Post on 15-Feb-2017
1
Karakteristik Kemiskinan dan Kaitannya Dengan Struktur Kota DKI JakartaNurrokhmah Rizqihandari0706191392
TESIS
2
DKI Jakarta Pusat Administrasi dan Pelayanan Masyarakat;
Pusat Perdagangan dan Distribusi; Pusat Keuangan; Pusat Pariwisata;
Pusat Pelatihan dan Informasi; Pusat Ilmu Pengetahuan; dan
Pusat Seni Budaya.
60% kegiatan perekonomian Indonesia Kepadatan penduduk tinggi (13.759jiwa/km2)
Kota utama (primate city) tujuan pendatang
Kompetisi ruang Nilai tanah tinggi di daerah strategis
Penduduknya beragam, terutama kondisi sosial ekonominya
Penduduk berstatus ekonomi baik akan tinggal pada nilai tanah lebih tinggi daripada penduduk dengan status ekonomi buruk (penduduk miskin)
Penduduk miskin mencari lokasi yang relatif dekat dengan pusat kegiatan, peluang untuk mendapat pekerjaan (informal) akan lebih mudah
Menempati kawasan “belakang kota”
3
Kawasan “belakang kota” Dekat dengan pusat kegiatan Berkondisi lingkungan buruk permukiman
padat dan tidak teratur dengan standar rendah sepeti terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, bahan bakar, listrik maupun sarana kesehatan
Pusat kegiatan perkotaan melayani kebutuhan penduduk dengan efisien teroganisir dengan baik
Permasalahan bagi wajah kota dan kemampuan pusat kegiatan tersebut melayani penduduknya
Penelitian untuk mengetahui kondisi kemiskinan dan sebarannya yang dikaitkan dengan keberadaan pusat-pusat kegiatan
4
Kemiskinan Kondisi hidup penduduk serba kekurangan,
bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya Wagle (2007) Kemiskinan didekati dengan
tiga dimensi yaitu : kesejahteraan ekonomi, kemampuan, dan pengakuan sosial
Mingione (1996) mengungkapkan bahwa gagasan “fenomena multidimensi” yang menjelaskan kebutuhan hidup minimum, harus dikaitkan dengan keterbatasan akses untuk mendapatkan keuntungan penting (importan benefits) di masyarakat perkotaan seperti pendidikan, sistem pengelolaan sampah, kesehatan, serta integrasi sosial dan kebudayaan.
Lebih lajut dikatakan bahwa peduduk miskin kota tidak sekedar hidup dalam keterbatasan melainkan hidup dalam situasi yang rentan terhadap kejadian-kejadian negatif.
Multidimensi kemiskinan
Kemiskinan Perkotaan
5
Kemiskinan Kota di DKI Jakarta Ramto (1993) Permukiman miskin dengan pusat-pusat kegiatan
kota, kerena penghuninya memerlukan jarak yang dekat untuk mencapai tempat mencari nafkanya, karena dengan jarak sedekat itu, biaya dan waktu perjalanan akan dihemat.
Hargono (2005) Kemiskinan perkotaan di DKI Jakarta dilihat dari beberapa indikator yaitu ukuran rumah tangga, kegiatan di sektor sekunder, rata-rata pendapatan per kapita, kondisi permukiman, serta tipe bangunan perumahan. Tidak ada korelasi antara keberadaan penduduk miskin dengan ketersediaan dan kualitas fasilitas umum, karena fasilitas umum di DKI Jakarta, yang dibangun dari data Sensus Potensi Desa, relatif lengkap dan bagus.
Hargono (2005) Menemukan penduduk miskin di timur dan tenggara DKI Jakarta mendekati industri
6
Ketergantungan Keruangan (Spatial Dependency)
Waldo Tobler (1979) Segala sesuatu, jika berdekatan cenderung akan lebih terkait daripada hal-hal yang jauh terpisah.
Goodchild (1992) ketergantungan spasial adalah kecenderungan untuk lokasi terdekat untuk mempengaruhi satu sama lain dan memiliki atribut yang sama
Zeng, dkk. (2008) menggunakan statistik keruangan hasil yang diperoleh lebih masuk akal daripada statistik biasa (traditional logistic)
7
• Anselin, dkk. (2002) menuliskan bahwa dalam analisis keruangan bahwa nilai yang di observasi pada sebuah lokasi selain dipengaruhi oleh variabel di lokasi tersebut, juga dipengaruhi oleh nilai obeservasi di lokasi sebelahnya.
