 144 - 25.358Jumlah 346.351 75.162 46.643 8.502 781 477.439
Persentase (%) 71 16 11,02 1,8 0,18 100Sumber: Pengolahan data, 2012
8/18/2019 Koef Aliran
48/104
34
Universitas Indonesia
Gambar 4.3.1 Wilayah Ketinggian Sub DAS Sekampung
4.3.2 Wilayah Lereng
Wilayah lereng pada wilayah penelitian dibagi menjadi lima kelasklasifikasi, yaitu 0-8%,8-15%, 15-25%, 25-40%, dan >40% (lihat Tabel
4.3.2 dan Gambar 4.3.2). Wilayah lereng 0-8% merupakan wilayah
terbesar yaitu 345.956 ha atau 83,4% dari luas DAS Sekampung,
sedangkan wilayah lereng > 40% memiliki luas terkecil sebesar 5.371 ha
atau 1,3% dari luas DAS Sekampung.
8/18/2019 Koef Aliran
49/104
35
Universitas Indonesia
Tabel 4.3.2 Luas Wilayah Lereng Masing-masing Sub DAS (Ha)
No Sub DAS < 8% 8-15%15-
25%25-
40%>
40% Jumlah
1 Bulok 1 52.547 15.252 4.571 4.233 916 77.5182 Bulok 2 3.715 - - - - 3.715
Bulok (tidakdianalisis) 5.104 1.102 413 331 554 7.504
3 Kandis 16.365 528 459 67 - 17.419Kandis (tidakdianalisis) 26.364 - - - - 26.364
4 Ketibung 24.624 1.078 110 - - 25.812Ketibung (tidakdianalisis) 27.058 910 402 - - 28.370
5 Sekampung Hilir 1 41.700 - - - - 41.7006 Sekampung Hilir 2 55.595 287 56 - - 55.9387 Sekampung Hillir 3 72.977 1.038 505 244 146 74.910
Sekampung Hilir(tidak dianalisis) 12.203 - - - - 12.203
8 Sekampung Hulu 1 14.907 11.682 6.464 5.471 3.228 41.7529 Sekampung Hulu 2 14.016 5.129 875 1.538 876 22.434
Sekampung Hulu(tidak dianalisis) 13.444 1.436 235 552 775 16.442
10 Semah 22.455 1.903 488 306 205 25.357Jumlah 403.074 40.345 14.578 12.742 6.700 477.439
Persentase (%) 84,4 8,5 3,1 2,7 1,4 100
Sumber: Pengolahan data, 2012
8/18/2019 Koef Aliran
50/104
36
Universitas Indonesia
Gambar 4.3.2 Wilayah Lereng Sub DAS Sekampung
4.4 Penggunaan Tanah
Penggunaan tanah di masing-masing Sub DAS di DAS Sekampung
sangat dipengaruhi oleh kondisi fisiografi dan bentuk lahan. Sub DAS di DAS
Sekampung sebagian besar memiliki fisiografi dataran dengan bentuk wilayah
berupa dataran dan daerah bergelombang. Aksesibilitas lokasi ini relatif lebih
mudah dijangkau. Kondisi ini mempengaruhi tingkat pemanfaatan lahan.
Wilayah Sub DAS di DAS Sekampung telah dimanfaatkan secara intensif untuk
berbagai jenis pemanfaatan lahan komersial seperti lahan pertanian tanaman
pangan, perkebunan dan lain-lain.
Pada wilayah hutan sekunder karena aksesibilitasnya mulai terbuka,
yang ditandai dengan fragmentasi hutan tersebut oleh jalan, maka terdapat
kecenderungan adanya konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan.
8/18/2019 Koef Aliran
51/104
37
Universitas Indonesia
Penggunaan tanah pada Sub DAS Sekampung dapat dilihat pada Tabel
4.4.1 dan Gambar 4.4. Di antara berbagai tipe penggunaan tanah sebagaimana
tertera pada Tabel 4.4.1, sebagian besar berupa vegetasi perkebunan, tegalan,
sawah, hutan, semak dan kebun campuran. Data pada Tabel 4.4.1 menunjukkan
bahwa tipe vegetasi yang paling luas adalah perkebunan dengan luas
mencapai 114.501 ha atau 23,98% dari luas keseluruhan DAS Sekampung.
Tabel 4.4.2 berisi luas penggunaan tanah vegetasi pada DAS Sekampung,
terlihat bahwa luas hutan terbesar terdapat pada Sub DAS Sekampung Hulu 1
sebesar 40,25%, diikuti Sekampung Hulu 2 sebesar 15,19%. Luas perkebunan
terbesar terdapat pada Sub DAS Sekampung Hulu 2 sebesar 82,8%, diikuti
Sekampung Hulu 1 dan Bulok 1 masing-masing sebesar 58,8% dan 42,6%. Luas
kebun campuran terbesar terdapat pada Sub DAS Sekampung Hilir 1 sebesar
57,6%, diikuti Ketibung dan Semah masing-masing sebesar 52,3% dan 38,8%.
Luas tegalan terbesar terdapat pada Sub DAS Sekampung Hilir 3 sebesar 54,3%,
diikuti Sekampung Hilir 2 dan Ketibung masing-masing sebesar 48,7% dan
28,1%.
Tabel 4.4.2 Persentase PT Vegetasi terhadap Total PT tiap Sub DAS
No Sub DASPersentase (%)
Hutan PerkebunanKebun
Campuran Sawah Semak Tegalan
1 Bulok 1 5,11 42,6 19,9 25,02 - -2 Bulok 2 - 8,7 - 70,4 - -3 Kandis 2,50 28,3 41,7 - - 2,7
4 Ketibung - 3,64 68,7 0,99 - 10,2
5 Sekampung Hilir 1 - 0,9 80,9 33,7 - 60,71
6 Sekampung Hilir 2 - 11,2 16,2 6,08 - 54,37 Sekampung Hillir 3 4,50 11,2 10,1 37 2,77 21,4
8 Sekampung Hulu 1 40,25 58,8 0,29 - - -9 Sekampung Hulu 2 15,19 82,8 - - - -
10 Semah 3,08 27,2 38,8 13,7 - 5,1
Keterangan : PT = Penggunaan Tanah
Sumber: Pengolahan data, 2012
8/18/2019 Koef Aliran
52/104
38
Universitas Indonesia
Tabel 4.4.1 Luas Penggunaan Tanah Sub DAS Sekampung (Ha)
No Sub DAS Hutan Permukiman Perkebunan
KebunCampuran Sawah Semak Tegalan Tambak Jumlah
1 Bulok 1 3.963 5.739 33.012 15.402 19.401 - - - 77.5172 Bulok 2 - 773 324 - 2.618 - - - 3.715
Bulok (tidak dianalisis) 968 581 2.677 160 3.118 - - - 7.504
3 Kandis 43 4.706 4.933 7.263 - - 954 - 17.899
Kandis (tidak dianalisis) - 3.278 870 1.476 3 - 20.739 - 26.366
4 Ketibung - 4.224 942 17.752 257 - 2.638 - 25.812
Ketibung (tidak dianalisis) 533 2.929 257 10.598 1.420 - 12.632 - 28.3705 Sekampung Hilir 1 - 5.570 310 12.308 5.983 - 17.529 - 41.700
6 Sekampung Hilir 2 - 6.836 6.255 9.064 3.401 - 30.380 - 55.9367 Sekampung Hillir 3 3.374 9.784 8.369 7.569 27.690 2.083 16.041 - 74.910
Sekampung Hilir (tidak dianalisis) - 3.164 - 970 6.543 - - 1047 11.724
8 Sekampung Hulu 1 16.803 239 24.586 124 - - - - 41.7529 Sekampung Hulu 2 3.407 451 18.575 - - - - - 22.433
Sekampung Hulu (tidak dianalisis) 3.855 889 6.492 1.753 3.384 - 71 - 16.444
10 Semah 782 3.054 6.899 9.834 3.476 - 1.312 - 25.357Jumlah 33.728 52.217 114.501 94.273 77.294 2.083 102.296 1.047 477.439Persentase (%) 7,06 10,94 23,98 19,75 16,19 0,44 21,43 0,22 100
Sumber: Pengolahan data, 2012
8/18/2019 Koef Aliran
53/104
39
Universitas Indonesia
Gambar 4.4 Penggunaan Tanah di DAS Sekampung
4.4.1 Hutan
Hutan merupakan tipe vegetasi atau komunitas tumbuhan yangdidominasi oleh pohon. Artinya sebagaian besar penyusun komunitas tersebut
adalah pohon, yaitu tumbuhan berkayu. Penutupan hutan di DAS Sekampung
relatif sempit, hanya meliputi 33.728 ha atau 7,06% dari luas DAS Sekampung.