Ketergantungan Keruangan (Spatial Dependency)
8
Sumber Data• Pendataan Sosial
Ekonomi (PSE) 2005 (BPS DKI Jakarta
Kemiskinan
• Peta Penggunaan Tanah Tahun 2005 (BPN DKI Jakarta)
Struktur Ruang Kota
9
Karena berbasiskan lokasi, untuk memudahkan analisa, maka unit analisis penelitian merupakan 261 kelurahan di DKI Jakarta
Sehingga data PSE yang unit analisisnya adalah rumah tangga miskin, diagregatkan pada tingkat kelurahan; dan data struktur kota diubah menjadi persentase pengunaan tanah pusat kegiatan terhadap luas kelurahan
Sumber Data
10
Pertanyaan Penelitian Bagaimana kondisi kemiskinan
kelurahan berdasarkan karakteristik rumah tangga miskin di DKI Jakarta?
Bagaimana hubungan antara kondisi kelurahan miskin tersebut terhadap struktur ruang kota DKI Jakarta?
Hipotesis : Kelurahan miskin akan terkosentrasi mendekati pusat-pusat kegiatan
11
KemiskinanHasil
12
Wolrd Bank (2009), menetapkan dua kerangka kerja untuk memahami kemiskinan perkotaan, yaitu:
1. Pendekatan karakteristik kemiskinan pendapatan, kondisi kesehatan dan pendidikan, kepemilikan perorangan, dan ketidakberdayaan. Masing-masing dimensi tersebut saling terkait dan berdampak kumulatif satu dengan lainnya.
2. Pendekatan kerentanan dan kepemilikan aset, dikembangkan dari konsep dinamik risiko penduduk untuk jatuh dalam kategori miskin. Semakin banyak aset yang dimiliki oleh seseorang dan keluarganya, semakin rendah risiko untuk masuk dalam kategori miskin. Tidak terbatas pada aset benda atau barang, melainkan tenaga kerja, modal manusia berupa keterampilan dan kemampuan bekerja, aset produktif terutama kepemilikan rumah, hubungan rumah tangga, dan modal sosial.
Kemiskinan Perkotaan
13
Kriteria Kemiskinan BPSDianggap mewakili multidimensi kemiskinan yang dilihat dari kesehatan, makanan dan gizi, pendidikan, kondisi pekerjaan, situasi kesempatan kerja, konsumsi dan tabungan, pengangkutan, perumahan, sandang, rekreasi dan hiburan, jaminan sosial, serta kebebasan.
8. Jarang mengkonsumsi daging/ayam/susu
9. Kurang dari 3 kali makan/hari
10.Jarang membeli baju atau hanya 1 stel/tahun
11.Tidak mampu membayar berobat
12.Penghasilan kepala rumah tanganya hanya <Rp.600.000 per bulan
13.Pendidikan kepala rumah tangganya hanya SD
14.Tidak memiliki aset/tabungan
1. Luas lantai bangunannya < 8m2/orang
2. Lantai terluasnya dari tanah/bambu/kayu murah
3. Dinding terluasnya tanah/bambu/kayu murah
4. Tidak punya fasilitas buang air besar
5. Sumber air minum bukan PAM atau Pompa
6. Penerangannya bukan listrik7. Memasak tidak
menggunakan bahan bakar modern
14
Indeks Kemiskinan Manusia
Dimensi
Indikator Angka buta huruf orang dewasa (>15
Tahun)
Kemungkinan tidak hidup
mencapai usia 40 Tahun
penduduk yang tidak memiliki akses ke
sumber air yang
diperbaiki
persentase penduduk yang tidak memiliki akses ke fasilitas
kesehatan
persentase balita
berberat badan kurang
Standar Hidup Layak (decent standard of living)
Pengetahuan (knowledge)
Kebertahanan Hidup (survival)
Komposit Standart Hidup Layak
Indeks Kemiskinan Manusia Negara Berkembang A
UNDP 1997 Laporan Pembangunan Manusia ke delapan Tahun 1997 devariasi tentang kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi untuk perhitungan kemiskinan Bentuk penyederhanaan untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif (dalam bentuk indeks komposit) dari dimensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan.