Vegetasi hutan umumnya tersebar di Sub DAS Sekampung Hulu, Sekampung
Hilir, dan Bulok. Vegetasi hutan di DAS Sekampung terdiri atas Hutan
Lahan Kering Primer dan Hutan Lahan Sekunder.
Hutan Lahan Kering Primer merupakan hutan yang relatif masihutuh belum terganggu. Vegetasi ini sebagian besar terdapat di Sub DAS
Sekampung Hulu menempati lokasi-lokasi yang sulit dijangkau dan termasuk
dalam Kawasan Hutan. Hutan Lahan Kering Sekunder merupakan hutan yang
sudah terganggu tetapi sudah berkembang kembali menjadi hutan.
8/18/2019 Koef Aliran
54/104
40
Universitas Indonesia
4.4.2 Kebun Campuran
Data pada Tabel 4.4.1 menunjukkan bahwa penutupan atau penggunaan
lahan paling dominan di DAS Sekampung adalah kebun campuran, yaitu seluas
94.273 ha atau 19,75% dari luas DAS Sekampung. Tipe vegetasi ini menyebar
secara merata, baik di bagian hulu, tengah maupun hilir. Kebun
campuran merupakan tipe vegetasi yang tersusun oleh tanaman kayu dengan
fungsi utama sebagai penghasil buah dan di antaranya terdapat tanaman
penghasil kayu. Tanaman buah yang banyak ditemui di kebun campuran
antara lain adalah nangka, duren, rambutan, mangga, sukun,
pe ta i , j engk o l , k a re t , kokoa ( cokl a t ) da n ke l ap a . Jenis tanaman
ini ditemui hampir merata dari hulu sampai ke hilir, kecuali kelapa yang
terlihat dominan di daerah tengah dan hilir. Selain itu, jenis tanaman buah
yang juga ditemui adalah duku dan manggis, walaupun populasinya
kecil dan penyebarannya terbatas. Di samping tanaman yang
digolongkan sebagai pepohonan Mul ti Purpose Tree Species (MPTS)
tersebut, tanaman yang paling banyak ditemui adalah kopi dan
kakao. Tanaman kopi umumnya dominan di daerah hulu (walaupun
populasinya mulai tergantikan oleh kakao), sedangkan kakao lebih dominan
di daerah tengah dan hilir. Kedua jenis tanaman tersebut berperan penting
dalam perekonomian masyarakat.
Jenis-jenis tanaman kehutanan (penghasil kayu) yang banyak ditemui
adalah jati, mahoni, akasia, sengon, afrika, wareng, bayur, bungur dan waru
gunung. Jenis tanaman tersebut umumnya ditanam sebagai tanaman sela di
antara tanaman buah. Banyak masyarakat menanam tanaman kehutanan sebagai
tanaman pembatas kepemilikan lahan atau menyebar secara sporadis .
Masyarakat mulai menyadari pentingnya pohon penghasil kayu karena saat ini
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tingginya nilai kayu tersebut terutama
disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya tersebut.
Dengan semakin tingginya harga kayu, saat ini masyarakat mulai
tertarik untuk menanam pohon penghasil kayu, terutama jenis sengon dan
tanaman-tanaman cepat tumbuh lainnya.