Empat klasifikasi tersebut yaitu : 1. klasifikasi rendah
dengan nilai IKM kurang dari 10,
2. klasifikasi menengah rendah dengan nilai IKM 10 – 25,
3. klasifikasi menengah tinggi dengan nilai IKM 25 – 40, dan
4. klasifikasi tinggi dengan nilai IKM lebih dari 40.
15
Indeks Variabel No Definisi VariabelX1 Luas Lantai RT23 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang luas lantai bangunan < 8m2/orang (%)
X2 Jenis Lantai RT24 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang luas lantai terbuat dari tanah/bambu/kayu murah (%)
X3 Jenis Dinding RT25 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang dinding terluasnya dari tanah/bambu/kayu murah (%)
X4 Sumber Air Minum RT27 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang bersumber air minum bukan PAM atau pompa (%)
X5 Fasilitas Buang Air Besar RT26 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak menggunakan fasilitas buang air
besar milik sendiri (%)X6 Sumber
Penerangan RT28 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak menggunakan listrik sebagai penerangan (%)
X7 Bahan Bakar Memasak RT29 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak menggunakan bahan bakar
modern untuk memasak sehari-hari (%)
X8Kemampuan Membeli Daging/Ayam/Susu
RT210
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak pernah membeli/mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu (%)
X9 Kebiasaan Makan RT211
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang makan hanya satu kali sehari (%)
X10 Kemampuan Membeli Pakaian
RT212
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak pernah membeli pakaian dalam setahun (%)
X11Kemampuan Membayar pengobatan
RT213
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak mampu berobat ke puskesmas (%)
X12 Kepemilikan Aset RT216
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak memiliki aset tabungan, emas, ternak, dan sepeda motor (%)
X13Jenis Kelamin Kepala rumah Tangga
RT21b
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang kepala keluarganya perempuan (%)
X14 Pekerjaan Kepala Rumah Tangga
RT214
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang kepala rumah tangganya tidak bekerja (%)
X15 Pendidikan Kepala Rumah Tangga
RT215
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang pendidikan kepala rumah tangganya SD/MI ke bawah (%)
Variabel
16
Analisis Faktor
Variabel Faktor 1 Faktor 2 ... Faktor nX1
X2
...Xn
Kelurahan Faktor 1 Faktor 2 ... Faktor nab...z
Nilai Loading Faktor Nilai Skor Faktor
Transformasi Skor Faktor menjadi Indeks Faktor
IK = K – (10 SK)
IK = Indeks FaktorK = Konstanta bilangan bulatSK = Skor faktor dari masing
masing faktor yang terbentuk
Komposit
Pemetaan
Pembuatan Faktor KompositFK = [1/4 (SF1
α + SF2α + SF3
α + SF4
α)]1/α
Klasifikasi Keluraha
nNilai Indeks Klasifikasi Indeks
a Burukb Sedange Ringan... ...z Ringan
17
Karakteristik Kemiskinan Dari 15 Variabel yang digunakan, terbentuk 4 Faktor utama mempengaruhi
kondisi kemiskinan per kelurahan DKI Jakarta, yaitu:
Component1 2 3 4
Berdinding Kualitas Rendah 0,89 0,078 0,078 -0,062Fasilitas Buang Air Basar Bersama 0,805 -0,106 -0,313 0,003Berlantai Kualitas Rendah 0,782 0,137 0,264 -0,139Luas Lantai Per Kapita Kurang dari 8 m2 0,537 -0,201 -0,618 -0,208
Tidak Mampu Membeli Pakaian -0,066 0,752 0,004 0,257Tidak Mampu Membeli Daging, Ayam, Susu dalam Seminggu -0,02 0,726 0,124 0,117
Tidak Mampu Berobat 0,087 0,639 0,113 0,118Hanya Makan 1 kali sehari 0,066 0,632 0,127 -0,173Bukan Bahan Bakar Modern 0,024 0,227 0,778 -0,102Sumber Air Minum Terbuka -0,132 0,045 0,677 0,159Penerangan Bukan Listrik 0,32 0,014 0,6 0,098Kepala Rumah Tangga Perempuan -0,051 0,006 0,053 0,871Kepala Rumah Tangga Tidak Bekarja -0,175 0,27 0,069 0,661
Tidak Memiliki Aset *) -0,452 -0,452 -0,01 -0,235Kepala Rumah Tangga Berpendidikan SD/MI *) 0,321 0,138 0,381 0,483
(1) Kondisi Bangunan Tempat Tinggal,
(2) Pola Konsumsi (3) Ketersediaan
Kebutuhan Harian, dan
(4) Karakteristik Kepala Rumah Tangga
Variabel kepemilikan aset dan pendidikan kepala rumah tangga tidak tergolong faktor manapun, karena nilai loading faktornya kurang dari 0,5
18
Faktor 1 = 0,382KD + 0,361MCK + 0,314KL + 0,117LLK + ε
r = 0,969 ; R2 = 93,8%
Faktor Pertama – Kondisi Bangunan Tempat Tinggal Faktor ini terbetuk atas variabel-variabel yang menyatakan kondisi
bangunan :1. Luas lantai per kapita kurang dari 8m2rumah tangga miskin
(LLK), 2. Kualitas lantai buruk (KL), 3. Kualitas dinding buruk (KD), dan 4. Tidak memiliki fasilitas buang air (MCK).
Variabel kualitas dinding, fasilitas buang air besar, dan kualitas lantai, memiliki bobot yang hampir sama penyumbang kondisi bangunan tempat tinggal rumah tangga miskin
Variabel luas lantai per kapita tidak besar sumbangannya
19
Faktor Pertama – Kondisi Bangunan Tempat Tinggal
Hanya 21,6% kelurahan yang penduduk miskinnya tinggal dalam kondisi tempat tinggal yang buruk, sebagian besar dalam kondisi sedang (49,81%)
20
Faktor 2 = 0,368KBD + 0,333KBP + 0,329PMS + 0,327KOP + ε
r = 0,966 ; R2 = 93,4%
Faktor ini terbetuk atas variabel-variabel yang menyatakan pola konsumsi :1. ketidakmampuan mengkonsumsi daging, ayam, susu dalam
seminggu (KBD), 2. Hanya 1 kali makan dalam sehari (PMS), 3. Ketidakmampuan membeli pakaian dalam setahun (KBP), dan4. Ketidakmampuan berobat di puskesmas (KOP)
variabel-variabel tersebut memiliki bobot yang hampir sama untuk membentuk pola konsumsi penduduk miskin
Faktor Kedua – Pola Konsumsi Penduduk
21
Faktor Kedua – Pola Konsumsi Penduduk
hanya 22,39% penduduk miskin yang memiiki pola konsumsi buruk, tersebar dari tengah Jakarta ke arah utara.
Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat memiliki proporsi lebih dari rata-rata DKI Jakarta, yaitu masing-masing 38,71%, 35,79%, dan 25,58%.
22
Faktor Ketiga – Ketersediaan Penunjang Kebutuhan Harian
Faktor 3 = 0,508PBB + 0,425KSA + 0,287KSL + ε
r = 0,925 ; R2 = 85,5%
Faktor ini terbetuk atas variabel-variabel yang menyatakan Ketersediaan Penunjang Kebutuhan Harian :1. ketidaktersediaan sumber air minum tertutup (KSA), 2. ketidaktersediaan sumber listrik (KSL), dan 3. pemakaian bahan bakar bukan modern (PBB)
Variabel pemakaian bahan bakar, dalam hal ini pemakaian bukan bahan bakar modern seperti kayu, mendominasi ciri faktor kebutuhan harian penduduk miskin DKI Jakarta
23
Faktor Ketiga – Ketersediaan Penunjang Kebutuhan Harian
Penduduk miskin yang berada dalam kondisi sulit memenuhi kebutuhan hariannya lebih tinggi daripada kedua faktor sebelumnya (33,98%), dan banyak terdapat di Jakarta Pusat (51,16%) dan Jakarta Barat dengan (46,43%)
24
Faktor 4 = 0,72JK + 0,354Kerja + ε
r = 0,927 ; R2 = 86%
Faktor ini terbetuk atas variabel-variabel yang menyatakan kondisi kepala rumah tangga:1. Kepala rumah tangga tidak bekerja (Kerja) dan2. Kepala rumah tangga perempuan (JK)
Jenis kelamin kepala rumah tangga, dalam hal ini perempuan, mendominasi ciri pembentuk faktor kondisi kepala rumah tangga penduduk miskin DKI Jakarta
Faktor Keempat – Kondisi Kepala Rumah Tangga
25
Faktor Keempat – Kondisi Kepala Rumah Tangga
kelurahan yang memiliki proporsi kepala rumah tangga perempuan dan atau tidak bekerja besar tidaklah banyak, hanya 16,6%, dan banyak terdapat di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.