8/18/2019 Koef Aliran
55/104
41
Universitas Indonesia
Gambar 4.4.2 Kebun campuran kakao dan tanaman kelapa. (Inset: buah kakao
yang bernilai ekonomi relatif tinggi sehingga banyak disukai masyarakat sebagai
komoditas pertanian).
[Sumber: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih - Way Sekampung. 2008 ]
4.4.3 Tegalan
Tegalan adalah pertanian dengan komoditas utama tamanan panganatau palawija yang dilakukan di lahan kering (tanpa irigasi). Jenis tanaman
yang banyak ditanam pada tegalan adalah ketela pohon, jagung, padi, dan
kedelai. Luas tegalan sebesar 102.296 ha atau 21,43% dari luas DAS
Sekampung.
Jenis penggunaan tanah tegalan di DAS Sekampung berperan dalam
menentukan karakteristik DAS ini. Cara-cara pertanian yang dipraktekkan
masyarakat umumnya belum memperhatikan aspek konservasi tanah dan air.
Usaha pertanian yang mereka lakukan umumnya masih berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan jangka pendek, belum memperhatikan aspek
penggunaan tanah berkelanjutan. Akibatnya terjadi erosi dan degradasi lahan
yang berlangsung cepat.
8/18/2019 Koef Aliran
56/104
42
Universitas Indonesia
4.4.4 Perkebunan
Perkebunan adalah pertanian dengan komoditas utama seperti karet,
kopi, kelapa, kelapa sawit dan kopi. Dengan luas sebesar 104.463 ha atau
25,18% dari luas DAS Sekampung.
Gambar 4.4.4 Tanaman Perkebunan Karet PTPN IX di Tanjung Bintang LampungSelatan
[Sumber: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih - Way Sekampung. 2008 ]
8/18/2019 Koef Aliran
57/104
43 Universitas Indonesia
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1 ANALISIS
5.1.1 Gambaran Bagian-bagian DAS Sekampung
a. Bagian Hulu
Hulu DAS adalah bagian alur sungai yang terdekat dengan titik tertinggi
dari alur sungai (Sandy, 1985b). Secara biogeofisik, bagian hulu dicirikan dengan
merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan
merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase
dan jenis vegetasi umumnya berupa tegakan hutan (Asdak, 2002) serta memiliki
nilai debit relatif kecil, alur sungai relatif sempit dan ukuran material/sedimen
relatif besar. Berikut adalah beberapa foto yang menggambarkan keadaan bagian
hulu DAS Sekampung:
Gambar 5.1.1.a1 Bendungan Batutegi Tampak Depan
[Sumber: www.pu.go.id/satminkal/dit_sda/profil/balai/bbws/mesuji.pdf]
8/18/2019 Koef Aliran
58/104
44
Universitas Indonesia
Gambar 5.1.1.a2 Bendungan Batutegi
[Sumber : http://www.pustaka.pu.go.id/new/infrastruktur-bendungan-detail.asp?id=171 ]
Gambar 5.1.1.a3 Bendungan Batutegi Tampak Atas
[Sumber: http://plta-batutegi.blogspot.com/2011_03_01_archive.html]
Bendungan atau Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batutegi terletak di
Kabupaten Tanggamus, 90 km sebelah barat daya Kota Lampung. PLTA Batutegi
berkapasitas 2 x 14,3 MW.
8/18/2019 Koef Aliran
59/104
45
Universitas Indonesia
Gambar 5.1.1.a4 Way Jelai, Kabupaten Tanggamus
[Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/02/mereka-tak-butuh-pln]
Way Jelai memiliki aliran air yang deras sehingga bisa dimanfaatkan sebagai
pembangkit listrik oleh warga Pekon Teratas, Kecamatan Kotaagung, Kabupaten
Tanggamus. Sungai ini membatasi kebun dan tanah marga dengan Hutan Lindung
Register 30 Gunung Tanggamus.
b. Bagian Tengah
Bagian tengah DAS/sungai memiliki karakteristik di antara hulu dan hilir,
dengan kata lain bagian tengah merupakan daerah transisi dari hulu dan hilir
(Asdak, 2002). D