26
Kotamadya Miskin Ringan
Miskin Sedang
Miskin Parah
Jakarta Barat 3,57% 50,00% 46,43%Jakarta Pusat 18,60% 46,51% 34,88%Jakarta Selatan 17,19% 51,56% 31,25%Jakarta Timur 53,85% 40,00% 6,15%Jakarta Utara 32,26% 61,29% 6,45%DKI Jakarta 25,48% 48,65% 25,87%
Kondisi Kemiskinan Dari 4,25% penduduk DKI Jakarta
tergolong miskin yang tersebar di 259 kelurahan (Melawai dan Gondangdia tidak ada data), 26% rumah tangga miskin per kelurahan berada dalam kondisi miskin parah (buruk)
Kondisi kemiskinan di Jakarta Bagian Barat aliran Ci Liwung lebih buruk daripada di Jakarta Bagian Timur-nya dan bergradasi
Tingginya persentase kondisi kemiskinan parah berasosiasi dengan luasnya penggunaan tanah perumahan, terutama perumahan tidak teratur
27
IK = 0,579KB + 0,525PK + 0,391KH + 0,460KRT + ε
r = 0,987 ; R2 = 97,4%
Indeks kemiskinan ini dipengaruhi oleh faktor faktor pembentunya, yaitu :1. Kondisi bangunan tempat tinggal (KB) 2. Pola konsumsi (KB) 3. Ketersediaan pendukung kebutuhan harian (KH) 4. Karakteristik kepala rumah tangga (KRT)
standardized coefficients beta yang dianggap sebagai faktor yang paling berperan membentuk variabel terikat, maka faktor pertama, yaitu kondisi bangunan tempat tinggal (KB) yang berbobot 0,579, merupakan faktor yang paling berperan dalam membentuk tingkat kemiskinan di DKI Jakarta
Kondisi Kemiskinan
28
Kondisi Kemiskinan Walaupun penduduk miskin di DKI Jakarta kurang
dari 5% dari populasi penduduknya, namun 26% nya tinggal dalam kondisi buruk.
Kondisi kemiskinan yang dialami penduduk miskin ini bergradasi tingkatannya antar kelurahan.
Penduduk miskin di bagian timur aliran Ci Liwung umumnya memiliki kondisi lebih baik daripada penduduk miskin di bagian barat.
Kondisi bangunan tempat tinggal, pola konsumsi, karakteristik kepala rumah tangga, dan ketersediaan pemenuhan kebutuhan harian, secara berturut turut menyumbang bobot dalam membentuk kondisi kemiskinan.
29
Struktur KotaHasil
30
Struktur KotaMeyer Penduduk membentuk bentukan
kota (rumah tinggal, jalan raya, kantor, dan sebagainya)
Terutama karena pertambahan jumlah penduduk, perkembangan kegiatan, serta perubahan sosial budaya.
Variasi ketiganya membentuk suatu struktur kota yang khas.
31
Teori Struktur Kota
32
Kota DKI Jakarta
Kalideres (5.87%)
Ciracas (4.68%)Jagakarsa
(4.16%)
Kelapa Gading (3.76%)
Cipayung (2.93%)
Cilincing (3.35%)
Cakung (3.54%)
Pasar Rebo (2.48%)
Kembangan (2.74%)
Duren Sawit (1.88%)
Pesanggrahan (1.83%)
Mampang Parapatan (1.00%)
1975 : kepadatan penduduk di pusat kota 263 jiwa/ha, di pinggir kota 40 jiwa/ha
1980 an : sebagian besar penduduk pindah ke selatan, sehingga pertumbuhan penduduk di pusat kota cenderung stabil
1990-2000 : di pusat kota pertumbuhannya negatif, tapi meningkat di pinggiran, bahkan terjadi population boom di bagian barat dan timur (the western and the eastern suburban regions)
33
Penggunaan Tanah Penggunaan tanah DKI Jakarta 68% didominasi oleh permukiman, yang
separuhnya merupakan permukiman tidak teratur. Banyak terdapat di Jakarta Selatan dan Barat
Proporsi penggunaan tanah perdagangan dan jasa serta industri dan pergudangan masing-masing hanya 9% dan 2%, Jakarta Pusat untuk perdagangan jasa
Ternyata masih memiliki penggunaan tanah pertanian yang mencirikan penggunaan tanah perdesaan (pertanian tanah basah, pertanian tanah kering, peternakan, dan perikanan) sebesar 9%, banyak di Jakarta Timur
Penggunaan Tanah (Ringkas)
KotamadyaJakarta Selata
n
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Perdagangan dan Jasa 8,80% 6,00% 25,12% 6,04% 11,25%Industri dan Pergudangan 0,71% 2,24% 0,42% 3,57% 4,09%
Pertanian 2,41% 13,50% 0,10% 11,15% 11,19%Perumahan 80,88% 68,90% 64,50% 71,38% 46,43%Ruang Terbuka 7,15% 8,57% 8,96% 3,45% 16,19%Lainnya 0,05% 0,79% 0,89% 4,40% 10,85%
34
Pengolahan Data (struktur kota)
35
36
Struktur Kota Pusat Kegiatan berada di tengah dan ke utara DKI Jakarta
80% pusat kegiatan merupakan perdagangan dan jasa, dan berada di Jakarta Pusat dan Selatan
Industri pergudangan terdapat di Jakarta Timur, Utara, dan Barat
Pinggiran, disusun dari penggunaan tanah perikanan, pertanian tanah basah, pertanian tanah kering, dan peternakan.
Didominasi oleh perikanan empang atau tambak untuk membudidakan ikan.
Pertanian lahan basah berupa sawah banyak terdapat di Jakarta Utara.
Pertanian lahan kering, berupa tegalan dan kebun, banyak terdapat di Jakarta Timur.
37
Kemiskinan dengan Struktur KotaPembahasan
38
Analisa DataAnalisis Deskriptif Melalui tabel silang
antara klasifikasi kondisi kemiskinan dengan struktur kota
Analisa Korelasi Korelasi Khi KuadratAnalisa Keruangan
Melalui overlay peta, dan Perhitungan indeks moran univariat dan
LISA univariat
39
Analisa Data (korelasi)
40
Kemiskinan dan Struktur Kota
Korelasi pearson chi-square sebesar 9,513
Nilai koofisien kontingensi sebesar 0,188
Telah signifikan pada α =5%.
Terdapat hubungan yang signifikan, walaupun lemah, antara kondisi kemiskinan dengan struktur kota DKI Jakarta
Pusat kegiatan 17 kelurahan dengan kondisi miskin buruk berada di (34,69%)
Peralihan 93 kelurahan yang berkondisi sedang (48,44%)
Pinggiran 7 kelurahan berkondisi kemiskinan ringan (38,89%)
Pusat kegiatan tidak didominasi oleh kelurahan dengan kondisi
kemiskinan parah, melainkan kelurahan berkondisi kemiskinan
sedang (55%)
41
Kemiskinan dan Struktur Kota
Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Timur (7)
Cipayung (5) Cilangkap, Cipayung, Lubang Buaya, Munjul, dan Setu
Ciracas (2) Kelapa Dua Wetan dan Ciracas
Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Barat (5)
Taman Sari (4)
Glodok, Krukut, Pinangsia, dan Tangki
Tambora Tambora
Jakarta Pusat (6)
Gambir (5)
Cideng, Duri Pulo, Gambir, Kebon Kelapa, dan Petojo Utara
Menteng Kebon Sirih
Jakarta Selatan (6)
Jagakarsa Tanjung BaratKebayoran Baru Senayan
Kebayoran Lama Grogol Selatan
Setiabudi (3)Karet, Karet Semanggi, dan Kuningan Timur
42
Kemiskinan dan Struktur Kota Kelurahan dengan
kondisi kemiskinan buruk berdekatan dengan struktur kota pusat kegiatan dan peralihan
Hanya sedikit kelurahan yang berkondisi kemiskinan ringan yang langsung bersebelahan dengan kelurahan dengan kondisi kemiskinan buruk (gradasi)
43
Analisa Data (keruangan)
44
Kluster KemiskinanDari perhitungan indeks Kemiskinan, diperoleh
Indeks Moran sebesar 0,3467
Terjadi klusterisasi kemiskinan
Klusterisasi berdasarkan kekuatan nilai korelasi antara indeks kemiskinan dengan perbedaan
keruangan (spatial lag) masing-masing kelurahan
45
Lokasi Klaster
Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Barat (18)
Cengkareng Kedaung KaliangkeGrogol Petamburan (3)
Grogol, Tanjung Duren Selatan, Dan Tomang
Kali Deres Tegal AlurKebon Jeruk (4)
Duri Kepa, Kebon Jeruk, Kedoya Selatan, dan Kedoya Utara
Kembangan Kembangan Selatan
Palmerah (3) Jati Pulo, Kemanggisan,Dan Kota Bambu Utara
Taman Sari (3) Keagungan, Krukut, Dan MapharTambora (2) Kerendang Dan Tanah Sereal
Jakarta Pusat (11)
Gambir (6) Cideng, Duri Pulo, Gambir, Kebon Kelapa, Petojo Selatan, Dan Petojo Utara
Senen (2) Kwitang Dan SenenTanah Abang (3) Gelora, Kampung Bali, Dan Kebon Kacang
Jakarta Selatan (7)
Kebayoran Lama Grogol Utara
Setiabudi (6) Guntur, Karet, Karet Kuningan, Menteng Atas, Pasar Manggis, Dan Setiabudi
Jakarta Utara Penjaringan Kamal Muara
46
Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Barat (4)
Cengkareng Kedaung Kaliangke
Palmerah (2) Kemanggisan dan Kota Bambu Utara
Taman Sari Krukut
Jakarta Pusat (9)
Gambir (6)Cideng, Duri Pulo, Gambir, Kebon Kelapa, Petojo Selatan, Petojo Utara
Senen SenenTanah Abang (2) Gelora dan Kampung Bali
Jakarta Selatan (2) Setiabudi (2) Karet dan Setiabudi
Klaster di Pusat Kegiatan
Terdapat 15 kelurahan yang terkluster kondisi kemiskinan
buruk dan berada di pusat kegiatan
47
Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Selatan (5)
Kebayoran Lama Grogol Utara
Setiabudi (4)Karet Kuningan, Menteng Atas, Pasar Manggis, dan Guntur
Jakarta Pusat (2)
Tanah Abang Kebon KacangSenen Kwitang
Jakarta Barat (7)
Kebon Jeruk Kedoya UtaraPalmerah Jati PuloGrogol Petamburan (3)
Tanjung Duren Selatan, Tomang, dan Grogol
Tambora (2) Tanah Sereal dan Kerendang
Taman Sari (2) Maphar dan Keagungan
Klaster di Perbatasan Pusat Kegiatan
Terdapat 16 kelurahan yang terkluster kondisi kemiskinan
buruk dan dekat dengan pusat kegiatan
48
Klaster Kemiskinan Terjadi penklasteran kelurahan menurut kondisi
kemiskinan DKI Jakarta (Morran I = 0,35) Karakteristik klaster yang terbentuk adalah kondisi
kemiskinan buruk dan jarak antar kelurahannya berdekatan (LISA Cluster Map = H-H)
Lokasi penklasteran tersebut berada di pusat kota atau berbatasan dengan pusat kota
Penduduk miskin yang tinggal di atau dekat dengan pusat kegiatan ternyata ternyata kondisinya buruk
49
Kesimpulan, Implikasi Kebijakan, dan Keterbatasan Penelitian
50
Kesimpulan1. Populasi penduduk miskina DKI Jakarta yang kurang dari 5%
penduduknya, ternyata 26% nya tinggal dalam kondisi kemiskinana yang buruk.
2. Kondisi kemiskinan, secara berturut-turut, disumbangkan oleh kualitas bangunan tempat tinggal, pola konsumsi rumah tangganya, karakteristik kepala rumah tangganya, serta keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan harian.
3. Kualitas bangunan tempat tinggal dipengaruhi oleh dinding berkualitas rendah, ketidaktersediaan fasilitas buang air besar, kualitas lantai yang rendah, dan luas lantai per kapita yang kurang dari 8 m2. Pola konsumsi terbentuk dari ketidakmampuan mengkonsumsi daging, ayam, susu dalam seminggu, ketidakmampuan membeli pakaian dalam setahun, makan hanya sekali sehari, serta ketidakmampuan berobat ke puskesmas. Karakteristik kepala rumah tangga dibentuk dari kepala rumah tangga perempuan dan tidak bekerjanya kepala rumah tangga. Ketersediaan penunjang kehidupan harian disusun atas ketidaktersediaan sumber air minum tertutup, ketidaktersediaan sumber listrik PLN, dan tidak menggunakan bahan bakar modern.
4. Berdasarkan analisis keruangan dapat diketahui bahwa penduduk miskin yang tinggal di bagian barat aliran Ci Liwung, yaitu Kotamadya Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan, kondisinya lebih buruk daripada yang tinggal di bagian timur.
51
5. Berdasarkan analisis keruangan dapat diketahui bahwa penduduk miskin yang tinggal di bagian barat aliran Ci Liwung, yaitu Kotamadya Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan, kondisinya lebih buruk daripada yang tinggal di bagian timur.
6. Berdasarkan analisis tabulasi silang antara kondisi kemiskinan dengan struktur kota, dapat diketahui bahwa penduduk miskin berkondisi buruk berasosiasi mendekati dan berada di pusat kegiatan, sedangkan penduduk miskin yang berkondisi lebih baik berada di pinggiran.
7. Korelasi yang signifikan, walaupun tidak kuat, ditunjukkan juga dengan analisis khi kuadrat, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kondisi kemiskinan dengan struktur kota
8. Berdasarkan analisis autokorelasi keruangan diketahui bahwa terjadi klusterisasi kemiskinan. Klusterisasi ini terbentuk dari kedekatan kelurahan-kelurahan yang memiliki kondisi kemiskinan yang buruk, serta terbentuk di daerah tengah DKI Jakarta ke arah barat.
9. Dengan mengoverlay kelurahan kluster miskin dengan struktur kotanya, diperoleh temuan bahwa sebagian besar kelurahan-kelurahan tersebut berada di pusat kegiatan atau bersebelahan dengan pusat kegiatan.
Kesimpulan
52
Implikasi Kebijakan1. Dengan mengetahui sebaran kondisi kemiskinan beserta
karakteristik penyusunnya pada setiap masing-masing kelurahan maka dapat dilakukan penanganan pengentasan kemiskinan yang berbeda-beda pada setiap kelurahan bergantung karakteristik utamanya kondisi bangunan tempat tinggal kebijakan untuk memperbaiki
kondisi tempat tinggal penduduk miskin berbasis masyarakat kebudayaan untuk hidup sehat
dikepalai oleh perempuan program pengentasan kemiskinan yang berbasiskan pemberdayaan perempuan, seperti bantuan modal usaha industri rumah tangga atau pemberian endidikan non formal untuk meningkatkan keterampilan
rentan terkena kondisi buruk, pemerintah atau lembaga sosial dapat menempatkan lembaga-lembaga bantuan yang dapat memudahkan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin tersebut. Selain memberikan bantuan, kontrol terhadap jumlah dan kualitas penduduk miskin dapat dilakukan.
53
Implikasi Kebijakan2. Dengan mengetahui bahwa penduduk miskin mendekati pusat
kegiatan karena lebih mudah berkegiatan ekonomi, jika akan melakukan relokasi terhadap penduduk miskin tersebut dan menempatkannya jauh dari pusat kegiatan, maka lokasi baru tersebut haruslah mudah diakses dengan murah oleh penduduk miskin, seperti ketersediaan sarana transportasi masa yang murah dan cepat.
3. Bagi lembaga penyedia data seperti BPS, keberadaan data sosial ekonomi penduduk, terutama karakteristik kemiskinan dan kerentanan kemiskinan, yang dapat mewakili unit terkecil pemerintahan sangatlah dibutuhkan, terutama untuk kajian perkotaan yang tentunya membutuhkan kedetailan data.
54
Keterbatasan Penelitian Dari data yang digunakan dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa
informasi kondisi kemiskinan per kelurahan hanya mewakili populasi penduduk miskin saja, informasi kondisi penduduk yang tidak tegolong miskin tidak diperoleh. Sehingga sangatlah mungkin ditemukan sebuah kelurahan yang tergolong dalam kondisi yang buruk, tetapi penduduk miskinnya hanya sedikit
Penelitian ini hanya mampu menjelaskan fenomena multidimensi kemiskinan perkotaan dari sisi karakteristik penduduknya saja. Pendekatan kerentanan dan kepemilikan aset yang digunakan untuk mengetahui besarnya risiko penduduk untuk jatuh dalam kategori miskin belum dapat dijelaskan karena keterbatasan data.
Penggunaan data penggunaan tanah untuk merepresentasikan struktur kota dirasa sangat sederhana, karena aktivitas penduduk yang membentuk struktur kota tidak hanya dapat dilihat dari penggunaan tanahnya.